Batu Belah Batu Betangkup
Tangkuplah kaki aku …
Batu Belah Batu Betangkup
Tangkuplah tangan aku …
Batu Belah Batu Betangkup
Tangkuplah badan aku …
Batu Belah Batu Betangkup
Tangkuplah kepala aku …
BEGITULAH nyanyian yang dirapal oleh si lemah iman yang sedang putus asa di hadapan batu raksasa di tengah rimba di hari-hari sial jelang Ramadan. Batu Belah Batu Betangkup. Konon, si pemohon takkan merasa sakit sedikit pun tiap anggota badannya ditangkup batu itu.
Di mana persisnya batu itu berada, tak ada yang tahu.
Batu itu akan muncul ketika orang yang putus asa masuk ke dalam hutan, meratapi nasib yang sial berkepanjangan, mengutuk hidupnya yang penuh kesedihan, atau mengeluhkan keluarganya yang tak peduli, dan … lain sebagainya.
Itulah yang sedang dialami Samila.
Perempuan tiga puluh tahun itu memang pernah mendengar cerita tentang Batu Belah Batu Betangkup. Namun, prinsipnya sederhana. Kalau belum melihat sendiri, tidak akan ia percaya.
Lagi pula, seingatannya, mereka yang percaya dan kerap menggembar-gemborkan cerita tak masuk akal ini adalah para penyembah pohon, api, matahari, bulan-bintang, dan dongeng-dongeng.
”Aku tak tahu,” cerita Samila kepada Seminggan, sang suami, dalam beberapa kesempatan bakda magrib. ”Bagaimana mungkin tak sampai kepada mereka kabar tentang catatan Kerajaan Taa Chi di gugusan Kepulauan Melayu itu? Kita sudah berurusan dengan Cina sejak tahun 600-an. Bahkan sebelum Sriwijaya tiba di belantara ini, Kak.”
”Tak semua dari mereka bisa atau suka membaca seperti kita, istriku.”
”Juga seperti anak-anak kita,” air muka Samila menyayu serta-merta.
”Mereka sudah bisa mengaji, Dik.”
”Namun, masih suka melakukan kemubaziran,” Samila menggelung rambutnya.
”Tapi, Jalim suka membaca tentang Jepang dari kitab wunxia hadiah dari Raja Sahalapala yang baru pulang dari perjalanan panjangnya di Timur.”
”Hanya sampul kitabnya saja!”
”Dik,” kata laki-laki itu berusaha tenang. ”Akhlak lebih penting dari ilmu.”
”Jalim dan Jalum,” suara Samila mulai serak, ”bahkan tak memiliki keduanya.” Lalu Samila menceritakan tentang kapal-kapal Po-sse Ta-Shih Kuo. ”Kemarin kutanya, apakah Jalim tahu bahwa Po-sse adalah nama lain dari orang Melayu, sebagaimana Ta-Shih untuk orang Arab dan Persia. Pada abad ke-7 dan 8, di Kanfu, bahkan sudah ada perkampungan muslim.
Dan anak-anak kita takkan pernah tahu karena kitab-kitab dan catatan-catatan di gelumpai itu tak pernah mereka baca!” repet Samila. ”Mereka lebih gemar membincangkan keburukan orang daripada memeriksa kalimat Ulu di bilah-bilah bambu itu, Kak.”
Hingga … di pagi yang meninggi itu, ketika berjalan di tengah hutan, pandangan Samila bersirobok dengan batu raksasa yang membelah perlahan-lahan di hadapannya. Cerita tentang Batu Belah Batu Betangkup pun meriap di kepalanya.
”Ke … ke … kenapa aku melihatmu?” Samila berjalan mundur. ”Tidak mungkin,” ia bergumam dengan nada yang ditegas-tegaskan.
”Bukankah kau membutuhkanku, Samila?”
Ternyata, benar kata orang-orang, batu raksasa itu memang bisa bicara. Bahkan batu itu tahu namanya. Tapi, bagaimana bisa aku melihat jin atau setan atau iblis?
”Ini belum Ramadan, Samila,” sesuatu berbisik di kepalanya. ”Mereka belum dibelenggu, apalagi di hadapan orang-orang lalai sepertimu,” suara itu bagai sengaja memojokkan. ”Selain membaca, bekerja, dan beribadah, apa tanggung jawabmu kepada kehidupan? Apakah kau bermasyarakat? Apakah tidak terdengar terlalu memaksakan rencana kalian mengikutkan Jalim dan Jalum ke ujian kerajaan?”
”Ti … ti … tidak,” Samila menggeleng. Ia tak tahu, teriakannya, untuk suara yang mengolok-oloknya atau kepada Batu Belah Batu Betangkup yang bagai bersetia menunggu mangsa.
Kini tubuhnya bersandar, terdesak di tunggul, sepuluh kaki dari batu yang terus membuka dan mengatup, seakan-akan sedang mengamati calon makan siang.
Samila benar-benar ketakutan.
”Ingat-ingatlah, Samila,” gema sang Batu. ”Aku tak mungkin salah.”
Baca Juga: Perayaan Puisi dalam Pesta Demokrasi
**
Sepekan belakangan, sebagaimana biasa, di pengujung musimnya, banyak belalang rusa beterbangan di ladang. Begitu cerita Seminggan.
”Jalim, Jalum,” ia memanggil kedua putranya yang meranjak remaja, ”ke ladanglah sebelum matahari tinggi,” katanya. ”Ambil belalang rusa yang sudah Bak kumpulkan, lalu pangganglah di pondok.”
”Apakah kami boleh memakannya, Bak?” tanya Jalim, sang kakak.
Seminggan mengangguk. ”Sisakan buat Mak kalian,” katanya. ”Sepulang mengambil kayu bakar jelang petang, dia pasti sangat lapar.”
Begitulah.
Setiap hari, Seminggan dan Samila bekerja di tempat terpisah. Seminggan di ladang, menanam berbagai buah dan bunga. Sementara Samila mencari kayu bakar atau jamur di hutan sebelah. Hasilnya, sebagian mereka jual di pasar. Sebagian kecil untuk di pondok.
”Kita harus menabung perak agar anak-anak bisa kita kirim ke kota untuk belajar,” kata Seminggan. ”Mereka butuh pakaian dan makanan layak di sana,” terangnya.
”Iya, Kak,” Samila sepakat. ”Kalau lulus, mereka akan jadi pengawal atau bahkan hulubalang,” bayang Samila dengan mata berbinar.
Namun, mereka bagai selalu alpa kalau Jalim dan Jalum adalah anak-anak dengan perangai yang buruk. Jalim sangat malas dan suka mengeluh, sementara Jalum suka makan dan tidak memiliki belas kasih.
Oleh karena itu pula, mereka tak punya teman. Itu juga yang jadi alasan Seminggan dan Samila membangun pondok di tengah hutan. Mereka selalu kewalahan mendengar pengaduan dari orang tua teman-teman anak-anaknya.
Suatu kali Jalim merusak mainan orang lain. Di lain kesempatan, ia tak mau membereskan ladang yang sudah ia porak-porandakan untuk bermain, dan masih banyak lagi.
Jalum pernah mengambil koin-koin perak dari mangkuk seorang pengemis hanya karena ia tak punya cukup perak untuk membeli kue yang sangat ia inginkan di pasar. Ia juga pernah mendorong anak kecil yang sedang berbaris menunggu pembagian ubi jalar dari kerajaan pada kesempatan yang lain.
Ini belum dihitung pembangkangan mereka atas perintah orang tua untuk salat dan puasa.
Sudah sering orang-orang memberi saran kepada Seminggan dan Samila agar mereka mendidik Jalim dan Jalum dengan benar. ”Keras dan tegas itu berbeda,” saran seorang pandai besi setahun yang lalu. ”Paksa mereka membantumu di ladang agar mereka tahu apa itu kerja keras,” saran rekan Seminggan yang lain.
”Buat mereka berpanas-panasan mencari kayu bakar sepertimu, Samila,” kata teman Samila mencari kayu bakar suatu hari. ”Kalau hanya di rumah, makan, dan tidur, kalian yang akan repot sendiri!”
”Mereka akan jadi abdi kerajaan!” sembur Samila saking panas hatinya.
”Mereka akan membuat kalian menarik prasangka buruk kalian,” balas Seminggan kalau omongan miring itu ia rasa terlalu menyesaki telinga.
***
Dan sebagaimana biasa, musim belalang rusa akan berakhir di pengujung Syakban. Seingat Samila, tak sekali pun Jalim maupun Jalum meninggalkan lauk yang lezat itu untuk dirinya.
”Melihat kami menghabiskannya saja, Mak sudah kenyang, Bak,” kata Jalim ketika Seminggan bertanya.
”Dulu Mak suka belalang rusa, sekarang dah punya anak, tentulah semuanya untuk anak-anak. Iya, kan, Mak?” dalih Jalum.
Sang ayah hanya menghela napas sebelum, sebagaimana biasa, meminta mereka jangan lupa belajar membaca huruf Ulu agar gelumpai-gelumpai di dalam pondok mereka. ”Masak Bapak dan Mak kalian saja yang berisi kepalanya, tapi kalian tidak,” lalu ia pamit seraya mengajak sang istri untuk pergi bersama sebelum berpisah di simpang pohon durian di muka rimba.
Namun, Samila merajuk. Ia meninggalkan rumah begitu sarapan dan air panas ia siapkan.
Ya, pagi itu, Samila berangkat ke ladang dengan perasaan kesal.
Ia dan suaminya memang bersepakat, tidak ada keributan dan air mata di hadapan anak-anak. Tapi, dadanya sesak sekali.
Dengan mata berlinang, ia memikirkan kata orang-orang tentang perangai Jalim dan Jalum.
”Anak seperti itu takkan ingat orang tua,” suara itu melayang-layang di kepalanya. ”Kalian kelaparan pun, mereka tak peduli.”
”Mereka bisa saja kekenyangan, tapi takkan membaginya untuk orang tua yang kelaparan, lihatlah nanti!” Entah, suara siapa lagi itu.
”Apalagi nanti kalau dah jadi orang, kalian akan hilang dalam pikiran mereka!”
”Apalagi mereka, maaf kata, bukan rahasia lagi, adalah anak-anak pemalas.”
”Meskipun kalian punya banyak gelumpai, mereka tidak membacanya.”
”Karena bahkan mereka pun tidak bisa membaca!”
”Sudah banyak orang bilang,” entah suara siapa lagi, ”besarkan anak-anak di tengah keramaian. Kalian tak acuh. Seakan-akan orang tua paling pandai. Apa jadinya sekarang? Kalian sibuk di ladang agar anak-anak bisa jadi abdi kerajaan dengan membawa banyak perak. Di rumah, kabarnya kalian malah sibuk dengan Quran dan gelumpai dan mereka di kamar mereka, kalian tak tahu entah apa!”
”Kalian salah asuh!”
Samila berteriak seraya menggeleng-gelengkan kepala.
”Bagaimana?” gema itu membuat Samila sadar kalau kesedihannya telah mengundang kedatangan si Batu Raksasa. ”Kau mau bersenandung untukku, Samila?”
Samila menggeleng. ”A … aku tidak mau …”
”Tidak sakit, Samila,” suara itu, berat, bergema, tapi mengancam. ”Semua orang tahu, aku mengambil rasa putus asa tanpa memberi mereka derita. Aku menangkup rasa sakit tanpa rasa sakit. Apalagi untuk perempuan beriman sepertimu.”
Samila menangis. Ia bangkit, balik badan, memutuskan untuk lari menjauhi batu yang sedang membelah.
Di belakangnya, ia tak tahu kalau batu itu bukan hanya bisa membelah dan menangkup, tapi juga berjalan, berlari, mengejarnya …
Samila mempercepat langkah.
Batu itu terus menggelinding, terus menggelinding.
Ke arah Samila. (*)
—
BENNY ARNAS, Penulis asal Lubuklinggau