33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Cerita Laga yang Lugas, tapi Terlalu Tergesa-gesa

Ratih Kumala kurang memunculkan letupan-letupan dalam tulisannya. Ia sepertinya memilih jalan ”aman” dalam menuturkan kembali kisah turun-temurun ini.

FILOSOFIS, namun mudah dicerna. Begitu kesan membaca Saga dari Samudra yang ditulis Ratih Kumala.

Sebagai fiksi yang diangkat dari petilan sejarah Babad Tanah Jawa, lakon Jaka Samudra yang merupakan asal usul salah satu tokoh syiar Islam di tanah Jawa, Sunan Giri, boleh dibilang karya ini terlalu singkat. Buku ini hanya 193 halaman. Terbagi dalam 12 jilid.

Tidak butuh waktu lama untuk mengkhatamkannya. Bahkan meski dibaca sembari disambi aktivitas lain. Setidaknya itu yang saya alami ketika menuntaskan karya penulis yang sudah menelurkan sejumlah buku, di antaranya Gadis Kretek, Bastian dan Jamur Ajaib, serta Wesel Pos tersebut.

Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (2004) ini bercerita dengan sederhana. Tidak ndakik-ndakik. Sehingga pembaca tidak butuh konsentrasi tinggi untuk memelototi halaman demi halaman buku. Rasanya novel ini pas dibaca para pembaca sejarah pemula yang ingin menggali informasi sejarah Wali Sanga, khususnya Sunan Giri, dengan cepat.

Merujuk Ensiklopedia Sastra Indonesia (2004: 702), saga merupakan hasil sastra lama yang bertutur kehidupan seorang keluarga atau pahlawan terkenal, atau mengisahkan petualangan mengagumkan. Dalam perjalanannya, saga merupakan cerita rakyat berdasar sejarah yang telah bercampur fantasi rakyat.

Saga dari Samudra dibuka dengan pertanyaan filosofis ”Apakah durhaka itu? Sepakatkah Kisanak, jika kubilang durhaka bukanlah saat seorang anak ingkar dari (perintah Tuhan untuk mematuhi bapak dan) ibunya. Namun durhaka adalah ketika seorang ibu membuang anaknya.” (halaman 1)

Diawali adegan Dewi Sekardadu, putri Kerajaan Blambangan, yang melarung ke laut hidup-hidup bayi berkelamin laki-laki yang baru dilahirkannya. Ia lakukan itu karena ingin menyelamatkan putranya dari serdadu kerajaan yang ingin menghabisi sang buah hati.

Alasan Dewi Sekardadu seperti terdengar ganjil, bukan? Biasanya, orang melenyapkan bayinya karena tak ingin mendapatkan malu karena hamil tanpa suami. Nah, pembaca akan mendapatkan jawaban mengapa si bayi suci itu dibuang ke laut pada akhir kisah.

Baca Juga :  Simpati untuk Iblis

Singkat cerita, sesuai harapan ibunya, bayi yang dilarung di dalam peti kayu itu selamat. Itu setelah petinya menabrak kapal dagang milik Syahbandar Gresik Nyai Ageng Pinatih saat terombang-ambing di tengah laut dalam perjalanan kapal dari Gresik menuju Bali.

Nakhoda Sobir, pemimpin kapal dagang itu, memerintah anak buahnya mengangkat peti yang semula dikira harta karun bajak laut. Ternyata isinya jabang bayi. Temuan dalam peti itu tak urung membuat awak kapal bingung.

Sejumlah opsi bergantian diajukan awak kapal. Semuanya mental. Di tengah kebingungan itu, nakhoda Sobir masih sempat memberikan alasan yang terdengar menggelikan untuk menguatkan agar kapal kembali ke Gresik. ”Diserahkan ke siapa? Apa kalian tak berpikir, dia bisa saja dijual sebagai budak? Terlebih lagi kita tak membawa sapi untuk menyusuinya selama di kapal.” (halaman 4)

Dilabeli buku cerita laga, nyatanya kisah ini tidak sepenuhnya bertaburan adegan duel, pertempuran, atau adu kesaktian yang bikin pembaca merasakan ngilu ngeri-ngeri sedap ketika membacanya. Bisa jadi karena penulisnya seorang perempuan sehingga unsur feminis dalam bercerita lebih dominan.

Lantas, bagaimana nasib bayi dalam peti itu? Oleh nakhoda Sobir, bocah malang itu diberikan kepada Nyai Ageng Pinatih di Gresik. Sekuel ini berlangsung cepat tanpa konflik berarti.

Selanjutnya, Jaka Samudra dibawa pulang ke rumah oleh Nyai Ageng Pinatih. Dalam perjalanan, rupanya rombongan kereta itu dicegat gerombolan begal berjuluk Lowo Ireng.

Bisa ditebak, adegan berikutnya adalah pertarungan anak buah Nyai Ageng Pinatih melawan para begal. Salah satu begal sudah berhasil merebut Jaka Samudra dari pelukan ibu angkatnya.

Nyaris saja bayi itu akan dibunuh dengan golok, namun tiba-tiba sebuah sinar menyilaukan muncul dari Jaka Samudra. Membuat tubuh si begal tak terkendali, goloknya terlempar mengenai muka seorang begal lainnya. Bayi malang itu jatuh ke tanah. Nyai Ageng menyelamatkannya.

Baca Juga :  Orang-Orang di Kota Ini

Kisah selanjutnya tentu berkelindan seputar kehidupan Jaka Samudra yang tumbuh sehat, berkecukupan dalam asuhan Nyai Ageng Pinatih. Sampai pada suatu ketika sebuah peristiwa mengusik ketenteraman Jaka Samudra. Itu ketika Aryo Wajendra, anak saudagar kapal, mengata-ngatai Jaka Samudra sebagai anak pungut.

Ucapan Wajendra itu memukul batin Jaka Samudra. Sekaligus membuatnya penasaran apakah benar ia bukan anak kandung Nyai Ageng Pinatih.

Ratih Kumala dalam bertutur di buku ini memang tidak mengumbar diksi indah. Ia justru menggunakan kata-kata lugas dan apa adanya. Ini seolah mempertegas bahwa sebagai penulis, ia ingin pembacanya tidak kesulitan menafsirkan pesan yang ingin disampaikannya.

Di sisi lain, saya justru menilai, sebagai penulis yang baru memulai debut menulis kisah laga, Ratih Kumala terkesan terburu-buru dalam bercerita. Ini tampak sekali ketika penulis menggarap adegan perkelahian antartokoh yang berlangsung begitu cepat dan klise. Seolah-olah penulis ingin segera menyudahi sekuel itu sebelum pembaca mencapai fase perasaan mencekam miris dan ketakutan.

Dalam penilaian saya, Ratih Kumala juga kurang memunculkan letupan-letupan dalam tulisannya. Ia sepertinya memilih jalan ”aman” dalam menuturkan kembali kisah turun-temurun ini.

Penulis juga tampak terobsesi menceritakan banyak tokoh yang barangkali dimaksudkan sebagai kembang-kembang yang menghidupkan ceritanya. Tapi, lagi-lagi, ia seperti tidak tuntas dalam bercerita. Itu yang membuat pembaca penasaran seperti apa nasib tokoh itu selanjutnya.

Meski demikian, keberanian Ratih Kumala dalam menulis kisah laga ini patut diapresiasi. Dia turut memberi warna baru dalam jagat sastra Indonesia. (*)

*) YETI KARTIKASARI, Pendidik dan pembaca buku. Tinggal di kaki Penanggungan, Pandaan, Pasuruan.

Judul: Saga dari Samudra

Penulis: Ratih Kumala

Tebal: 193 halaman

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Pertama, Mei 2023

ISBN: 978-602-06-7097-3

Ratih Kumala kurang memunculkan letupan-letupan dalam tulisannya. Ia sepertinya memilih jalan ”aman” dalam menuturkan kembali kisah turun-temurun ini.

FILOSOFIS, namun mudah dicerna. Begitu kesan membaca Saga dari Samudra yang ditulis Ratih Kumala.

Sebagai fiksi yang diangkat dari petilan sejarah Babad Tanah Jawa, lakon Jaka Samudra yang merupakan asal usul salah satu tokoh syiar Islam di tanah Jawa, Sunan Giri, boleh dibilang karya ini terlalu singkat. Buku ini hanya 193 halaman. Terbagi dalam 12 jilid.

Tidak butuh waktu lama untuk mengkhatamkannya. Bahkan meski dibaca sembari disambi aktivitas lain. Setidaknya itu yang saya alami ketika menuntaskan karya penulis yang sudah menelurkan sejumlah buku, di antaranya Gadis Kretek, Bastian dan Jamur Ajaib, serta Wesel Pos tersebut.

Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (2004) ini bercerita dengan sederhana. Tidak ndakik-ndakik. Sehingga pembaca tidak butuh konsentrasi tinggi untuk memelototi halaman demi halaman buku. Rasanya novel ini pas dibaca para pembaca sejarah pemula yang ingin menggali informasi sejarah Wali Sanga, khususnya Sunan Giri, dengan cepat.

Merujuk Ensiklopedia Sastra Indonesia (2004: 702), saga merupakan hasil sastra lama yang bertutur kehidupan seorang keluarga atau pahlawan terkenal, atau mengisahkan petualangan mengagumkan. Dalam perjalanannya, saga merupakan cerita rakyat berdasar sejarah yang telah bercampur fantasi rakyat.

Saga dari Samudra dibuka dengan pertanyaan filosofis ”Apakah durhaka itu? Sepakatkah Kisanak, jika kubilang durhaka bukanlah saat seorang anak ingkar dari (perintah Tuhan untuk mematuhi bapak dan) ibunya. Namun durhaka adalah ketika seorang ibu membuang anaknya.” (halaman 1)

Diawali adegan Dewi Sekardadu, putri Kerajaan Blambangan, yang melarung ke laut hidup-hidup bayi berkelamin laki-laki yang baru dilahirkannya. Ia lakukan itu karena ingin menyelamatkan putranya dari serdadu kerajaan yang ingin menghabisi sang buah hati.

Alasan Dewi Sekardadu seperti terdengar ganjil, bukan? Biasanya, orang melenyapkan bayinya karena tak ingin mendapatkan malu karena hamil tanpa suami. Nah, pembaca akan mendapatkan jawaban mengapa si bayi suci itu dibuang ke laut pada akhir kisah.

Baca Juga :  Simpati untuk Iblis

Singkat cerita, sesuai harapan ibunya, bayi yang dilarung di dalam peti kayu itu selamat. Itu setelah petinya menabrak kapal dagang milik Syahbandar Gresik Nyai Ageng Pinatih saat terombang-ambing di tengah laut dalam perjalanan kapal dari Gresik menuju Bali.

Nakhoda Sobir, pemimpin kapal dagang itu, memerintah anak buahnya mengangkat peti yang semula dikira harta karun bajak laut. Ternyata isinya jabang bayi. Temuan dalam peti itu tak urung membuat awak kapal bingung.

Sejumlah opsi bergantian diajukan awak kapal. Semuanya mental. Di tengah kebingungan itu, nakhoda Sobir masih sempat memberikan alasan yang terdengar menggelikan untuk menguatkan agar kapal kembali ke Gresik. ”Diserahkan ke siapa? Apa kalian tak berpikir, dia bisa saja dijual sebagai budak? Terlebih lagi kita tak membawa sapi untuk menyusuinya selama di kapal.” (halaman 4)

Dilabeli buku cerita laga, nyatanya kisah ini tidak sepenuhnya bertaburan adegan duel, pertempuran, atau adu kesaktian yang bikin pembaca merasakan ngilu ngeri-ngeri sedap ketika membacanya. Bisa jadi karena penulisnya seorang perempuan sehingga unsur feminis dalam bercerita lebih dominan.

Lantas, bagaimana nasib bayi dalam peti itu? Oleh nakhoda Sobir, bocah malang itu diberikan kepada Nyai Ageng Pinatih di Gresik. Sekuel ini berlangsung cepat tanpa konflik berarti.

Selanjutnya, Jaka Samudra dibawa pulang ke rumah oleh Nyai Ageng Pinatih. Dalam perjalanan, rupanya rombongan kereta itu dicegat gerombolan begal berjuluk Lowo Ireng.

Bisa ditebak, adegan berikutnya adalah pertarungan anak buah Nyai Ageng Pinatih melawan para begal. Salah satu begal sudah berhasil merebut Jaka Samudra dari pelukan ibu angkatnya.

Nyaris saja bayi itu akan dibunuh dengan golok, namun tiba-tiba sebuah sinar menyilaukan muncul dari Jaka Samudra. Membuat tubuh si begal tak terkendali, goloknya terlempar mengenai muka seorang begal lainnya. Bayi malang itu jatuh ke tanah. Nyai Ageng menyelamatkannya.

Baca Juga :  Orang-Orang di Kota Ini

Kisah selanjutnya tentu berkelindan seputar kehidupan Jaka Samudra yang tumbuh sehat, berkecukupan dalam asuhan Nyai Ageng Pinatih. Sampai pada suatu ketika sebuah peristiwa mengusik ketenteraman Jaka Samudra. Itu ketika Aryo Wajendra, anak saudagar kapal, mengata-ngatai Jaka Samudra sebagai anak pungut.

Ucapan Wajendra itu memukul batin Jaka Samudra. Sekaligus membuatnya penasaran apakah benar ia bukan anak kandung Nyai Ageng Pinatih.

Ratih Kumala dalam bertutur di buku ini memang tidak mengumbar diksi indah. Ia justru menggunakan kata-kata lugas dan apa adanya. Ini seolah mempertegas bahwa sebagai penulis, ia ingin pembacanya tidak kesulitan menafsirkan pesan yang ingin disampaikannya.

Di sisi lain, saya justru menilai, sebagai penulis yang baru memulai debut menulis kisah laga, Ratih Kumala terkesan terburu-buru dalam bercerita. Ini tampak sekali ketika penulis menggarap adegan perkelahian antartokoh yang berlangsung begitu cepat dan klise. Seolah-olah penulis ingin segera menyudahi sekuel itu sebelum pembaca mencapai fase perasaan mencekam miris dan ketakutan.

Dalam penilaian saya, Ratih Kumala juga kurang memunculkan letupan-letupan dalam tulisannya. Ia sepertinya memilih jalan ”aman” dalam menuturkan kembali kisah turun-temurun ini.

Penulis juga tampak terobsesi menceritakan banyak tokoh yang barangkali dimaksudkan sebagai kembang-kembang yang menghidupkan ceritanya. Tapi, lagi-lagi, ia seperti tidak tuntas dalam bercerita. Itu yang membuat pembaca penasaran seperti apa nasib tokoh itu selanjutnya.

Meski demikian, keberanian Ratih Kumala dalam menulis kisah laga ini patut diapresiasi. Dia turut memberi warna baru dalam jagat sastra Indonesia. (*)

*) YETI KARTIKASARI, Pendidik dan pembaca buku. Tinggal di kaki Penanggungan, Pandaan, Pasuruan.

Judul: Saga dari Samudra

Penulis: Ratih Kumala

Tebal: 193 halaman

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Pertama, Mei 2023

ISBN: 978-602-06-7097-3

Terpopuler

Artikel Terbaru