Site icon Prokalteng

Luna Hanya Impian

luna-hanya-impian

PROKALTENG.CO – Bukan dag dig dug yang kurasa saat melihatnya. Namun jrenggg… jrenggg…. Hatiku terdengar seperti itu.

Terkesima dengan wajah cantik yang dibalut oleh rambut panjangnya yang kecokelatan. Namanya Luna Zatifa.

Dia selalu menunggu angkot di samping jalan raya depan rumahnya saat ke sekolah. Aku sering melewatinya karena harus bersama adikku. Sembari meliriknya di kaca spion. Kubayangkan dia yang kubonceng.

Suatu pagi di hari Kamis, adikku sedang tidak enak badan dan tidak ke sekolah. Hari itu juga, pertama kali aku membonceng Luna.

“Mau ikut?,” tanyaku sesaat menghentikan motorku yang kukendarai dengan pelan.

“Ehh, Fauzi!! Hmmm.. memang adiknya ke mana?,” tanya Luna.

“Kok balik bertanya,” aku tertawa kecil.

“Dia gak enak badan. Gimana mau ikut. Sepuluh menit lagi masuk kelas loh,” pintaku sambil melihat jam tanganku.

Tanpa berpikir lagi, dia langsung naik ke motorku. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati karena berboncengan dengan cewek idamanku.

Waktu istirahat di kelas XI IPA 2 yang hiruk-pikuk.

“Wihh.. wihhh.. yang boncengan sama cewek IPA 1,” kata Rian sambil merangkulku.

“Apa sih lo, santai aja kali,” jawabku melepaskan rangkulan Rian.

“Hmmm…. kalian memang cocok sih. Aplikasi ramalan gue nunjukin 95 persen kecocokan lo sama Luna dengan nama lengkap kalian,” kata Sindi si bawel yang gak ada angin hujan langsung muncul.

“Udah deh, kalian ngomong apa sih. Gua cuman nolongin daripada dia terlambat,” kataku.

“Alesan lu, hahaha,” Rian tertawa kecil.

Dipikir-pikir, Luna pasti juga menyukaiku. Karena ketika bertemu dia biasa tersipu malu. Dia juga biasa sesekali melihatku, terutama saat upacara bendera. Sesekali mata kami berdua bertemu.

Sebulan setelah membonceng Luna. Aku selalu membayangkan Luna setiap malam dan berharap dia mau jadi pacarku. Jadi kuputuskan untuk nembak dia keesokan harinya.

Di kantin sekolah.

“Lo gak papa kan, Zi,” kata Rian sambil duduk di depanku.

“Apaan sih, pasti maksud lo soal Luna dan Alvin kan,” kataku tersenyum tipis.

“Hmmm,” Rian hanya bisa menghela napas.

Misiku ingin nembak Luna untuk jadi pacarku hari itu buyar. Dia sudah berpacaran dengan Alvin teman sekelasnya dua bulan lalu. Tidak ada yang tahu termasuk aku, sampai hari itu. Seisi sekolah membicarakan mereka.

Jujur hatiku sangat sakit menerima kebenaran itu. Aku juga terlalu percaya diri bahwa dia menyukaiku dan pasti akan menjadi pacarku.

Beruntung, ada Rian dan Sindi uyang selalu menemani dan menyemangatiku.

Tak terasa hari kelulusan hampir tiba. Di hari upacara terakhir di sekolah aku berpapasan dengan cewek yang dahulu kuidam-idamkan.

“Luna, gimana persiapan ujiannya?,” sapaku dengan santai.

“Ehh, Fauzi, katanya kamu daftar kuliah di Jakarta yah? Kamu semangat yah,” seperti biasa dia selalu bertanya balik.

“Iya, kamu semangat yah,” kataku tersenyum.

“Iya,” jawabnya sesekali melihat mataku dan tersipu.

Saat itulah aku tersadar bahwa Luna memang adalah cewek pemalu dan memang selalu tersipu jika berbicara dengan cowok. Luna hanya impian semataku. Aku hanya bisa melangkah dengan ringan saat itu.

“Lain kali aku gak bakalan kepedean lagi,” ujarku dalam hati.

Exit mobile version