25.2 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Entrepreneur Ciputrapreneur

Tidak ada lagi orang seperti Ciputra.
Yang meninggal dunia di Singapura 27 November lalu. Di usia beliau yang 88
tahun.

Dan tidak akan ada lagi.

Tidak akan ada orang yang berjuang keras
untuk memajukan sebuah perusahaan daerah –lalu mendapat penghargaan besar
seperti beliau.

Termasuk mendapat saham –biarpun kecil.

Zaman sudah berubah.

Jangankan penghargaan. Jangankan diberi
saham. Salah sedikit justru akan masuk penjara!

Awalnya Ciputra memajukan perusahaan
daerah milik Pemda DKI Jakarta. Yang belakangan terkenal dengan nama PT
Pembangunan Jaya.

Itulah karir pertama Ciputra di dunia
usaha. Setelah beliau lulus dari ITB Bandung.

Beliau dipercaya oleh Gubernur Jakarta
Soemarno. Tidak diberi modal. Hanya diberi proyek: Pasar Senen.

Yang setor modal –menurut catatan
Christianto Wibisono– hanya empat orang: Hasyim Ning, Agus Musin Dasaat,
Sucipto (Asuransi Bumiputera), dan Yusuf Muda Dalam (Gubernur BI saat itu).

Mereka itulah yang dikenal sebagai orang
kaya raya di akhir masa pemerintahan Bung Karno.

Belum ada Lim Sioe Liong, Mochtar Riady,
Bambang Hartono, apalagi Dato Tahir.

Di tangan Ciputra perusahaan daerah itu
maju pesat. Lebih maju lagi di zaman Gubernur Ali Sadikin. Yang gila membangun
itu.

Gubernur berikutnya memercayainya lagi.
Sampai tujuh gubernur.

PT Pembangunan Jaya berada di tangan
orang hebat dalam kurun waktu yang panjang. Sekali lagi, kemajuan yang nyata
hanya bisa diraih oleh pemimpin yang hebat –dalam kurun waktu yang panjang.

Pemimpin yang hebat biasanya juga
melahirkan banyak doktrin. Doktrin tertingginya adalah
entrepreneurship: “Pengusaha adalah siapa pun yang bisa mengubah
rongsokan menjadi emas”.

Taman Impian Jaya Ancol adalah salah
satu rongsokan itu. Ancol telah menjadi legenda Ciputra: dari pantai comberan,
sarang nyamuk, gelandangan, jin buang anak, menjadi taman rekreasi impian.

Banyak lagi, puluhan karya Ciputra yang
seperti itu.

 Lalu ini: bermetamorfosis!

Setelah melahirkan banyak pemimpin muda
di perusahaan daerah itu –salah satunya Eric Samola, mentor saya– Ciputra
menjadi ‘kurang pekerjaan’.

Baca Juga :  Wabup Bantah Pemkab Tinggal Diam Terhadap Permasalahan Masyarakat

Banyak sekali kesibukan yang sudah
diserahkan kepada para pemimpin muda. Ciputra tinggal menjadi semacam Mentor
Agung.

Ia memilih menjadi bukan siapa-siapa
lagi – -secara struktur. Tapi Ciputra masih seperti memiliki veto. ‘Kata Pak
Ci’ sudah seperti keputusan RUPS. 

Ciputra memang telah melahirkan corporate
culture
 yang kuat di lingkungan PT Pembangunan Jaya. Yang sebenarnya
itu adalah Ciputra Culture!

Di masa ‘kurang pekerjaan’ itulah
Ciputra melahirkan usaha baru. Bukan lagi Pembangunan Jaya tapi rasa
Pembangunan Jaya: PT Metropolitan Development. Yang deretan gedungnya bermegah
di Jalan Thamrin Jakarta itu. Yang salah satunya terkenal dengan gedung

World Trade Centre itu. Sebelum dijual
ke Murdaya Poo.

Di Metropolitan Development, Ciputra
hanya melibatkan para senior di jajaran pimpinan puncak PT Pembangunan Jaya.
Empat orang. Yang sama-sama sangat berjasa di awal memajukan Pembangunan Jaya.
Yang sama-sama masih merasa punya kapasitas lebih. Yang sama-sama sudah
‘kekurangan pekerjaan’.

Sambil mengawasi yang muda-muda di
Pembangunan Jaya, para senior itu mengembangkan perusahaan mereka sendiri.

 Sukses pula.

Metropolitan Development menjadi grup
perusahaan papan atas di Indonesia. Di grup ini rasa Pembangunan Jaya 50
persen. Rasa Ciputra pribadi 50 persen.

Lalu ini: bermetamorfosis lagi.

Anak-anak Ciputra mulai besar. Yang
empat orang itu –dua wanita, dua laki-laki. Mulai pula punya menantu.

Ciputra menganjurkan rekan sesama senior
itu untuk memiliki perusahaan sendiri. Di luar grup Pembangunan Jaya dan di
luar grup Metropolitan.

Pun Ciputra sendiri. Mendirikan Grup
Ciputra. Yang 100 persen rasa Ciputra. Yang 100 persen milik keluarga.

Di sini Ciputra tidak harus lagi
bertanggung jawab pada negara (Gubernur dan DPRD). Seperti di PT Pembangunan
Jaya.

Tidak pula harus bertanggungjawab pada
partner. Seperti di Metropolitan.

Di Ciputra Group, Ciputra hanya
bertanggung jawab pada dirinya sendiri. 

Di sinilah Ciputra bebas mengangkat
anaknya sendiri, menantunya, cucunya dan siapa pun menjadi eksekutif
perusahaan.

Sekali lagi: sukses. 

Sukses satu menarik gerbong sukses
berikutnya.

Baca Juga :  Taufiq-Supriadi Mengklaim Dapat Dukungan DPP Golkar

Sama-sama sukses, mana yang lebih puas:
memimpin Pembangunan Jaya, Metropolitan atau Ciputra Group?

 

Itu pernah saya tanyakan kepada beliau.
Saya memang beberapa kali berbincang dengan beliau. Sejak saya masih muda dulu.
Berguru pada beliau.

Jawab Pak Ciputra: Yang paling memuaskan
adalah mengembangkan perusahaan keluarga!

Mengabdi ke negara sudah. Mengabdi ke
sesama teman sudah. Terakhir mengabdi untuk kejayaan keluarga.

 Ups, bukan yang terakhir.

Pak Ciputra selalu ingin mengabdi ke
masyarakat. Ia melihat mayoritas rakyat Indonesia orang pribumi yang miskin.

Maka Ciputra ingin memasyarakatkan
entrepreneurship ke masyarakat. Secara luas. Apa saja akan
di-Entrepreneur-kan oleh Ciputra.

Bupatipreneur.

Menteripreneur.

Sekolahpreneur.

Gurupreneur.

Ia begitu bangga kalau melihat ada
pribumi yang masuk bisnis. Apalagi bisa berkembang. Lalu maju.

Hanya itu yang bisa membuat pribumi
maju: menumbuhkan jiwa Entrepreneur kepada mereka. Menumbuhkan jiwanya. Bukan
memanjakannya.

Bisnis beliau memang sangat besar. Tapi
tidak bisa dibilang rakus. Karena itu beliau tidak bisa menjadi yang
terbesar. 

Beliau memang bukan konglomerat terbesar
di Republik ini. Tapi beliau punya nama besar dengan reputasi besar.

Termasuk di bidang olahraga –terutama
bulutangkis. Sebagian laba dari Jawa Pos misalnya, mengalir untuk pembinaan
bulu tangkis. Lewat klub Jaya Raya.

Beliau juga pernah gila sepak bola.
Membiayai klub Jayakarta. Tapi kasus suap menyuap di sepakbola melukai hatinya.
Tidak cocok dengan filosofi yang dikembangkannya.

Jayakarta dibubarkan. 

Reputasi beliau di bidang kesenian
apalagi. Beliau adalah konglomerat yang paling cinta seni. Aneh. Bisnis dan
seni bisa menyatu di jiwa Ciputra.

Di bidang seni warisan terakhir beliau
adalah Artpreneur. Di Kuningan Jakarta itu. Ratusan miliar rupiah dihabiskan
Ciputra untuk membangun museum pelukis Hendra. Juga untuk membangun gedung
opera terbaik Indonesia!

Mungkin karena jiwa seninya yang total
itu bisnis Ciputra tergolong bisnis yang menegakkan etika.

Alenia terakhir ini mungkin juga ingin
diucapkan Ciputra sendiri pada generasi penerusnya.

Anak cucunya. 

Termasuk saya.(Dahlan Iskan) 

Tidak ada lagi orang seperti Ciputra.
Yang meninggal dunia di Singapura 27 November lalu. Di usia beliau yang 88
tahun.

Dan tidak akan ada lagi.

Tidak akan ada orang yang berjuang keras
untuk memajukan sebuah perusahaan daerah –lalu mendapat penghargaan besar
seperti beliau.

Termasuk mendapat saham –biarpun kecil.

Zaman sudah berubah.

Jangankan penghargaan. Jangankan diberi
saham. Salah sedikit justru akan masuk penjara!

Awalnya Ciputra memajukan perusahaan
daerah milik Pemda DKI Jakarta. Yang belakangan terkenal dengan nama PT
Pembangunan Jaya.

Itulah karir pertama Ciputra di dunia
usaha. Setelah beliau lulus dari ITB Bandung.

Beliau dipercaya oleh Gubernur Jakarta
Soemarno. Tidak diberi modal. Hanya diberi proyek: Pasar Senen.

Yang setor modal –menurut catatan
Christianto Wibisono– hanya empat orang: Hasyim Ning, Agus Musin Dasaat,
Sucipto (Asuransi Bumiputera), dan Yusuf Muda Dalam (Gubernur BI saat itu).

Mereka itulah yang dikenal sebagai orang
kaya raya di akhir masa pemerintahan Bung Karno.

Belum ada Lim Sioe Liong, Mochtar Riady,
Bambang Hartono, apalagi Dato Tahir.

Di tangan Ciputra perusahaan daerah itu
maju pesat. Lebih maju lagi di zaman Gubernur Ali Sadikin. Yang gila membangun
itu.

Gubernur berikutnya memercayainya lagi.
Sampai tujuh gubernur.

PT Pembangunan Jaya berada di tangan
orang hebat dalam kurun waktu yang panjang. Sekali lagi, kemajuan yang nyata
hanya bisa diraih oleh pemimpin yang hebat –dalam kurun waktu yang panjang.

Pemimpin yang hebat biasanya juga
melahirkan banyak doktrin. Doktrin tertingginya adalah
entrepreneurship: “Pengusaha adalah siapa pun yang bisa mengubah
rongsokan menjadi emas”.

Taman Impian Jaya Ancol adalah salah
satu rongsokan itu. Ancol telah menjadi legenda Ciputra: dari pantai comberan,
sarang nyamuk, gelandangan, jin buang anak, menjadi taman rekreasi impian.

Banyak lagi, puluhan karya Ciputra yang
seperti itu.

 Lalu ini: bermetamorfosis!

Setelah melahirkan banyak pemimpin muda
di perusahaan daerah itu –salah satunya Eric Samola, mentor saya– Ciputra
menjadi ‘kurang pekerjaan’.

Baca Juga :  Wabup Bantah Pemkab Tinggal Diam Terhadap Permasalahan Masyarakat

Banyak sekali kesibukan yang sudah
diserahkan kepada para pemimpin muda. Ciputra tinggal menjadi semacam Mentor
Agung.

Ia memilih menjadi bukan siapa-siapa
lagi – -secara struktur. Tapi Ciputra masih seperti memiliki veto. ‘Kata Pak
Ci’ sudah seperti keputusan RUPS. 

Ciputra memang telah melahirkan corporate
culture
 yang kuat di lingkungan PT Pembangunan Jaya. Yang sebenarnya
itu adalah Ciputra Culture!

Di masa ‘kurang pekerjaan’ itulah
Ciputra melahirkan usaha baru. Bukan lagi Pembangunan Jaya tapi rasa
Pembangunan Jaya: PT Metropolitan Development. Yang deretan gedungnya bermegah
di Jalan Thamrin Jakarta itu. Yang salah satunya terkenal dengan gedung

World Trade Centre itu. Sebelum dijual
ke Murdaya Poo.

Di Metropolitan Development, Ciputra
hanya melibatkan para senior di jajaran pimpinan puncak PT Pembangunan Jaya.
Empat orang. Yang sama-sama sangat berjasa di awal memajukan Pembangunan Jaya.
Yang sama-sama masih merasa punya kapasitas lebih. Yang sama-sama sudah
‘kekurangan pekerjaan’.

Sambil mengawasi yang muda-muda di
Pembangunan Jaya, para senior itu mengembangkan perusahaan mereka sendiri.

 Sukses pula.

Metropolitan Development menjadi grup
perusahaan papan atas di Indonesia. Di grup ini rasa Pembangunan Jaya 50
persen. Rasa Ciputra pribadi 50 persen.

Lalu ini: bermetamorfosis lagi.

Anak-anak Ciputra mulai besar. Yang
empat orang itu –dua wanita, dua laki-laki. Mulai pula punya menantu.

Ciputra menganjurkan rekan sesama senior
itu untuk memiliki perusahaan sendiri. Di luar grup Pembangunan Jaya dan di
luar grup Metropolitan.

Pun Ciputra sendiri. Mendirikan Grup
Ciputra. Yang 100 persen rasa Ciputra. Yang 100 persen milik keluarga.

Di sini Ciputra tidak harus lagi
bertanggung jawab pada negara (Gubernur dan DPRD). Seperti di PT Pembangunan
Jaya.

Tidak pula harus bertanggungjawab pada
partner. Seperti di Metropolitan.

Di Ciputra Group, Ciputra hanya
bertanggung jawab pada dirinya sendiri. 

Di sinilah Ciputra bebas mengangkat
anaknya sendiri, menantunya, cucunya dan siapa pun menjadi eksekutif
perusahaan.

Sekali lagi: sukses. 

Sukses satu menarik gerbong sukses
berikutnya.

Baca Juga :  Taufiq-Supriadi Mengklaim Dapat Dukungan DPP Golkar

Sama-sama sukses, mana yang lebih puas:
memimpin Pembangunan Jaya, Metropolitan atau Ciputra Group?

 

Itu pernah saya tanyakan kepada beliau.
Saya memang beberapa kali berbincang dengan beliau. Sejak saya masih muda dulu.
Berguru pada beliau.

Jawab Pak Ciputra: Yang paling memuaskan
adalah mengembangkan perusahaan keluarga!

Mengabdi ke negara sudah. Mengabdi ke
sesama teman sudah. Terakhir mengabdi untuk kejayaan keluarga.

 Ups, bukan yang terakhir.

Pak Ciputra selalu ingin mengabdi ke
masyarakat. Ia melihat mayoritas rakyat Indonesia orang pribumi yang miskin.

Maka Ciputra ingin memasyarakatkan
entrepreneurship ke masyarakat. Secara luas. Apa saja akan
di-Entrepreneur-kan oleh Ciputra.

Bupatipreneur.

Menteripreneur.

Sekolahpreneur.

Gurupreneur.

Ia begitu bangga kalau melihat ada
pribumi yang masuk bisnis. Apalagi bisa berkembang. Lalu maju.

Hanya itu yang bisa membuat pribumi
maju: menumbuhkan jiwa Entrepreneur kepada mereka. Menumbuhkan jiwanya. Bukan
memanjakannya.

Bisnis beliau memang sangat besar. Tapi
tidak bisa dibilang rakus. Karena itu beliau tidak bisa menjadi yang
terbesar. 

Beliau memang bukan konglomerat terbesar
di Republik ini. Tapi beliau punya nama besar dengan reputasi besar.

Termasuk di bidang olahraga –terutama
bulutangkis. Sebagian laba dari Jawa Pos misalnya, mengalir untuk pembinaan
bulu tangkis. Lewat klub Jaya Raya.

Beliau juga pernah gila sepak bola.
Membiayai klub Jayakarta. Tapi kasus suap menyuap di sepakbola melukai hatinya.
Tidak cocok dengan filosofi yang dikembangkannya.

Jayakarta dibubarkan. 

Reputasi beliau di bidang kesenian
apalagi. Beliau adalah konglomerat yang paling cinta seni. Aneh. Bisnis dan
seni bisa menyatu di jiwa Ciputra.

Di bidang seni warisan terakhir beliau
adalah Artpreneur. Di Kuningan Jakarta itu. Ratusan miliar rupiah dihabiskan
Ciputra untuk membangun museum pelukis Hendra. Juga untuk membangun gedung
opera terbaik Indonesia!

Mungkin karena jiwa seninya yang total
itu bisnis Ciputra tergolong bisnis yang menegakkan etika.

Alenia terakhir ini mungkin juga ingin
diucapkan Ciputra sendiri pada generasi penerusnya.

Anak cucunya. 

Termasuk saya.(Dahlan Iskan) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru