28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Senja Wabah

SUATU pagi, seorang lelaki bangun tidur dan mendapati dadanya
sesak. Hidungnya berair dan ia batuk-batuk selama empat jam sebelum kemudian
menelepon rumah sakit. Petugas tiba tiga puluh empat menit setelah itu. Petugas
itu berjumlah empat orang. Mereka mengenakan baju hazmat. Mereka membawanya ke
rumah sakit. Dan ia ditempatkan di ruang isolasi untuk mencegah penularan penyakit.

Lelaki itu tak tahu bagaimana ia
tertular wabah yang sedang melanda kawasan. Ia telah menjalankan segala yang
dianjurkan oleh pemerintah setempat. Ia bekerja dari rumah, menghindari
kerumunan, hanya keluar untuk membeli bahan pangan, rajin mencuci tangan dan
menggunakan penyanitasi tangan. Ia juga mengenakan masker, bahkan bila hanya
keluar untuk mendapatkan angin segar di teras rumah.

Ia mencoba mengingat-ingat
riwayat akitivitasnya. Kali terakhir ia keluar rumah untuk pergi ke
supermarket, dua kilometer dari rumahnya, tiga hari lalu. Di sana, ia membeli
beras, minyak goreng, telur, dan mi instan. Supermarket tidak begitu ramai. Ada
empat pembeli selain dirinya. Dua orang tidak mengenakan masker. Ia sengaja
menjaga jarak dengan dua orang itu. Ketika antre membayar, salah satu di antara
dua orang itu berdiri di belakangnya dan batuk-batuk. Sesampai di rumah, ia
buru-buru ganti pakaian, lantas mandi sebersih-bersihnya. Ia bahkan menyabun
tubuhnya dua kali.

Dalam masa-masa pengurungan diri
di dalam rumah itu, kadang-kadang tangannya terlihat kisut dan pucat akibat
terlampau sering dicuci. Suatu kali, dalam tidurnya, ia bermimpi tubuhnya
menjadi hijau seperti batu kali yang dilapisi lumut. Ia terbangun dengan napas
tersengal. Mengerikan sekali menjadi lumutan akibat terlalu sering terkena air.
Namun, sekarang, ketika dokter memastikan bahwa ia positif terpapar wabah, ia
berpikir bahwa menjadi lumutan seperti batu kali jauh lebih baik.

Mimpi buruk semakin sering datang
setelah ia berada di ruang isolasi rumah sakit itu. Awalnya, mimpi itu hanya
singgah ketika ia tertidur, seperti mimpi pada umumnya. Dalam mimpinya, ia
melihat tubuhnya yang kaku dibungkus plastik, seperti seonggok sayur atau
tahu-tempe. Lantas, sejumlah orang dengan baju hazmat menggotongnya,
meletakkannya dalam peti. Mereka membawanya ke pemakaman. Tak ada pelayat yang
datang. Hanya sejumlah petugas ber-hazmat itu saja. Dan tak satu pun dari
petugas itu yang menangis atau terlihat bersedih. Mereka menguruk kuburnya
dengan cepat, lantas meninggalkannya begitu saja. Tanpa doa. Tanpa taburan
kembang. Alangkah mengerikannya mati tanpa iringan kesedihan dari pelayat.

Sejak mimpi-mimpi semacam itu
datang, ia jadi takut tidur. Kadang-kadang ia tidak tidur sehari semalam.
Kurang tidur menyebabkan tubuhnya kian lemah. Dokter berkali-kali bilang bahwa
ia harus tidur. Namun, pikirnya, dokter itu tidak tahu apa yang dilihatnya
dalam tidur.

Sekalipun begitu, kadang-kadang
ia jatuh tertidur juga tanpa kehendaknya. Dan beberapa menit setelah matanya
terkatup, mimpi itu datang lagi. Semakin lama semakin jelas dan mengerikan. Ia
melihat dirinya di dalam kubur, terbungkus plastik, perlahan meleleh. Ia merasa
pengap sehingga napasnya bertambah sesak. Ia merasa bahwa ia benar-benar berada
di dalam kubur dengan plastik membungkus tubuhnya.

Baca Juga :  Kita yang Merumahkan Cemas

Pada akhirnya, ia benar-benar
memutuskan untuk tak lagi tertidur. Ia berusaha keras. Hari itu sudah lima
puluh delapan jam ia terjaga. Dan mimpi itu datang lagi, meski ia yakin dirinya
tidak tertidur. Dalam mimpi buruk kali itu, ia melihat malaikat maut terbang di
ubun-ubunnya. Malaikat itu besar, berwarna hitam, dan bersayap seperti gagak,
lengkap dengan paruh tajam. Malaikat itu membawa tali tambang besar di tangan
kanannya. Tali tambang untuk menjerat jiwa yang meronta, pikirnya. Malaikat itu
kemudian berkata bahwa lelaki itu akan mati selepas senja hari itu.

Lelaki itu berteriak, berusaha
mengusir si malaikat maut. Dua orang perawat datang. Si lelaki agak tenang.

”Jam berapa sekarang?” tanyanya.

”Jam setengah lima,” kata salah
satu perawat.

”Ah, sebentar lagi,” dengusnya.
Napasnya terasa semakin berat saja. Paru-parunya panas dan hendak meletus. Ia
merinding. Ia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang barusan terjadi
kepadanya hanyalah halusinasi dari orang yang tengah sakit. Bukankah orang yang
demam memang suka melihat hal-hal yang sebetulnya tidak ada? Namun, jauh di
kedalaman hatinya, ia tahu, ia sulit bertahan. Ia terlampau payah.

”Bisakah saya meminta tolong
supaya Anda membawa saya keluar sebentar saja?” ujar si lelaki dengan susah
payah, ”Saya ingin melihat senja. Siapa tahu, ini adalah senja terakhir yang
bisa saya nikmati,” tambahnya.

Dua orang perawat itu ragu-ragu.
Mereka menghubungi dokter. Dan dokter, yang sepertinya lebih mengerti
kondisinya, memberi izin kepada para perawat itu untuk membawanya keluar.
Mereka kemudian mendorong brankar yang ia tempati ke halaman belakang rumah
sakit yang dilapisi rumput jepang tipis. Kepalanya menghadap ke barat. Matahari
turun. Semburat merah di ufuk barat. Ia menghela napas besar. Lantas
batuk-batuk. Udara tak pernah semenyakitkan ini sebelumnya, pikirnya. Namun,
senja itu, oh, juga tak pernah seindah kali ini.

Lelaki itu tak ingin berkedip. Ia
tak ingin melewatkan sedetik pun tanpa menyaksikan cahaya keemasan yang teduh
itu. Alangkah cepatnya waktu berjalan. Matahari tampak turun tergesa. Lelaki
itu mendengar semacam nyanyian, sebuah nyanyian yang tak bisa dideskripsikan.
Apakah senja bisa bernyanyi?

Senja hampir padam. Ia bergidik.
Ia belum siap. Ia masih ingin menikmati senja. Ia memejamkan mata, sedetik
saja, berharap waktu berhenti. Matanya basah. Dan tiba-tiba waktu berhenti,
seperti yang ia mau. Sepasang perawat yang berdiri di samping kanan-kirinya
berhenti bergerak. Tak ada angin berembus. Dua helai daun mahoni yang luruh
diam di udara. Seekor pipit yang tengah terbang juga membeku dengan sepasang
sayap mengembang dan paruh setengah terbuka, sekitar empat meter di atas
brankarnya.

Baca Juga :  Perhatikan Paragraf Terakhir

Dengan susah payah, ia menoleh ke
kanan ke kiri. Ada perawat mendorong kursi roda yang membawa seorang perempuan
dengan alat bantu pernapasan yang juga berhenti tak jauh darinya. Ada seorang
dokter yang berhenti dengan kaki kanan melayang beberapa sentimeter dari
permukaan lantai. Ada keluarga pasien yang tengah menangis dan air matanya
menggantung di pipi. Di sudut sana, seorang perawat tengah menyuapkan roti ke
mulutnya. Mulutnya tetap terbuka dengan sepotong roti terhenti tepat di depan
mulut itu.

Waktu benar-benar berhenti. Dan
hanya dirinya sendiri yang mampu bergerak. Ia kalis dari waktu. Lantas,
kilasan-kilasan peristiwa berhamburan di benaknya. Seorang ibu yang tengah
melahirkan dan mengerang-ngerang kesakitan, terhenti. Sepasang suami istri yang
hendak berciuman dan bibir mereka sudah hampir bersentuhan juga terhenti.
Seorang ibu yang hendak memeluk anaknya terhenti. Seorang lelaki lapar yang
hampir saja berhasil mengail ikan terhenti. Seluruh kehidupan, selain kehidupan
lelaki itu, terhenti. Lelaki itu merasa menjadi satu-satunya makhluk hidup di dunia.
Bila senja bertahan, bila senja tak pernah padam, maka itu berarti ia akan
tetap hidup. Lelaki itu merasa sedikit tenang. Namun, sesak di dadanya juga
bertahan. Lelaki itu meringis. Bila waktu terus berhenti, maka itu berarti ia
akan terus hidup dan kesakitan di dadanya juga akan terus ada. Siksa dan derita
yang mesti ia tanggung akan berlangsung selamanya. Seperti berada di neraka.

Ia tiba-tiba merasa merana.
Bagaimana rasanya terus hidup namun segala sesuatu di luarnya terhenti, beku,
diam, tak mampu melakukan apa pun? Bagaimana rasanya terus hidup dengan
menanggung bara panas di dada selamanya?

Lelaki itu kemudian sampai pada
sebuah kesimpulan bahwa kehidupan harus terus berjalan. Barangkali hidupnya
yang bakal berhenti, namun hidup banyak orang lain, kehidupan di dunia ini,
semestinya terus berjalan. Dan lebih dari itu, penderitaan yang ia tanggung
memang seharusnya segera berakhir. Ia memejamkan mata sekali lagi, berharap
waktu kembali seperti semula. Dan seperti yang ia pinta, ketika kembali membuka
mata, waktu berjalan sesuai kodratnya.

Senja lantas berakhir beberapa
menit kemudian. Kedua perawat itu kembali bergerak. Mereka mendorong brankarnya
kembali ke kamar isolasi. Napas lelaki itu kian susah. Dadanya kian sesak. Bara
menyala kian besar. Lelaki itu tahu, ia tak akan pernah melihat senja lagi.
Bahkan, ia tak akan sempat melihat ruang isolasinya sekali lagi. Ia mencoba
tersenyum. ***

(DADANG ARI MURTONO. Lahir di
Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya, antara lain, Ludruk Kedua (2016), Samaran (2018),
Jalan Lain ke Majapahit (2019), dan Cara Kerja Ingatan (2020). Buku Jalan Lain
ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur dan
Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik
2019)

SUATU pagi, seorang lelaki bangun tidur dan mendapati dadanya
sesak. Hidungnya berair dan ia batuk-batuk selama empat jam sebelum kemudian
menelepon rumah sakit. Petugas tiba tiga puluh empat menit setelah itu. Petugas
itu berjumlah empat orang. Mereka mengenakan baju hazmat. Mereka membawanya ke
rumah sakit. Dan ia ditempatkan di ruang isolasi untuk mencegah penularan penyakit.

Lelaki itu tak tahu bagaimana ia
tertular wabah yang sedang melanda kawasan. Ia telah menjalankan segala yang
dianjurkan oleh pemerintah setempat. Ia bekerja dari rumah, menghindari
kerumunan, hanya keluar untuk membeli bahan pangan, rajin mencuci tangan dan
menggunakan penyanitasi tangan. Ia juga mengenakan masker, bahkan bila hanya
keluar untuk mendapatkan angin segar di teras rumah.

Ia mencoba mengingat-ingat
riwayat akitivitasnya. Kali terakhir ia keluar rumah untuk pergi ke
supermarket, dua kilometer dari rumahnya, tiga hari lalu. Di sana, ia membeli
beras, minyak goreng, telur, dan mi instan. Supermarket tidak begitu ramai. Ada
empat pembeli selain dirinya. Dua orang tidak mengenakan masker. Ia sengaja
menjaga jarak dengan dua orang itu. Ketika antre membayar, salah satu di antara
dua orang itu berdiri di belakangnya dan batuk-batuk. Sesampai di rumah, ia
buru-buru ganti pakaian, lantas mandi sebersih-bersihnya. Ia bahkan menyabun
tubuhnya dua kali.

Dalam masa-masa pengurungan diri
di dalam rumah itu, kadang-kadang tangannya terlihat kisut dan pucat akibat
terlampau sering dicuci. Suatu kali, dalam tidurnya, ia bermimpi tubuhnya
menjadi hijau seperti batu kali yang dilapisi lumut. Ia terbangun dengan napas
tersengal. Mengerikan sekali menjadi lumutan akibat terlalu sering terkena air.
Namun, sekarang, ketika dokter memastikan bahwa ia positif terpapar wabah, ia
berpikir bahwa menjadi lumutan seperti batu kali jauh lebih baik.

Mimpi buruk semakin sering datang
setelah ia berada di ruang isolasi rumah sakit itu. Awalnya, mimpi itu hanya
singgah ketika ia tertidur, seperti mimpi pada umumnya. Dalam mimpinya, ia
melihat tubuhnya yang kaku dibungkus plastik, seperti seonggok sayur atau
tahu-tempe. Lantas, sejumlah orang dengan baju hazmat menggotongnya,
meletakkannya dalam peti. Mereka membawanya ke pemakaman. Tak ada pelayat yang
datang. Hanya sejumlah petugas ber-hazmat itu saja. Dan tak satu pun dari
petugas itu yang menangis atau terlihat bersedih. Mereka menguruk kuburnya
dengan cepat, lantas meninggalkannya begitu saja. Tanpa doa. Tanpa taburan
kembang. Alangkah mengerikannya mati tanpa iringan kesedihan dari pelayat.

Sejak mimpi-mimpi semacam itu
datang, ia jadi takut tidur. Kadang-kadang ia tidak tidur sehari semalam.
Kurang tidur menyebabkan tubuhnya kian lemah. Dokter berkali-kali bilang bahwa
ia harus tidur. Namun, pikirnya, dokter itu tidak tahu apa yang dilihatnya
dalam tidur.

Sekalipun begitu, kadang-kadang
ia jatuh tertidur juga tanpa kehendaknya. Dan beberapa menit setelah matanya
terkatup, mimpi itu datang lagi. Semakin lama semakin jelas dan mengerikan. Ia
melihat dirinya di dalam kubur, terbungkus plastik, perlahan meleleh. Ia merasa
pengap sehingga napasnya bertambah sesak. Ia merasa bahwa ia benar-benar berada
di dalam kubur dengan plastik membungkus tubuhnya.

Baca Juga :  Kita yang Merumahkan Cemas

Pada akhirnya, ia benar-benar
memutuskan untuk tak lagi tertidur. Ia berusaha keras. Hari itu sudah lima
puluh delapan jam ia terjaga. Dan mimpi itu datang lagi, meski ia yakin dirinya
tidak tertidur. Dalam mimpi buruk kali itu, ia melihat malaikat maut terbang di
ubun-ubunnya. Malaikat itu besar, berwarna hitam, dan bersayap seperti gagak,
lengkap dengan paruh tajam. Malaikat itu membawa tali tambang besar di tangan
kanannya. Tali tambang untuk menjerat jiwa yang meronta, pikirnya. Malaikat itu
kemudian berkata bahwa lelaki itu akan mati selepas senja hari itu.

Lelaki itu berteriak, berusaha
mengusir si malaikat maut. Dua orang perawat datang. Si lelaki agak tenang.

”Jam berapa sekarang?” tanyanya.

”Jam setengah lima,” kata salah
satu perawat.

”Ah, sebentar lagi,” dengusnya.
Napasnya terasa semakin berat saja. Paru-parunya panas dan hendak meletus. Ia
merinding. Ia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang barusan terjadi
kepadanya hanyalah halusinasi dari orang yang tengah sakit. Bukankah orang yang
demam memang suka melihat hal-hal yang sebetulnya tidak ada? Namun, jauh di
kedalaman hatinya, ia tahu, ia sulit bertahan. Ia terlampau payah.

”Bisakah saya meminta tolong
supaya Anda membawa saya keluar sebentar saja?” ujar si lelaki dengan susah
payah, ”Saya ingin melihat senja. Siapa tahu, ini adalah senja terakhir yang
bisa saya nikmati,” tambahnya.

Dua orang perawat itu ragu-ragu.
Mereka menghubungi dokter. Dan dokter, yang sepertinya lebih mengerti
kondisinya, memberi izin kepada para perawat itu untuk membawanya keluar.
Mereka kemudian mendorong brankar yang ia tempati ke halaman belakang rumah
sakit yang dilapisi rumput jepang tipis. Kepalanya menghadap ke barat. Matahari
turun. Semburat merah di ufuk barat. Ia menghela napas besar. Lantas
batuk-batuk. Udara tak pernah semenyakitkan ini sebelumnya, pikirnya. Namun,
senja itu, oh, juga tak pernah seindah kali ini.

Lelaki itu tak ingin berkedip. Ia
tak ingin melewatkan sedetik pun tanpa menyaksikan cahaya keemasan yang teduh
itu. Alangkah cepatnya waktu berjalan. Matahari tampak turun tergesa. Lelaki
itu mendengar semacam nyanyian, sebuah nyanyian yang tak bisa dideskripsikan.
Apakah senja bisa bernyanyi?

Senja hampir padam. Ia bergidik.
Ia belum siap. Ia masih ingin menikmati senja. Ia memejamkan mata, sedetik
saja, berharap waktu berhenti. Matanya basah. Dan tiba-tiba waktu berhenti,
seperti yang ia mau. Sepasang perawat yang berdiri di samping kanan-kirinya
berhenti bergerak. Tak ada angin berembus. Dua helai daun mahoni yang luruh
diam di udara. Seekor pipit yang tengah terbang juga membeku dengan sepasang
sayap mengembang dan paruh setengah terbuka, sekitar empat meter di atas
brankarnya.

Baca Juga :  Perhatikan Paragraf Terakhir

Dengan susah payah, ia menoleh ke
kanan ke kiri. Ada perawat mendorong kursi roda yang membawa seorang perempuan
dengan alat bantu pernapasan yang juga berhenti tak jauh darinya. Ada seorang
dokter yang berhenti dengan kaki kanan melayang beberapa sentimeter dari
permukaan lantai. Ada keluarga pasien yang tengah menangis dan air matanya
menggantung di pipi. Di sudut sana, seorang perawat tengah menyuapkan roti ke
mulutnya. Mulutnya tetap terbuka dengan sepotong roti terhenti tepat di depan
mulut itu.

Waktu benar-benar berhenti. Dan
hanya dirinya sendiri yang mampu bergerak. Ia kalis dari waktu. Lantas,
kilasan-kilasan peristiwa berhamburan di benaknya. Seorang ibu yang tengah
melahirkan dan mengerang-ngerang kesakitan, terhenti. Sepasang suami istri yang
hendak berciuman dan bibir mereka sudah hampir bersentuhan juga terhenti.
Seorang ibu yang hendak memeluk anaknya terhenti. Seorang lelaki lapar yang
hampir saja berhasil mengail ikan terhenti. Seluruh kehidupan, selain kehidupan
lelaki itu, terhenti. Lelaki itu merasa menjadi satu-satunya makhluk hidup di dunia.
Bila senja bertahan, bila senja tak pernah padam, maka itu berarti ia akan
tetap hidup. Lelaki itu merasa sedikit tenang. Namun, sesak di dadanya juga
bertahan. Lelaki itu meringis. Bila waktu terus berhenti, maka itu berarti ia
akan terus hidup dan kesakitan di dadanya juga akan terus ada. Siksa dan derita
yang mesti ia tanggung akan berlangsung selamanya. Seperti berada di neraka.

Ia tiba-tiba merasa merana.
Bagaimana rasanya terus hidup namun segala sesuatu di luarnya terhenti, beku,
diam, tak mampu melakukan apa pun? Bagaimana rasanya terus hidup dengan
menanggung bara panas di dada selamanya?

Lelaki itu kemudian sampai pada
sebuah kesimpulan bahwa kehidupan harus terus berjalan. Barangkali hidupnya
yang bakal berhenti, namun hidup banyak orang lain, kehidupan di dunia ini,
semestinya terus berjalan. Dan lebih dari itu, penderitaan yang ia tanggung
memang seharusnya segera berakhir. Ia memejamkan mata sekali lagi, berharap
waktu kembali seperti semula. Dan seperti yang ia pinta, ketika kembali membuka
mata, waktu berjalan sesuai kodratnya.

Senja lantas berakhir beberapa
menit kemudian. Kedua perawat itu kembali bergerak. Mereka mendorong brankarnya
kembali ke kamar isolasi. Napas lelaki itu kian susah. Dadanya kian sesak. Bara
menyala kian besar. Lelaki itu tahu, ia tak akan pernah melihat senja lagi.
Bahkan, ia tak akan sempat melihat ruang isolasinya sekali lagi. Ia mencoba
tersenyum. ***

(DADANG ARI MURTONO. Lahir di
Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya, antara lain, Ludruk Kedua (2016), Samaran (2018),
Jalan Lain ke Majapahit (2019), dan Cara Kerja Ingatan (2020). Buku Jalan Lain
ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur dan
Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik
2019)

Terpopuler

Artikel Terbaru