28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Simpati untuk Iblis

Saya masih kelas enam sekolah dasar. Tiap pagi saya bersepeda sejauh
tiga kilometer ke sekolah tersebut. Lumayan jauh, gara-gara keluarga saya
pindah agak ke tengah kota dan sudah terlalu tanggung untuk pindah sekolah.

—

SATU hari, tak jauh dari sekolah, saya lihat pengumuman turnamen
sepak bola anak. Meskipun tiap klub harus membayar uang pendaftaran, hadiah
juara pertamanya sangat lumayan. Saya punya teman-teman yang jago bermain sepak
bola dan merasa yakin bisa memenanginya.

Kebetulan lingkungan rumah kami
yang baru dekat lapangan bola dan anak-anak tetangga saya bermain bola setiap
sore.

Teman-teman saya agak ogah-ogahan
mengikutinya, terutama fakta harus membayar biaya pendaftaran. Buat apa
membayar jika mereka bisa bermain bola tiap sore tanpa mengeluarkan sepeser
uang pun? Uang jajan kami tak seberapa. Sebagian dari mereka bahkan tak diberi
uang jajan oleh orang tua.

Akhirnya kami membuat
kesepakatan. Saya akan membayar uang pendaftarannya. Jika jadi juara, saya dapat
bagian hadiahnya, seolah-olah saya salah satu pemain.

Kalau dipikir-pikir sambil
tersenyum geli, saat itu saya telah menjadi pendiri klub sepak bola kampung,
manajer, sekaligus investor. Klub itu hanya diberi nama kampung kami, tak punya
jersey. Jadi, ketika main, salah satu tim terpaksa buka baju.

Turnamen dilaksanakan di hari
Minggu, maraton dari siang ke sore dengan sistem gugur dan satu pertandingan
hanya sekitar 15 menit. Seperti dugaan saya, kami juara. Sepanjang perjalanan
pulang, kami berjalan kaki bersorak-sorai merayakan kemenangan.

Karier saya sebagai manajer dan
pemilik klub berakhir hari itu juga. Alasannya mudah diduga: saya tak punya
banyak sisa uang saku untuk ikut turnamen-turnamen lain.

Baca Juga :  Bulu Bergincu

Meskipun begitu, kawan-kawan saya
tetap bermain bola. Jika kurang pemain, saya juga kadang ikut menambal. Mereka
masih bertanding dengan kampung lain di acara-acara seperti Agustusan, nama
klub berganti sesuai kehendak. Mereka pun masih mengikuti turnamen.

Melihat kegairahan anak-anak,
tetangga kami yang kaya akhirnya mau memodali tim kampung ini. Pak RT meminjami
mobil pikap untuk mengangkut pemain dan suporter ke tempat turnamen, yang
kadang lintas kecamatan dan kabupaten.

Ayah saya pernah juga ikut
”mensponsori” mereka dengan memberi jersey gratis. Kebetulan usaha kami memang
konfeksi. Di kampung-kampung, klub sepak bola, jika mereka layak disebut
”klub”, umumnya merupakan urun daya seluruh komunitas.

Saya sering kali membayangkan,
klub sepak bola modern semestinya mendekati semangat seperti itu. Semangat
bahwa klub ini milik komunitas di mana klub tersebut lahir dan tumbuh.
Hidup-matinya juga ditanggung komunitas tersebut. Klub sepak bola sebagai ruang
bersama.

Saya teringat pengalaman kecil
saya itu dalam beberapa hari terakhir dipantik berita heboh tentang lahirnya
Liga Super Eropa. Kompetisi yang digagas dua belas klub papan atas Eropa itu
redup setelah dua hari diumumkan karena hantaman dari kanan-kiri.

Sisa-sisa kehebohan itu membuat
saya bersimpati lebih kepada Real Madrid dan Barcelona, yang mendadak seperti
iblis rakus. Bukankah kedua klub secara prinsip mendekati sebuah klub milik
komunitas? Mereka dimiliki anggota yang membayar iuran tiap tahun. Mereka, dengan
kata lain, sebuah koperasi.

Barcelona dan Real Madrid
merupakan wajah kagok dari kapitalisme sepak bola. Jika klub-klub lain memilih
menjual keberadaan mereka kepada investor, konsorsium, ataupun pangeran kaya,
kedua klub masih mencoba mempertahankan akar ”kampung” mereka.

Baca Juga :  Menafsir Ulang Dunia dan Cinta serta Fantasi yang Transenden

Tapi, dengan getir, kita harus
bilang mereka jauh berbeda dengan klub-klub kampung yang dihidupi Pak RT, Pak
Kiai, anak-anak sekolah, ibu-ibu yang bikin minuman. Jika hanya mengandalkan
socio, nama anggota klub, Barcelona tak mungkin sanggup membayar pemain sekelas
Messi, bukan? Begitu juga Real Madrid.

Dengan pikiran seperti itulah
saya bersimpati dengan gagasan Liga Super Eropa. Terlepas dari pertanyaan
tentang sistem meritnya, juga pola tertutupnya yang bisa diperbaiki, bukankah
kompetisi baru ini mirip dengan gagasan sepak bola komunitas?

Bahwa kompetisi ini dibuat dan
dimiliki klub sepenuhnya. Hasil komersialnya dibagi di antara klub peserta.

Apa boleh buat, gagasan urun daya
tampaknya tidak mudah. Tak hanya kompetisi yang sepenuhnya dimiliki klub,
bahkan di masa depan, klub yang dimiliki penggemar dan pemainnya mungkin juga
akan dipaksa, diganggu, untuk menjadi tak relevan.

Jika mau bersaing di tingkat
Eropa, Barcelona harus merangkul penggemar-penggemar (dan uang) dari luar
Katalan. Dari Asia, Eropa, Afrika. Itu pun tak menjamin mereka bisa bertahan
menghadapi rival dengan pemilik level sultan. Mengharapkan uang dari juara
kompetisi? Maaf, kompetisi bukan milik klub, uang hadiah terserah yang punya
acara.

Ah, pikiran saya tampaknya
kejauhan dan mengawang. Bukankah ini seperti membayangkan para pengemudi ojek
daring memiliki aplikasi berbagi tumpangan sendiri? Aplikasi pesan makanan
dimiliki secara urun daya warung-warung? Memangnya mungkin? Kalaupun mungkin,
memang tidak digempur para juragan yang sanggup bakar uang? (*)

(EKA KURNIAWAN. Penulis dan
novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016)

Saya masih kelas enam sekolah dasar. Tiap pagi saya bersepeda sejauh
tiga kilometer ke sekolah tersebut. Lumayan jauh, gara-gara keluarga saya
pindah agak ke tengah kota dan sudah terlalu tanggung untuk pindah sekolah.

—

SATU hari, tak jauh dari sekolah, saya lihat pengumuman turnamen
sepak bola anak. Meskipun tiap klub harus membayar uang pendaftaran, hadiah
juara pertamanya sangat lumayan. Saya punya teman-teman yang jago bermain sepak
bola dan merasa yakin bisa memenanginya.

Kebetulan lingkungan rumah kami
yang baru dekat lapangan bola dan anak-anak tetangga saya bermain bola setiap
sore.

Teman-teman saya agak ogah-ogahan
mengikutinya, terutama fakta harus membayar biaya pendaftaran. Buat apa
membayar jika mereka bisa bermain bola tiap sore tanpa mengeluarkan sepeser
uang pun? Uang jajan kami tak seberapa. Sebagian dari mereka bahkan tak diberi
uang jajan oleh orang tua.

Akhirnya kami membuat
kesepakatan. Saya akan membayar uang pendaftarannya. Jika jadi juara, saya dapat
bagian hadiahnya, seolah-olah saya salah satu pemain.

Kalau dipikir-pikir sambil
tersenyum geli, saat itu saya telah menjadi pendiri klub sepak bola kampung,
manajer, sekaligus investor. Klub itu hanya diberi nama kampung kami, tak punya
jersey. Jadi, ketika main, salah satu tim terpaksa buka baju.

Turnamen dilaksanakan di hari
Minggu, maraton dari siang ke sore dengan sistem gugur dan satu pertandingan
hanya sekitar 15 menit. Seperti dugaan saya, kami juara. Sepanjang perjalanan
pulang, kami berjalan kaki bersorak-sorai merayakan kemenangan.

Karier saya sebagai manajer dan
pemilik klub berakhir hari itu juga. Alasannya mudah diduga: saya tak punya
banyak sisa uang saku untuk ikut turnamen-turnamen lain.

Baca Juga :  Bulu Bergincu

Meskipun begitu, kawan-kawan saya
tetap bermain bola. Jika kurang pemain, saya juga kadang ikut menambal. Mereka
masih bertanding dengan kampung lain di acara-acara seperti Agustusan, nama
klub berganti sesuai kehendak. Mereka pun masih mengikuti turnamen.

Melihat kegairahan anak-anak,
tetangga kami yang kaya akhirnya mau memodali tim kampung ini. Pak RT meminjami
mobil pikap untuk mengangkut pemain dan suporter ke tempat turnamen, yang
kadang lintas kecamatan dan kabupaten.

Ayah saya pernah juga ikut
”mensponsori” mereka dengan memberi jersey gratis. Kebetulan usaha kami memang
konfeksi. Di kampung-kampung, klub sepak bola, jika mereka layak disebut
”klub”, umumnya merupakan urun daya seluruh komunitas.

Saya sering kali membayangkan,
klub sepak bola modern semestinya mendekati semangat seperti itu. Semangat
bahwa klub ini milik komunitas di mana klub tersebut lahir dan tumbuh.
Hidup-matinya juga ditanggung komunitas tersebut. Klub sepak bola sebagai ruang
bersama.

Saya teringat pengalaman kecil
saya itu dalam beberapa hari terakhir dipantik berita heboh tentang lahirnya
Liga Super Eropa. Kompetisi yang digagas dua belas klub papan atas Eropa itu
redup setelah dua hari diumumkan karena hantaman dari kanan-kiri.

Sisa-sisa kehebohan itu membuat
saya bersimpati lebih kepada Real Madrid dan Barcelona, yang mendadak seperti
iblis rakus. Bukankah kedua klub secara prinsip mendekati sebuah klub milik
komunitas? Mereka dimiliki anggota yang membayar iuran tiap tahun. Mereka, dengan
kata lain, sebuah koperasi.

Barcelona dan Real Madrid
merupakan wajah kagok dari kapitalisme sepak bola. Jika klub-klub lain memilih
menjual keberadaan mereka kepada investor, konsorsium, ataupun pangeran kaya,
kedua klub masih mencoba mempertahankan akar ”kampung” mereka.

Baca Juga :  Menafsir Ulang Dunia dan Cinta serta Fantasi yang Transenden

Tapi, dengan getir, kita harus
bilang mereka jauh berbeda dengan klub-klub kampung yang dihidupi Pak RT, Pak
Kiai, anak-anak sekolah, ibu-ibu yang bikin minuman. Jika hanya mengandalkan
socio, nama anggota klub, Barcelona tak mungkin sanggup membayar pemain sekelas
Messi, bukan? Begitu juga Real Madrid.

Dengan pikiran seperti itulah
saya bersimpati dengan gagasan Liga Super Eropa. Terlepas dari pertanyaan
tentang sistem meritnya, juga pola tertutupnya yang bisa diperbaiki, bukankah
kompetisi baru ini mirip dengan gagasan sepak bola komunitas?

Bahwa kompetisi ini dibuat dan
dimiliki klub sepenuhnya. Hasil komersialnya dibagi di antara klub peserta.

Apa boleh buat, gagasan urun daya
tampaknya tidak mudah. Tak hanya kompetisi yang sepenuhnya dimiliki klub,
bahkan di masa depan, klub yang dimiliki penggemar dan pemainnya mungkin juga
akan dipaksa, diganggu, untuk menjadi tak relevan.

Jika mau bersaing di tingkat
Eropa, Barcelona harus merangkul penggemar-penggemar (dan uang) dari luar
Katalan. Dari Asia, Eropa, Afrika. Itu pun tak menjamin mereka bisa bertahan
menghadapi rival dengan pemilik level sultan. Mengharapkan uang dari juara
kompetisi? Maaf, kompetisi bukan milik klub, uang hadiah terserah yang punya
acara.

Ah, pikiran saya tampaknya
kejauhan dan mengawang. Bukankah ini seperti membayangkan para pengemudi ojek
daring memiliki aplikasi berbagi tumpangan sendiri? Aplikasi pesan makanan
dimiliki secara urun daya warung-warung? Memangnya mungkin? Kalaupun mungkin,
memang tidak digempur para juragan yang sanggup bakar uang? (*)

(EKA KURNIAWAN. Penulis dan
novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016)

Terpopuler

Artikel Terbaru