28.6 C
Jakarta
Saturday, October 12, 2024

Kumpulan Sajak Mardi Luhung

Kosong

Jika musim yang berat ini tak kunjung rampung, apa yang akan

kita lakukan. Bertahan atau pindah ke planet lain. Pindah

ke planet lain? Kenapa tidak. Sebab, telah terdengar kabar,

bahwa, dalam tahun-tahun ke depan, akan ada misi pergi

ke planet Mars. Dan di sana, akan dibangun permukiman baru.

Permukiman antarplanet. Permukiman yang mengusung

mimpi-mimpi indah tentang sebuah tempat: bersih, tenang,

dan teratur. Mirip keadaan bumi ketika pertama kali dihuni

Adam. Bumi yang menyediakan semua yang dibutuhkan

dan yang akan dikembangkan. Tapi, sayangnya, misi itu

hanya menyediakan karcis berangkat saja. Tanpa balik lagi

ke bumi. Jadinya, sekali berangkat, sekali itu pula, kita

mesti melenyapkan segala kenangan yang ada di dalam diri.

Termasuk kenangan pada ayah, ibu, tante, om, sampai

pada pacar dan mantan. Dan kita pun menjadi orang-orang

baru. Orang-orang yang ketika menulis hidupnya, akan

memulai dengan pembuka: ”Pada hari, tanggal, bulan, dan

tahun nol, kami turun dari kekosongan. Dan kami

pun tak ingin menengok pada apa yang mengular di belakang.”

(Gresik, 2020)

=====================

Lemari

Jangan tidur. Sebentar lagi mungkin kiamat. Tidakkah

Baca Juga :  Orang-Orang di Kota Ini

kau ingin tahu: bagaimana langit mengisut, gunung

melompat, dan samudra melesat. Melesat pergi. Pergi

tanpa permisi. Seperti perginya si patah hati yang telah

kehilangan akal. Si patah hati yang menjambak-jambak

rambutnya di sebelah gardu. Sambil memanggili nama

entah siapa. Ayo, jangan tidur. Naiklah ke bumbungan.

Pertajam pandanganmu. Sebentar lagi mungkin kiamat.

Dan sebentar lagi, kau akan tahu, bahwa ada yang telah

lama menyapamu. Sejak pertama kau buka matamu. Dan

sejak kau tuding dunia dan isinya sebagai isi lemarimu.

(Seekor gantrung kelabu terbang rendah di sebelah pagar).

(Gresik, 2020)

=====================

Kepada Umur

Telah aku lewati malam-malam yang pernah tak bisa tidur lelap. Telah
aku

lewati malam-malam yang pernah mencangkung di sisi unggun. Dan telah

aku lewati malam-malam yang pernah melihat bintang jatuh sambil
terpejam.

Malam-malam, di mana, aku mengulurkan pikiran menuju kerahasiaan. Yang

aku jaga dengan segenap jari yang ada di tangan dan kaki yang
memanjang.

Malam-malam, di mana, aku memanggili sekian nama bukan dengan kalimat.

Tapi, dengan lambaian yang berulang-ulang. Sebab, menduga, bahwa mereka

Baca Juga :  Kemiskinan yang Tergadaikan

adalah si pembisik langkah. Yang selalu mengiringi ke mana saja aku
pergi.

Dan ke mana saja aku edarkan sorot mataku yang berdikit-dikit merabun
ini.

Juga telah aku lewati malam-malam yang pernah ingin sekali tak lagi
menjadi

malam. Berlagak sebagai pagi, siang, atau sore yang baru. Padahal,
siapa pun

tahu, bahwa jubah malam adalah gelap. Gelap yang tak mungkin tersorot
sinar

matahari. Gelap yang meluas. Dan meluas ke entah. Yang pernah aku
kenakan

ketika rembulan tenggelam. Dan seekor burung putih berseliweran.
Terlambat

kembali ke sarang. Seperti keterlambatan duka, ketika merasa, bahwa
apa-apa

yang berguguran pasti akan kembali bertumbuhan. Berkembangan. Dan
telah,

telah, aku lewati malam-malam yang lebih malam daripada malam itu
sendiri.

(Gresik, 2019)

=================

MARDI LUHUNG. Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Lulusan
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember. Puisinya
tersebar di berbagai media. Pada 2010, dia mendapatkan anugerah Khatulistiwa
Literary Award kategori puisi. Sedangkan kumpulan cerpen pertamanya adalah Aku
Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011). Dan Cumcum Pergi ke Akhirat (2017) adalah
buku puisi terakhirnya.

Kosong

Jika musim yang berat ini tak kunjung rampung, apa yang akan

kita lakukan. Bertahan atau pindah ke planet lain. Pindah

ke planet lain? Kenapa tidak. Sebab, telah terdengar kabar,

bahwa, dalam tahun-tahun ke depan, akan ada misi pergi

ke planet Mars. Dan di sana, akan dibangun permukiman baru.

Permukiman antarplanet. Permukiman yang mengusung

mimpi-mimpi indah tentang sebuah tempat: bersih, tenang,

dan teratur. Mirip keadaan bumi ketika pertama kali dihuni

Adam. Bumi yang menyediakan semua yang dibutuhkan

dan yang akan dikembangkan. Tapi, sayangnya, misi itu

hanya menyediakan karcis berangkat saja. Tanpa balik lagi

ke bumi. Jadinya, sekali berangkat, sekali itu pula, kita

mesti melenyapkan segala kenangan yang ada di dalam diri.

Termasuk kenangan pada ayah, ibu, tante, om, sampai

pada pacar dan mantan. Dan kita pun menjadi orang-orang

baru. Orang-orang yang ketika menulis hidupnya, akan

memulai dengan pembuka: ”Pada hari, tanggal, bulan, dan

tahun nol, kami turun dari kekosongan. Dan kami

pun tak ingin menengok pada apa yang mengular di belakang.”

(Gresik, 2020)

=====================

Lemari

Jangan tidur. Sebentar lagi mungkin kiamat. Tidakkah

Baca Juga :  Orang-Orang di Kota Ini

kau ingin tahu: bagaimana langit mengisut, gunung

melompat, dan samudra melesat. Melesat pergi. Pergi

tanpa permisi. Seperti perginya si patah hati yang telah

kehilangan akal. Si patah hati yang menjambak-jambak

rambutnya di sebelah gardu. Sambil memanggili nama

entah siapa. Ayo, jangan tidur. Naiklah ke bumbungan.

Pertajam pandanganmu. Sebentar lagi mungkin kiamat.

Dan sebentar lagi, kau akan tahu, bahwa ada yang telah

lama menyapamu. Sejak pertama kau buka matamu. Dan

sejak kau tuding dunia dan isinya sebagai isi lemarimu.

(Seekor gantrung kelabu terbang rendah di sebelah pagar).

(Gresik, 2020)

=====================

Kepada Umur

Telah aku lewati malam-malam yang pernah tak bisa tidur lelap. Telah
aku

lewati malam-malam yang pernah mencangkung di sisi unggun. Dan telah

aku lewati malam-malam yang pernah melihat bintang jatuh sambil
terpejam.

Malam-malam, di mana, aku mengulurkan pikiran menuju kerahasiaan. Yang

aku jaga dengan segenap jari yang ada di tangan dan kaki yang
memanjang.

Malam-malam, di mana, aku memanggili sekian nama bukan dengan kalimat.

Tapi, dengan lambaian yang berulang-ulang. Sebab, menduga, bahwa mereka

Baca Juga :  Kemiskinan yang Tergadaikan

adalah si pembisik langkah. Yang selalu mengiringi ke mana saja aku
pergi.

Dan ke mana saja aku edarkan sorot mataku yang berdikit-dikit merabun
ini.

Juga telah aku lewati malam-malam yang pernah ingin sekali tak lagi
menjadi

malam. Berlagak sebagai pagi, siang, atau sore yang baru. Padahal,
siapa pun

tahu, bahwa jubah malam adalah gelap. Gelap yang tak mungkin tersorot
sinar

matahari. Gelap yang meluas. Dan meluas ke entah. Yang pernah aku
kenakan

ketika rembulan tenggelam. Dan seekor burung putih berseliweran.
Terlambat

kembali ke sarang. Seperti keterlambatan duka, ketika merasa, bahwa
apa-apa

yang berguguran pasti akan kembali bertumbuhan. Berkembangan. Dan
telah,

telah, aku lewati malam-malam yang lebih malam daripada malam itu
sendiri.

(Gresik, 2019)

=================

MARDI LUHUNG. Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Lulusan
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember. Puisinya
tersebar di berbagai media. Pada 2010, dia mendapatkan anugerah Khatulistiwa
Literary Award kategori puisi. Sedangkan kumpulan cerpen pertamanya adalah Aku
Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011). Dan Cumcum Pergi ke Akhirat (2017) adalah
buku puisi terakhirnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru