Site icon Prokalteng

Lelaki Bercelana Joger

ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)

Oleh: HASBUNALLAH HARIS

Nu’ai baru saja melepas capit cas aki setrum ikannya saat lelaki bercelana joger itu datang. Dia menawarkan pekerjaan; membersihkan bak PDAM di Bangko, tak berapa jauh dari rumah mereka yang uzur dan doyong.

Tanpa pikir panjang, niat yang semula hendak pergi mengarit kambing bujang di belakang rumah diurungkan demi mendengar PDAM disebut-sebut, siapa yang tidak akan tergiur dengan uang dua ratus ribu, cash, kerja setengah hari di musim payah macam sekarang?

”Aku akan mengganti baju sebentar, tunggulah dulu,” ujar Nu’ai menyilakan lelaki itu duduk di beranda rumah. Sepasang anjing pemburunya kemarin baru saja melahirkan. Anjing yang betina sejak tadi mengawasi tamu yang datang, kadang mengedipkan mata dengan cemas, kadang melolong-lolong macam pungguk merindukan bulan.

Bak PDAM itu memang sudah lama tidak dibersihkan. Terakhir keduanya dapat panggilan sekitar dua bulan lalu sebelum Ramadan masuk. Orang-orang tentu saja menginginkan air terus mengalir jernih tanpa hambatan. Pekerjaan membersihkan bak meski berat namun dibayar dengan harga yang lumayan. Keduanya sudah menekuni pekerjaan lepas itu sejak beberapa tahun silam.

Nu’ai, sebagai lelaki beranak satu yang menumpang tinggal di rumah bekas mertuanya yang sudah almarhum, pun tak urung merasakan gejolak lonjakan bahan pokok yang demikian cepat, ditambah lagi dengan Lebaran yang akan datang. Kepalanya pusing memikirkan uang belanja anak dan bininya.

Dirinya? Oh tentu saja tidak, sudah dua tahun dia masih memakai baju koko lengan panjang yang sama, meski kini warnanya sudah sedikit memudar karena terlalu sering dicuci.

Sehabis menukar baju, dia pamit pada istrinya yang sedang membadung Amira, anak semata wayangnya itu. Perempuan dengan tahi lalat di bawah bibir itu bergetar mengucapkan ”hati-hati”. Perasaannya tidak enak sejak semalam, ditambah lagi pagi tadi saat sahur dia menjatuhkan mangkuk yang akan diletakkan ke atas rak. Pecahan mangkuk itu melukai kakinya sendiri.

”Sebelum sore kami sudah pulang, seperti yang sudah-sudah,” katanya sambil menjangkau topi bundar yang tergantung di belakang pintu dapur. Bininya hanya mengangguk dan mengantar hingga ke pintu depan, lalu kembali masuk untuk melanjutkan pekerjaan setelah dua orang itu hilang di ujung tikungan jalan setapak rumah mereka.

Sejak sama-sama sekolah di SD inpres, Nu’ai memang sudah akrab dengan lelaki bercelana joger itu. Keduanya sudah macam pinang dibelah dua, di mana ada Nu’ai, di sana ada pula dia. Namun jalan hidup memisahkan keduanya beberapa tahun saat Nu’ai mengenyam pendidikan di Kota Pekanbaru, dan kembali bersama setelah dia mengaku kalah di tengah hiruk pikuk kesibukan kota.

”Terlalu gila,” ujarnya bercerita saat mereka menunggu jagung di ladang beberapa tahun silam. ”Hidup di kota itu terlalu selangit, bahkan untuk berak saja harus membayar. Bah, kalau di sini kita tinggal pergi saja ke sungai sana dan berak sesuka hati, pakai air sesuka hari.

Di kota semuanya ditakar, semuanya diatur, dan orang-orang serabutanlah yang akan menderita dibuatnya, tak sanggup membayar listrik, terjepit utang, terkangkang-kangkang dikejar rentenir.”

”Begitu?” Lelaki itu semringah mendengarkan. Selama hidungnya ditempuh napas, memang belum sekali pun dia menginjakkan kaki keluar kampung untuk merantau. Hidupnya habis sekadar menanam jagung dan kacang tanah, atau sesekali menanam padi di sawah gadai yang kini sudah terjual pula.

Anaknya tiga, dan nasibnya tak jauh beda dengan Nu’ai; sebuah gambaran kemelaratan orang-orang pedesaan yang bertekuk lutut pada kata ”globalisasi”.

”Orang bilang enak tinggal di kota,” lanjut Nu’ai bercerita. ”Bah, mereka belum tahu saja kejamnya orang-orang kota, bahkan sesama tetangga saja tidak saling mengenal. Hidup macam apa itu?”

”Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing mungkin, Kawan.” Lelaki itu berusaha mengajukan pembelaan.

”Ah, mana mungkin,” timpal Nu’ai lagi, lalu mengambil sebuah lidi enau untuk ditusukkan ke giginya yang jarang. ”Orang-orang kota memang tidak pernah peduli. Mereka membangun tembok yang tinggi untuk memagari rumah, mengisolasi diri, tak mau tahu dengan lingkungan sekitar.”

Dalam hati, lelaki itu sangat bersyukur tak pernah merantau. Dia merasa sudah cukup dengan ladang beberapa petak saja dan hasil yang nyaris sama dari tahun ke tahun, bila musim durian tiba, pemasukan akan bertambah, atau sesekali dia bisa bekerja jadi buruh lepas PDAM, membersihkan bak.

Banyak pekerjaan sampingan yang bisa dilakukan dengan modal mau saja, tak perlu ijazah seperti orang-orang kota melamar pekerjaan. Gambaran kota bagi lelaki itu hanyalah sebuah penjara yang sangat memuakkan. Persaingan mencari makan sangat ketat, sementara lahan yang diperebutkan amatlah sempit.

Di Bangko, beberapa orang sudah menanti, sekop dan mesin dompeng, juga genset sudah tersedia. Mereka hanya bekerja seperti sebelum-sebelumnya, mengeluarkan pasir dari bak yang sangat besar.

Namun ternyata kini ada yang berubah, genset yang dipakai sekarang kelihatan berbeda dengan sebelumnya. Tampilannya jauh lebih elegan dan rapi. Pun tampak menarik dengan stiker yang ditempel di sana-sini, stiker sebuah partai.

”Keluaran terbaru ni, Bos,” ujar lelaki itu berseloroh.

Lelaki yang sudah datang lebih dulu menepuk genset dengan bangga, lalu membuka topi bundar yang dia pakai. ”Kalau pakai ini, kerja kita paling hanya tiga jam, cincailah.”

Empat lelaki dewasa itu kemudian mulai membagi-bagi pekerjaan; dua orang turun, dua orang lain mengulurkan peralatan dari atas, baru kemudian mereka ikut turun sambil membawa sekop dan mulut pipa mesin dompeng yang siap menyedot pasir.

Baru satu jam bekerja, Nu’ai merasa ada yang janggal, dia merasa sesak napas. Saat berpaling pada lelaki di sudut bak yang sedang memegang sekop, lelaki itu tiba-tiba tumbang berdebam ke air bak yang hanya setinggi betis orang dewasa.

Dia ingin segera menolong, namun entah mengapa tiba-tiba rasanya dunia berputar demikian cepat, kepalanya seakan dibelah dua dengan kapak tumpul, dan lelaki beranak satu itu ikutan tumbang di detik berikutnya.

Di rumah, Amira menangis sejadi-jadinya, ibunya sampai menyumpah-nyumpah karena sudah kehilangan kesabaran. Diberi mainan menolak, digendong meraung, dibuai tetap saja memekik, bahkan anjing betina di halaman ikut melolong tiada henti.

Tiba-tiba dua orang laki-laki bercelana katun, dengan baju kemeja lengan panjang yang disingsingkan, berjalan cepat menuju sebuah rumah doyong di ujung kampung. Air muka mereka sangat panik, barangkali darah sudah tak lagi mengalir dengan lancar ke sekujur tubuh mereka. Keduanya sudah macam mayat hidup berjalan, pucat pasi macam baru keluar dari es.

”Ini rumah Nu’ai?” Lelaki yang berbadan jangkung bertanya setelah dibukakan pintu. Kawannya hanya berdiri di halaman, menatap kosong ke kejauhan.

”Iya. Tapi Uda sedang tidak ada di rumah. Apakah ada perlu mendesak?” Perempuan itu menggendong bayinya yang masih menangis.

”Begini,” ujarnya ragu-ragu, beberapa kali lelaki itu menjilat bibir untuk memastikan yang diucapkannya benar. ”Ikutlah dengan kami, bawa pakaian seperlunya sekarang juga. Bawa juga kain panjang.”

Perempuan itu tersentak seketika, bayangan suaminya terlintas. Kain panjang? Bukankah kain panjang hanya dibawa untuk orang mati? Allah … perempuan itu menjerit tiba-tiba, tenaganya hilang bagai disedot puluhan pipa mesin dompeng sekaligus.

Amira nyaris terlepas dari pangkuan ibunya jika saja lelaki itu tidak sigap menangkap. Namun ajaibnya, beberapa saat kemudian perempuan itu berdiri dengan tegap, entah tenaga dari mana dia dapatkan. Yang pasti setelah itu dia berujar; ”Baik, tunggulah sebentar, aku akan berkemas. Di rumah sakit mana suamiku sekarang?”

Di rumah sakit umum daerah lelaki itu masih mengatupkan mata. Hingga malam menjelang subuh, kala perempuan tangguh di sampingnya terus melantunkan doa-doa, dia baru tersentak dan terduduk seketika. Infus tercabut dari tangannya, mesin ambulatory EKG yang berada di sisi kiri atas berdering keras seketika, garis-garis hijau yang senantiasa turun naik dengan pelan tiba-tiba menyentak cepat membentuk bukit dan jurang yang sangat dalam.

Alat itu makin kencang bunyinya saat lelaki di atas ranjang menarik napas sedalam dan sekeras yang dia bisa. Matanya nyalang, lantas dia menatap bininya yang berlinang air mata. Nu’ai tersadar dan mengucap istigfar berkali-kali, dia memeluk bininya penuh sukacita. Namun saat menanyakan keadaan sahabatnya, perempuan itu menggeleng lemah.

”Innalillahi wainna ilaihi rajiun …”

Hanya dia yang selamat. Media dengan cepat meliput, berdesak-desakan dengan tamu yang ingin membesuk, dokter sampai meneriaki mereka sebagai orang-orang tak tahu adat.

Namun beberapa hari kemudian, tersiar bisik-bisik aneh yang dibawa burung kalau kematian lelaki bercelana joger itu adalah sengsara membawa nikmat.

”Anaknya yang pertama, itu adalah hasil di luar nikah. Kalaupun dia hidup, tetap tidak akan bisa menikahkan kelak. Namun jika meninggal, setidaknya sang anak tidak akan tahu dan pasti wali hakim yang akan menikahkan. Itulah untungnya!”

Nu’ai menelan ludah, tidak di desa tidak di kota, orang-orang tetap saja sama; sama-sama busuk! (*)

HASBUNALLAH HARIS, Dilahirkan di Pakan Selasa, Kab Solok Selatan. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan di UIN Imam Bonjol Padang.

Exit mobile version