33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Orang-Orang di Kota Ini

IA tahu mereka menunggunya di depan pintu. Berjam-jam menunggunya.
Danila mungkin tengah meringkuk, kadang mengepit kedua lututnya.

Jijin yang buta akan terus
bertanya kepada Salma tentang warna langit dan Salma yang bisu meminta Danila
mengatakan sesuatu kepada Jijin. Namun, Danila tak ingin mengatakan apa pun
kepada Jijin dan Salma yang keras kepala tak berhenti meminta, dan mereka pada
akhirnya bertengkar seperti biasa.

Danila bisa saja memukul Salma
–atau Jijin. Salma bisa pula balik membalas dengan mencakar kepala Danila yang
nyaris botak. Jijin yang berjiwa lembut akan menutup telinganya dan menangis
terisak-isak karena firasatnya mengatakan sesuatu yang mengerikan tengah
mengancam mereka.

Danila berdiri dan mengambil
benda tajam di dapur. Salma berlari keluar mengambil sepotong kayu. Jijin
mengkeret dan bergerak ke sudut ruangan, terus terisak, dan tubuhnya bergetar
dan tidak lama barangkali ia akan mati ketakutan. Danila dan Salma saling
menyerang. Danila menghunjamkan pisau ke perut Salma.

Sebelum roboh, Salma memukulkan
sepotong kayu ke kepala Danila dan kepala itu mungkin pecah. Mereka berdua
terkapar, bersimbah darah. Kematian segera bekerja dan menyelesaikan semuanya
dengan cepat hingga hanya tetesan air dari keran yang sedikit bocor menjadi
satu-satunya bunyi yang masih terdengar di rumah itu.

Akan tetapi, begitu ia berdiri di
depan rumah (yang makin hari makin tampak kotor dan menjijikkan itu), apa yang
ia bayangkan sama sekali tidak terjadi. Ia mengembuskan napasnya yang sejak
tadi tertahan di dada. Di teras, di bangku tua, Danila meringkuk, mirip anak
kucing yang baik dan penurut. Jijin dan Salma duduk berjejer di depan pintu dan
mata mereka memandangi langit kelam –dan ia bertanya-tanya apa yang dilihat
Jijin dengan mata butanya itu?

Begitu mendengar langkah kakinya
yang mendekat, serempak mereka menoleh –kecuali Salma yang masih asyik saja
memandangi langit untuk beberapa saat sebelum menyadari kehadirannya– dan
Danila berseru: kami sudah lama menunggumu!

Ia bertanya-tanya tentang
perasaannya (sebagaimana ia sering bertanya-tanya apa yang dilihat Jijin saat
melihat langit dengan mata butanya itu atau apa yang membuat Salma begitu setia
kepada lelaki itu dalam penderitaan hidup yang panjang). Ia tidak pernah tahu
jawabannya. Ia tidak merasa begitu bahagia saat menemukan mereka baik-baik
saja. Namun, ia juga tidak tahu kesedihan macam apa yang akan ditanggungnya
jika saja ia menemukan mereka semua mati dengan tubuh penuh luka yang
menguarkan aroma amis darah sebagaimana yang sering sekali ia bayangkan ketika
kelelahan menggerogoti sekujur dirinya dan membuat pikirannya agak tidak waras.

”Kau membawa pulang sesuatu?”
tanya Danila dengan suara khasnya yang terkesan mengancam, yang selama puluhan
tahun telah dikenalnya dengan baik tanpa keraguan sedikit pun. Kadang ia
berpikir jangan-jangan setelah mati pun Danila masih bisa mengancam orang lain
dan mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cara seperti itu. Ya, hanya itu
yang Danila miliki. Kemampuannya meneror dan menindas. Dan dengan itu pula
selama ini ia bertahan hidup. Siapa yang bisa menentang Danila? Siapa yang
sanggup mengabaikan kemauannya?

”Tidak,” katanya memperlihatkan
tangannya yang kosong. Ia melewati pintu yang menyisakan celah untuk dirinya.
Udara semakin dingin di luar dan ia ingin segera menghangatkan diri di dalam
selimut yang mungkin saja dulu berwarna cerah, tapi sekarang tidak lebih dari
sepotong kain kumal dengan bulu-bulunya yang memuntal. Ia ingin melewati musim
hujan ini dengan semestinya. Sudah berjam-jam ia keluyuran di luar. Telapak
tangan dan kakinya begitu dingin. Ia tidak bisa lebih lama lagi menahankan
embusan angin yang kian membuatnya gemetaran.

Baca Juga :  Satu Malam yang Panjang

Danila bangkit dari bangku
–diikuti Jijin dan Salma. Mereka ikut masuk ke dalam.

Danila mendengus, ”Kau harusnya
membawa pulang sesuatu!”

Benar. Danila benar. Seharusnya
ia membawa pulang sesuatu. Roti kering kesukaan Danila. Atau biskuit berbentuk
bulat tipis rasa lemon. Danila akan menikmatinya dengan secangkir teh hangat di
musim hujan ini. Dengan cara itu Danila akan merasa kembali memenangkan
kehidupan. Membuat bibirnya tak henti menyunggingkan senyum indah. Senyum yang
puluhan tahun lalu telah membuat banyak lelaki tersesat dan masuk ke belantara
gelap hidupnya.

Jijin dan Salma tidak punya
makanan kesukaan secara khusus. Mereka selalu bergembira menerima makanan jenis
apa pun yang diberikan kepada mereka. Namun, ia tahu sepasang pengemis tua itu
akan sangat gembira bila ia membawakan dua permen yang rasa manisnya memenuhi
mulut mereka dan baunya yang enak berputar-putar di udara. Mereka mungkin akan
tertawa sepanjang malam bagai sepasang kanak-kanak yang riang.

Akan tetapi, tampaknya mereka
hanya akan makan bubur nasi dengan rasa asin yang lama-lama membuat lidah tebal
itu untuk selamanya –atau yang lebih buruk dari itu, perlahan mereka mati
kelaparan sambil memegangi piring-piring kosong dan doa yang tersendat di
kerongkongan. Danila sering mengingatkannya agar bekerja lebih keras dan
membawa sesuatu untuk mereka dan meneriakinya dengan kesal bila ia pulang
dengan tangan kosong. Jijin dan Salma tak berkata apa-apa, tapi mereka mungkin
juga mengutuk di dalam hati. Dan ia cuma berkali-kali berkata, ”Besok kita akan
mendapatkan makanan enak.”

Besok dan besok dan besoknya
lagi, mereka tetap makan nasi bubur yang membosankan itu. Jijin dan Salma sudah
dua bulanan tidak bisa lagi mengemis di jalanan atau mangkal di depan toko-toko
dan menunggu belas kasihan orang, lalu memberikan hasilnya kepada Danila
sebagai bayaran untuk makan dan tempat tinggal. Mereka sudah terlalu tua untuk
kejar-kejaran dengan petugas atau menghadapi amarah orang-orang yang tak
menginginkan mereka berkeliaran di luar. Sementara itu, Danila sudah lama
sekali tidak lagi menghasilkan uang, baik dari tubuhnya maupun dari perempuan-perempuan
yang dulu ikut bersamanya. Rumah pelacuran Danila telah lama mati. Orang-orang
meninggalkannya.

Di saat itulah, ia justru kembali
kepada Danila. Sebab, baginya, Danila seperti ibunya sendiri yang tak bisa ia
biarkan mati sendirian dalam keadaan menyedihkan. Danila yang dulu memberinya
makan dan tempat tinggal setelah berhari-hari ia terlunta di jalanan. Danila
yang kemudian menjualnya kepada siapa pun yang menginginkannya. Ia marah kepada
Danila. Kadang ia ingin membunuhnya diam-diam di saat Danila tertidur di kamar.
Namun, nyatanya, di saat ia memiliki banyak kesempatan, ia tak pernah dapat
melakukannya.

”Besok, Danila,” katanya. ”Besok
aku akan mendapatkannya.”

Danila tua yang malang, pikirnya
antara sedih dan marah. Ia tidak tahu sampai kapan akan bertahan di rumah ini.
Hidup bersama sepasang pengemis dan Danila yang tak berguna. Barangkali tak
lama lagi mereka akan membusuk bersama. Bau mereka akan mencemari kota dan
orang-orang tersadar dan mengingat kembali rumah pelacuran Danila yang pernah
terkenal itu –Danila yang dulu membuat cemas perempuan baik-baik yang sekuatnya
menjaga rumah mereka dari pengaruh kotor seorang pelacur. Sudah pasti tak
seorang pun yang akan menangisi mereka. Paling-paling mereka hanya akan muncul
di berita surat kabar dengan judul provokatif dan mengundang rasa penasaran
untuk beberapa saat.

Namun, sebelum itu terjadi, ia
akan terus pergi ke luar, keluyuran sepanjang malam dan berharap ada lelaki
kesepian dan setengah mabuk yang membuat kesepakatan dengannya untuk
menghabiskan satu atau dua jam bersama di penginapan murahan, kucing-kucingan
dengan petugas yang makin keras dan tanpa ampun.

Baca Juga :  Kemiskinan yang Tergadaikan

”Kau harus datang kepadanya.
Sudah kukatakan kau harus datang kepadanya,” kata Danila.

Danila menginginkan ia menemui
lelaki yang sekarang sudah melupakan rumah Danila yang tersohor –dan itu
sungguh melukai hatinya. ”Kau harus melakukannya.” Itu yang sering dikatakan
Danila. Lelaki itu pernah tergila-gila begitu lama pada Danila, sebelum ia
menghilang, lalu muncul lagi di kota ini sebagai lelaki saleh yang bertarung
dalam pentas politik. Beberapa tahun lalu, lelaki itu memenangi pemilihan wali
kota dan Danila mendengar semua itu dengan hati hancur. Lelaki itu satu-satunya
orang yang ia cintai dan sekarang mereka bagai malaikat dan manusia sampah.

Sejak kemunculan lelaki itu,
Danila menua dengan cepat, rambutnya memutih dan rontok dalam sekejap, kulitnya
berkerut bagai buah jeruk yang layu. Kesedihan seakan telah merebut semuanya
dari Danila. Terlebih setelah lelaki itu berkunjung ke perkampungan ini, tapi
tak sekali pun memandang kepada Danila.

”Dia benar-benar tak
mengingatku.” Itu yang dikatakan Danila di hari ia memutuskan berhenti
mencintai lelaki itu. Di hari ia tahu bahwa segalanya memang sudah berakhir. Ia
tak pernah lagi menyebut soal lelaki itu. Sampai wabah mengerikan menjangkiti
warga dan tempat ini seketika menjadi kota mati.

”Aku akan menemuinya, Danila,”
katanya setengah mengantuk. ”Aku akan membuat lelaki itu mengingat rumah
pelacuranmu. Dia tidak bisa melupakanmu begitu saja. Tenang, Danila, kau akan
mendapatkan lelaki itu berdiri di depan rumah ini dan membawa roti kering
kesukaanmu. Ah, tentu juga permen yang teramat manis untuk Jijin dan Salma.
Kita pantas mendapatkan kegembiraan itu.”

Ia tidak tahu kapan tepatnya
tertidur. Saat terjaga tengah malam, ia menemukan Danila meringkuk di sisi
kanannya dan Jijin dan Salma di sebelah kirinya. Mereka tidur gelisah dan
sepertinya sedang bergelut dengan mimpi buruk dan rasa lapar.

Pelan-pelan, ia bangkit dan
mengenakan pakaian terbaik milik Danila dan sedikit berdandan. Sore tadi,
sebenarnya ia berhasil menemui wali kota itu dan mengenalkan dirinya sebagai
orang suruhan Danila. Lelaki itu pura-pura tidak mengingat nama itu. Namun, ia
tahu, tak lama lagi diam-diam lelaki itu akan datang ke depan pintu rumah ini
dan membawa apa yang ia inginkan.

*

Tengah malam itu, orang-orang di
kota ini bergerak cepat ke perkampungan tempat rumah pelacuran Danila berada.
Sementara itu, di depan pintu, ia duduk di bangku dan terus teringat bagaimana
paras wali kota itu saat ia berkata kepadanya, ”Danila. Danila. Kau tidak bisa
melupakan nama itu, Shin.” Orang-orang makin bergerak cepat seolah
kejar-kejaran dengan waktu. Ia berpikir, lelaki itu mungkin datang terlambat,
tapi tak apa, ia tetap akan menunggu. Demi Danila. Demi Jijin dan Salma.

Orang-orang segera menyerbu rumah
pelacuran Danila, mereka melemparkan batu dan potongan kayu, bermaksud meneror
dan membuat penghuninya ketakutan. Ia terus menunggu dan duduk di sana dan
berbisik pada dirinya, ”Ia pasti datang kepadamu, Danila. Ia pasti datang.”
Orang-orang merangsek masuk ke dalam rumah pelacuran Danila, tapi tak menemukan
apa-apa selain sebuah bangku kosong di depan pintu dan selimut usang di lantai.
”Bakar saja!” kata salah seorang di antara mereka yang mirip suara wali kota.
(*)

Rumah Kinoli, 2020

—————————

YETTI A.KA. Tinggal di Kota
Padang, Sumatera Barat. Kumpulan cerpen terbarunya, Ketua Klub Gosip dan
Anggota Kongsi Kematian (2020).

IA tahu mereka menunggunya di depan pintu. Berjam-jam menunggunya.
Danila mungkin tengah meringkuk, kadang mengepit kedua lututnya.

Jijin yang buta akan terus
bertanya kepada Salma tentang warna langit dan Salma yang bisu meminta Danila
mengatakan sesuatu kepada Jijin. Namun, Danila tak ingin mengatakan apa pun
kepada Jijin dan Salma yang keras kepala tak berhenti meminta, dan mereka pada
akhirnya bertengkar seperti biasa.

Danila bisa saja memukul Salma
–atau Jijin. Salma bisa pula balik membalas dengan mencakar kepala Danila yang
nyaris botak. Jijin yang berjiwa lembut akan menutup telinganya dan menangis
terisak-isak karena firasatnya mengatakan sesuatu yang mengerikan tengah
mengancam mereka.

Danila berdiri dan mengambil
benda tajam di dapur. Salma berlari keluar mengambil sepotong kayu. Jijin
mengkeret dan bergerak ke sudut ruangan, terus terisak, dan tubuhnya bergetar
dan tidak lama barangkali ia akan mati ketakutan. Danila dan Salma saling
menyerang. Danila menghunjamkan pisau ke perut Salma.

Sebelum roboh, Salma memukulkan
sepotong kayu ke kepala Danila dan kepala itu mungkin pecah. Mereka berdua
terkapar, bersimbah darah. Kematian segera bekerja dan menyelesaikan semuanya
dengan cepat hingga hanya tetesan air dari keran yang sedikit bocor menjadi
satu-satunya bunyi yang masih terdengar di rumah itu.

Akan tetapi, begitu ia berdiri di
depan rumah (yang makin hari makin tampak kotor dan menjijikkan itu), apa yang
ia bayangkan sama sekali tidak terjadi. Ia mengembuskan napasnya yang sejak
tadi tertahan di dada. Di teras, di bangku tua, Danila meringkuk, mirip anak
kucing yang baik dan penurut. Jijin dan Salma duduk berjejer di depan pintu dan
mata mereka memandangi langit kelam –dan ia bertanya-tanya apa yang dilihat
Jijin dengan mata butanya itu?

Begitu mendengar langkah kakinya
yang mendekat, serempak mereka menoleh –kecuali Salma yang masih asyik saja
memandangi langit untuk beberapa saat sebelum menyadari kehadirannya– dan
Danila berseru: kami sudah lama menunggumu!

Ia bertanya-tanya tentang
perasaannya (sebagaimana ia sering bertanya-tanya apa yang dilihat Jijin saat
melihat langit dengan mata butanya itu atau apa yang membuat Salma begitu setia
kepada lelaki itu dalam penderitaan hidup yang panjang). Ia tidak pernah tahu
jawabannya. Ia tidak merasa begitu bahagia saat menemukan mereka baik-baik
saja. Namun, ia juga tidak tahu kesedihan macam apa yang akan ditanggungnya
jika saja ia menemukan mereka semua mati dengan tubuh penuh luka yang
menguarkan aroma amis darah sebagaimana yang sering sekali ia bayangkan ketika
kelelahan menggerogoti sekujur dirinya dan membuat pikirannya agak tidak waras.

”Kau membawa pulang sesuatu?”
tanya Danila dengan suara khasnya yang terkesan mengancam, yang selama puluhan
tahun telah dikenalnya dengan baik tanpa keraguan sedikit pun. Kadang ia
berpikir jangan-jangan setelah mati pun Danila masih bisa mengancam orang lain
dan mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cara seperti itu. Ya, hanya itu
yang Danila miliki. Kemampuannya meneror dan menindas. Dan dengan itu pula
selama ini ia bertahan hidup. Siapa yang bisa menentang Danila? Siapa yang
sanggup mengabaikan kemauannya?

”Tidak,” katanya memperlihatkan
tangannya yang kosong. Ia melewati pintu yang menyisakan celah untuk dirinya.
Udara semakin dingin di luar dan ia ingin segera menghangatkan diri di dalam
selimut yang mungkin saja dulu berwarna cerah, tapi sekarang tidak lebih dari
sepotong kain kumal dengan bulu-bulunya yang memuntal. Ia ingin melewati musim
hujan ini dengan semestinya. Sudah berjam-jam ia keluyuran di luar. Telapak
tangan dan kakinya begitu dingin. Ia tidak bisa lebih lama lagi menahankan
embusan angin yang kian membuatnya gemetaran.

Baca Juga :  Satu Malam yang Panjang

Danila bangkit dari bangku
–diikuti Jijin dan Salma. Mereka ikut masuk ke dalam.

Danila mendengus, ”Kau harusnya
membawa pulang sesuatu!”

Benar. Danila benar. Seharusnya
ia membawa pulang sesuatu. Roti kering kesukaan Danila. Atau biskuit berbentuk
bulat tipis rasa lemon. Danila akan menikmatinya dengan secangkir teh hangat di
musim hujan ini. Dengan cara itu Danila akan merasa kembali memenangkan
kehidupan. Membuat bibirnya tak henti menyunggingkan senyum indah. Senyum yang
puluhan tahun lalu telah membuat banyak lelaki tersesat dan masuk ke belantara
gelap hidupnya.

Jijin dan Salma tidak punya
makanan kesukaan secara khusus. Mereka selalu bergembira menerima makanan jenis
apa pun yang diberikan kepada mereka. Namun, ia tahu sepasang pengemis tua itu
akan sangat gembira bila ia membawakan dua permen yang rasa manisnya memenuhi
mulut mereka dan baunya yang enak berputar-putar di udara. Mereka mungkin akan
tertawa sepanjang malam bagai sepasang kanak-kanak yang riang.

Akan tetapi, tampaknya mereka
hanya akan makan bubur nasi dengan rasa asin yang lama-lama membuat lidah tebal
itu untuk selamanya –atau yang lebih buruk dari itu, perlahan mereka mati
kelaparan sambil memegangi piring-piring kosong dan doa yang tersendat di
kerongkongan. Danila sering mengingatkannya agar bekerja lebih keras dan
membawa sesuatu untuk mereka dan meneriakinya dengan kesal bila ia pulang
dengan tangan kosong. Jijin dan Salma tak berkata apa-apa, tapi mereka mungkin
juga mengutuk di dalam hati. Dan ia cuma berkali-kali berkata, ”Besok kita akan
mendapatkan makanan enak.”

Besok dan besok dan besoknya
lagi, mereka tetap makan nasi bubur yang membosankan itu. Jijin dan Salma sudah
dua bulanan tidak bisa lagi mengemis di jalanan atau mangkal di depan toko-toko
dan menunggu belas kasihan orang, lalu memberikan hasilnya kepada Danila
sebagai bayaran untuk makan dan tempat tinggal. Mereka sudah terlalu tua untuk
kejar-kejaran dengan petugas atau menghadapi amarah orang-orang yang tak
menginginkan mereka berkeliaran di luar. Sementara itu, Danila sudah lama
sekali tidak lagi menghasilkan uang, baik dari tubuhnya maupun dari perempuan-perempuan
yang dulu ikut bersamanya. Rumah pelacuran Danila telah lama mati. Orang-orang
meninggalkannya.

Di saat itulah, ia justru kembali
kepada Danila. Sebab, baginya, Danila seperti ibunya sendiri yang tak bisa ia
biarkan mati sendirian dalam keadaan menyedihkan. Danila yang dulu memberinya
makan dan tempat tinggal setelah berhari-hari ia terlunta di jalanan. Danila
yang kemudian menjualnya kepada siapa pun yang menginginkannya. Ia marah kepada
Danila. Kadang ia ingin membunuhnya diam-diam di saat Danila tertidur di kamar.
Namun, nyatanya, di saat ia memiliki banyak kesempatan, ia tak pernah dapat
melakukannya.

”Besok, Danila,” katanya. ”Besok
aku akan mendapatkannya.”

Danila tua yang malang, pikirnya
antara sedih dan marah. Ia tidak tahu sampai kapan akan bertahan di rumah ini.
Hidup bersama sepasang pengemis dan Danila yang tak berguna. Barangkali tak
lama lagi mereka akan membusuk bersama. Bau mereka akan mencemari kota dan
orang-orang tersadar dan mengingat kembali rumah pelacuran Danila yang pernah
terkenal itu –Danila yang dulu membuat cemas perempuan baik-baik yang sekuatnya
menjaga rumah mereka dari pengaruh kotor seorang pelacur. Sudah pasti tak
seorang pun yang akan menangisi mereka. Paling-paling mereka hanya akan muncul
di berita surat kabar dengan judul provokatif dan mengundang rasa penasaran
untuk beberapa saat.

Namun, sebelum itu terjadi, ia
akan terus pergi ke luar, keluyuran sepanjang malam dan berharap ada lelaki
kesepian dan setengah mabuk yang membuat kesepakatan dengannya untuk
menghabiskan satu atau dua jam bersama di penginapan murahan, kucing-kucingan
dengan petugas yang makin keras dan tanpa ampun.

Baca Juga :  Kemiskinan yang Tergadaikan

”Kau harus datang kepadanya.
Sudah kukatakan kau harus datang kepadanya,” kata Danila.

Danila menginginkan ia menemui
lelaki yang sekarang sudah melupakan rumah Danila yang tersohor –dan itu
sungguh melukai hatinya. ”Kau harus melakukannya.” Itu yang sering dikatakan
Danila. Lelaki itu pernah tergila-gila begitu lama pada Danila, sebelum ia
menghilang, lalu muncul lagi di kota ini sebagai lelaki saleh yang bertarung
dalam pentas politik. Beberapa tahun lalu, lelaki itu memenangi pemilihan wali
kota dan Danila mendengar semua itu dengan hati hancur. Lelaki itu satu-satunya
orang yang ia cintai dan sekarang mereka bagai malaikat dan manusia sampah.

Sejak kemunculan lelaki itu,
Danila menua dengan cepat, rambutnya memutih dan rontok dalam sekejap, kulitnya
berkerut bagai buah jeruk yang layu. Kesedihan seakan telah merebut semuanya
dari Danila. Terlebih setelah lelaki itu berkunjung ke perkampungan ini, tapi
tak sekali pun memandang kepada Danila.

”Dia benar-benar tak
mengingatku.” Itu yang dikatakan Danila di hari ia memutuskan berhenti
mencintai lelaki itu. Di hari ia tahu bahwa segalanya memang sudah berakhir. Ia
tak pernah lagi menyebut soal lelaki itu. Sampai wabah mengerikan menjangkiti
warga dan tempat ini seketika menjadi kota mati.

”Aku akan menemuinya, Danila,”
katanya setengah mengantuk. ”Aku akan membuat lelaki itu mengingat rumah
pelacuranmu. Dia tidak bisa melupakanmu begitu saja. Tenang, Danila, kau akan
mendapatkan lelaki itu berdiri di depan rumah ini dan membawa roti kering
kesukaanmu. Ah, tentu juga permen yang teramat manis untuk Jijin dan Salma.
Kita pantas mendapatkan kegembiraan itu.”

Ia tidak tahu kapan tepatnya
tertidur. Saat terjaga tengah malam, ia menemukan Danila meringkuk di sisi
kanannya dan Jijin dan Salma di sebelah kirinya. Mereka tidur gelisah dan
sepertinya sedang bergelut dengan mimpi buruk dan rasa lapar.

Pelan-pelan, ia bangkit dan
mengenakan pakaian terbaik milik Danila dan sedikit berdandan. Sore tadi,
sebenarnya ia berhasil menemui wali kota itu dan mengenalkan dirinya sebagai
orang suruhan Danila. Lelaki itu pura-pura tidak mengingat nama itu. Namun, ia
tahu, tak lama lagi diam-diam lelaki itu akan datang ke depan pintu rumah ini
dan membawa apa yang ia inginkan.

*

Tengah malam itu, orang-orang di
kota ini bergerak cepat ke perkampungan tempat rumah pelacuran Danila berada.
Sementara itu, di depan pintu, ia duduk di bangku dan terus teringat bagaimana
paras wali kota itu saat ia berkata kepadanya, ”Danila. Danila. Kau tidak bisa
melupakan nama itu, Shin.” Orang-orang makin bergerak cepat seolah
kejar-kejaran dengan waktu. Ia berpikir, lelaki itu mungkin datang terlambat,
tapi tak apa, ia tetap akan menunggu. Demi Danila. Demi Jijin dan Salma.

Orang-orang segera menyerbu rumah
pelacuran Danila, mereka melemparkan batu dan potongan kayu, bermaksud meneror
dan membuat penghuninya ketakutan. Ia terus menunggu dan duduk di sana dan
berbisik pada dirinya, ”Ia pasti datang kepadamu, Danila. Ia pasti datang.”
Orang-orang merangsek masuk ke dalam rumah pelacuran Danila, tapi tak menemukan
apa-apa selain sebuah bangku kosong di depan pintu dan selimut usang di lantai.
”Bakar saja!” kata salah seorang di antara mereka yang mirip suara wali kota.
(*)

Rumah Kinoli, 2020

—————————

YETTI A.KA. Tinggal di Kota
Padang, Sumatera Barat. Kumpulan cerpen terbarunya, Ketua Klub Gosip dan
Anggota Kongsi Kematian (2020).

Terpopuler

Artikel Terbaru