Site icon Prokalteng

Itu Santunan Nak

itu-santunan-nak

KETIKA aku membuka mataku, aku tak lagi berada di atas ranjang
kesayanganku. Tubuhku tak lagi tertutup selimut tebal yang biasa
menghangatkanku, aku tak lagi melihat dinding-dinding putih yang mengelilingi
kamarku. Yang ku tahu saat itu, kepalaku sedang bersandar pada pundak yang aku
tidak tahu itu pundak siapa. Kurasakan kedua tangan yang begitu erat mendekap
tubuhku.

“ Minggir….Minggir….” Bibi, ya
itu suara Bibiku. Teriakan itu membuatku memaksakan diri untuk mengangkat
kepalaku yang sedang bersandar di pundak bibi. Dan, setelah ku angkat kepalaku,
kukenal rumah ini, yang tak lain adalah rumah bibiku.

“Kenapa Bibi membawaku ke sini?
Dan ada apa” pikirku kebingungan. Kulihat banyak orang yang berkerumun, orang
yang tidak bisa aku sebutkaan satu per satu. Kulihat mata-mata mereka yang
berlinang air mata, kulihat kesedihan yang begitu dalam pada diri mereka.

“Ada apa ini?” Aku masih
kebingungan. Aku tak mengerti kenapa harus menangis dan menangis. Waktu itu
usiaku masih 4 tahun, mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti pemikiran
orang dewasa.

“Bapak…..Bapak…..” Kudengar
teriakan kakak perempuanku memanggil Bapak.

“Bapak….Bapak…..” Dan kudengar
lagi, kali ini berganti suara ibu yang juga ikut memanggil Bapak. Ada apa? Ada
apa dengan Bapak? Bibi semakin erat mendekapku, punggungku basah oleh air
matanya. Satu persatu kerumunan orang-orang dewasa itu menghampiriku, mengelus-elus
kepalaku, mengelus-elus punggungku dan mencium keningku sambil menangis
tersedu.

Bibi membawaku ke sebuah tempat,
aku masih berada dalam dekapannya. Dia memperlihatkan kepadaku sumber teriakan
yang terus memanggil-manggil Bapak. Apa yang terjadi sebenarnya?

Kulihat ibu dan kakak perempuanku
di sebuah ranjang, tapi tidak sedang tidur. Kedua tangan dan kaki mereka diikat
sebegitu eratnya. Yang kutahu hal seperti itu hanya dilakukan kepada orang gila
yang tidak terkontrol. Tapi kenapa itu dilakukan kepada ibu dan kakakku. Apa
mereka gila? Tidak! Itu tidak mungkin.

“Berhentilah menangis, kasihan
anakmu ini” Suara lirih Bibiku tiba-tiba mengheningkan suasana tengah malam.
Sebentar, itu hanya sebentar. Setelah itu, teriakan lagi, tangisan lagi. Dan
menjadi ramai lagi. Oh…ada apa ini sebenarnya? Aku masih belum mengerti.

****

“Laa ilaha illallah….. Laa ilaha
illallah…” Kalimat Tahlil terus berkumandang. Kalimat yang biasanya
dikumandangkan untuk mengiringi kematian seseorang. “Siapa yang mati?” Aku semakin
tak mengerti.

Bibi yang tak kenal lelah, dia
terus menggendongku kesana kemari. Dan kali ini dia memperlihatkan kepadaku,
sesosok tubuh yang tertidur pulas di sebuah ranjang yang tidak lain adalah
Bapak. Wajahnya putih, pucat. Tubuhnya ditutup kain batik panjang berwarna
coklat. Dia tersenyum dalam tidurnya.

Aku ingin di dekatnya, aku ingin
dia memelukku seperti biasanya. Aku ingin dia mengantarkan tidurku. Ya, aku
ingin tidur dalam pelukannya. Kutunjuk dia dengan tangan kananku sebagai
isyarat permohonan kepada Bibi untuk membawaku kepadanya. Tapi Bibi menangis,
lalu dia pergi membawaku keluar.

****

Sebuah keranda di depan rumah
sudah siap untuk diangkat. “Kira-kira siapa di dalamnya. Bapakkah? Oh, tidak!
Itu tidak mungkin!” Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa yang sedang berada
di dalamnya bukanlah Bapak.

“Jika itu Bapak, maka aku akan
ikut dengannya, aku akan tidur di sampingnya seperti biasa”

Aku menyaksikan keranda itu
diangkat dan akan dibawa pergi. Tapi kemudian seseorang berteriak “Berhenti!
Jangan dibawa dulu. Mana Yanti?” Keberangkatan keranda itupun tertunda seketika
itu. Nenek mencariku. Untuk apa Nenek mencariku?

Nenek menghampiriku, dia meraihku
dari gendongan Bibi. Dan dengan terpaksa Bibi melepaskan gendongannya. Kemudian
Nenek memintaku berjalan bolak balik di bawah keranda yang sedang terangkat
sebanyak tujuh kali. Entah apa itu artinya? Kemudian Nenek menghapus air
matanya, memelukku dengan erat, kemudian mencium keningku.

“Kamu tidak usah mengingat-ingat
Bapak lagi ya cu…” Ucapnya kemudian dengan lirih.

“Sekarang aku tahu, aku mengerti
apa yang sedang mereka tangiskan. Aku tahu orang yang berada dalam keranda itu.
Aku tahu kenapa ibu dan kakakku memanggil-manggil Bapak. Ternyata ini yang
mereka tangiskan, kematian Bapak. Tidak! Aku tidak bisa terima ini. Aku ingin
tetap bersama Bapak”

Keberangkatan keranda itu membuat
Bibi dan Nenek lupa terhadapku. Mereka sibuk dengan sendirinya. Dan aku, aku
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku berjalan mengikuti langkah
orang-orang yang mengiringi keberangkatan keranda.

Belum jauh aku berjalan terdengar
suara Bibi memanggilku “Yanti….Yanti….” aku tak menghiraukan panggilan itu. Aku
bersembunyi di tengah kerumunan orang. Itu sudah membuatku tak terlihat. Aku
terus mrngikuti keranda itu. Kulihat sebuah pohon mangga yang besar di halaman
depan. Aku bersembunyi di baliknya ketika mendengar panggilan lagi.
“Yanti….Yanti….”

“Aku tidak mau pulang. Aku mau
ikut Bapak. Aku tidak mau Bapak pergi”

Jalanan mulai sepi, kulihat dari
kejauhan keranda masih belum sampai. Kupikir, aku pasti akan sampai pada
keranda itu. Aku keluar dari balik pohon mangga yang menutupiku. Aku berlari
menuju keranda.

Belum juga sampai, tapi dari
belakang seseorang mengangkat tubuhku. Itu Pamanku. Aku digendongnya dan dibawa
pulang. Tangan kananku terus menunjuk ke arah keranda. “Bapak..Bapak.. Aku mau
ikut Bapak, Paman” Tapi paman tak menghiraukan permintaanku.

****

Teman-temanku sedang asyik
bermain di halaman tetangga. Aku bergabung dengan mereka. Bukan untuk bermain
juga, tapi untuk memperlihatkan sesuatu kepada mereka.

“Hai teman-teman. Sapaku kepada
mereka”

“Eh, Yanti ayo main.” Ajak salah
satu dari mereka.

“Tentu saja aku akan main dengan
kalian, tapi ke sini dulu aku punya sesuatu” Aku memanggil mereka terlebih
dahulu. Tanpa berpikir panjang merekapun menghampiriku.

“Lihat, aku punya uang banyak”
Dengan bangga aku menunjukkan kepada teman-temanku uang yang ada di dalam
kantong celanaku.

“Teman-teman, ternyata dak punya
Bapak itu enak, banyak yang ngasih uang. Lihat uangku banyak. Kalian semua
masih punya Bapak, jadi dak ada yang ngasih uang,” ucapku dengan bangga kepada
mereka semua.

****

“Ibu, aku sangat senang sekali.
Semenjak aku tidak punya Bapak, banyak sekali orang yang ngasih uang kepadaku”
Ibuku mungkin saat itu sedang menahan luka yang sangat dalam karena ucapanku.
Kepedihannya saat itu tak bisa aku bayangkan.

Aku menunjukkan uang yang kudapat
kepada ibuku, lalu aku memberikannya. Ibu mengambil uang itu. Aku merasa sangat
senang saat itu, 27 tahun yang lalu. Ibu tersenyum, tapi kedua matanya
mengalirkan air mata dan pipinya menjadi basah. Dia memeluk tubuhku dengan
erat. Aku merasakan kehangatan dalam pelukannya. Dia berkata dalam isak
tangisnya. “ini uang santunan Nak.” (*)

Exit mobile version