33.1 C
Jakarta
Thursday, November 28, 2024

Toko Buku dan Kepingan Kisah Manusia di Sekitarnya

Yudhi Herwibowo merakit cerita yang seolah tercerai berai, tidak berhubungan, berbeda-beda era, menjadi satu cerita yang utuh.

TIDAK semua orang yang datang ke toko buku datang untuk membeli buku. Ada yang hanya untuk melihat-lihat tanpa membeli, ada yang membuat review tentang toko buku kecil di seluruh dunia, ada yang pengin ketemu jodoh di toko buku, fantasi bercinta di toko buku, pemburu buku langka yang sangat royal, sampai ada yang masuk toko buku sekadar untuk bersembunyi dari kejaran massa setelah ketahuan mencuri.

Raga cerita itu adalah bagian kecil dari ragam cerita lainnya yang terangkum dalam novel Toko Buku Abadi. Novel yang diterbitkan Penerbit Baca pada Juni 2024 ini bercerita tentang satu toko buku kecil yang keberadaannya menjadi bagian dari cerita hidup puluhan tokoh dengan masing-masing ceritanya. Cerita romantis, aneh, hingga kisah tragis datang silih berganti.

Walaupun tiap bab memunculkan tokoh-tokoh baru dan kisahnya yang berbeda-beda, novel ini tetap mampu menggiring pembaca menyibak misteri-misteri di balik berdirinya toko kecil di pinggir kota yang relatif sepi itu.

Yudhi Herwibowo, penulis novel ini, merakit cerita yang seolah tercerai berai, tidak berhubungan, berbeda-beda era, menjadi satu cerita yang utuh. Satu kisah seolah menjadi kepingan puzzle untuk membentuk satu gambar besar dan lengkap tentang Toko Buku Abadi.

Awal Kisah

Cerita ini dimulai dengan perkenalan dua orang lansia di sebuah acara pemakaman. Lanskap yang tak biasa tersebut secara mengejutkan berubah menjadi cerita romansa. Keduanya akhirnya menikah walaupun Ganda Soedjara, pasangan laki-laki, harus meninggalkan pernikahan pertamanya yang sudah berlangsung 50 tahun.

Mastika Dina, pasangan perempuan, adalah seorang lansia yang mempunyai masa lalu kelam. Ia merasa bersalah karena menjadi penyebab kematian kedua orang tuanya ketika memberi tahu tempat persembunyian keluarganya pada gerombolan pemburu komunis yang menyatroni rumahnya ketika ia masih kecil. Kejadian itu membuatnya trauma hingga ia lansia sekaligus membuat hubungannya dengan kakaknya, Panjari Dina, renggang.

Baca Juga :  Suara Perempuan Indonesia dalam Bunga Rampai Sastra Hindia Belanda

Untuk menghapus rasa bersalahnya, berbekal warisan harta orang tua yang melimpah, Mastika Dina sejak remaja hingga dewasa mengisi waktunya untuk membuat panti asuhan, panti jompo, dan rumah penampungan hewan-hewan telantar. Ia ingin menghabiskan usianya hanya untuk berbuat kebaikan demi kebaikan.

Dalam kesibukannya tersebut, Mastika Dina pernah mencoba membuka diri untuk menjalin tali percintaan dengan seseorang laki-laki. Namun, setelah ia menceritakan siapa sebenarnya dia dan juga latar belakangnya, perlahan laki-laki itu beringsut menjauh.

Hal itu membuatnya yakin bahwa itulah ganjaran yang harus ia tanggung sehingga ia tidak menikah hingga lansia. Keyakinan itu begitu membatu hingga ia akhirnya bertemu dan menikah dengan seorang laki-laki berusia 70 tahun bernama Ganda Soedjara.

Karena fisik melemah dan mulai sakit-sakitan, mereka harus memutar otak untuk mengisi waktu pernikahannya di masa-masa lansia. Karena keduanya sama-sama pencinta buku sejak kecil, akhirnya mereka membangun sebuah toko buku kecil di halaman depan rumah warisan orang tuanya.

Merayakan Buku

Membaca novel Toko Buku Abadi mengingatkan saya pada novel-novel populer dunia tentang perbukuan. Sebut saja salah satunya adalah novel Perpustakaan Ajaib Bibbi Boken karya Jostein Gaarder & Klaus Hagerup. Di dalam novel tersebut, kita diajak berjalan-jalan melihat panorama tentang sejarah perbukuan, munculnya percetakan, dan pelabelan buku di perpustakaan, hingga permasalahannya di era kontemporer.

Selaras dengan itu, Toko Buku Abadi juga menceritakan tentang perbukuan, tapi dengan lanskap yang lebih sempit. Yaitu, di Indonesia saja. Permasalahan-permasalahan yang diangkat antara lain harga buku mahal, pembajakan buku, pembelian copyright, hingga ke masalah yang khas toko-toko buku reseller seperti setoran yang macet, penulis yang seenaknya membuat acara jumpa fans di toko buku tanpa izin, hingga masalah customer yang hanya membaca-baca buku tanpa membeli.

Selain itu, di buku ini kita akan dikenalkan dengan istilah-istilah unik tentang perbukuan melalui tokoh-tokohnya. Beberapa di antaranya adalah Haruti si book sniffer (suka menghirup bau buku), Ibu Guru Bunga Maida yang epelotary (lebih nyaman dan mudah memahami sesuatu menggunakan kata-kata daripada gambar), hingga yang menurut saya paling nyentrik adalah tokoh Garna Dhu sang lubricularist (suka membaca buku dengan kondisi telanjang).

Baca Juga :  Perlunya Katup Pengaman jika Presiden Berhalangan

Melalui tokoh Bardy Soe, kita juga dikenalkan dengan wawasan tentang buku-buku lawasan yang seolah tak berharga, tapi justru menjadi buruan kolektor dan penjual buku-buku langka.

Sebut saja buku terbitan pertama Pemberontakan Petani Banten karya Sartono Kartodirjo dan Pokok-Pokok Adjaran Tan Malaka yang diterbitkan Murba tahun 1960. Sebuah pesan halus bagi pembaca untuk tidak hanya ikut arus membaca buku-buku baru yang viral dan best seller.

Selimut Fantasi

Satu hal yang mungkin agak kurang dari buku ini adalah bagaimana kisah fantasi yang muncul dalam cerita ini datang agak terlambat, yaitu di pertengahan dan akhir cerita. Setidaknya ada tiga kisah fantasi: arwah perempuan Belanda, buku bahagia, dan pohon buku. Sepintas tiga cerita fantasi berbau mistis tersebut kurang selaras dengan puluhan cerita lainnya yang seaneh apa pun, tetap berpegang teguh pada realisme.

Walaupun begitu, tiga cerita fantasi itu bukan sekadar tempelan. Keberadaannya mempunyai peran yang vital. Arwah perempuan Belanda menjadi jembatan penghubung kisah rumah besar selama tiga generasi.

Sedangkan buku bahagia dan pohon buku adalah gambaran dari inti sari seluruh cerita dalam novel yang sangat kuat semangatnya untuk tetap optimistis dengan buku seberat apa pun tantangan dan keterbatasannya. Ada dalam segala situasi dan kondisi. Sederhana, tapi abadi. (*)

Judul buku: Toko Buku Abadi

Penulis: Yudhi Herwibowo

Penerbit: Penerbit Baca

Tahun terbit: Juni 2024 (cetakan I)

Tebal: 271 halaman

ISBN: 978-623-8371-23-5

*) KUKUH BASUKI RAHMAT, Alumnus Magister Psikologi UGM dan anggota komunitas Radio Buku

Yudhi Herwibowo merakit cerita yang seolah tercerai berai, tidak berhubungan, berbeda-beda era, menjadi satu cerita yang utuh.

TIDAK semua orang yang datang ke toko buku datang untuk membeli buku. Ada yang hanya untuk melihat-lihat tanpa membeli, ada yang membuat review tentang toko buku kecil di seluruh dunia, ada yang pengin ketemu jodoh di toko buku, fantasi bercinta di toko buku, pemburu buku langka yang sangat royal, sampai ada yang masuk toko buku sekadar untuk bersembunyi dari kejaran massa setelah ketahuan mencuri.

Raga cerita itu adalah bagian kecil dari ragam cerita lainnya yang terangkum dalam novel Toko Buku Abadi. Novel yang diterbitkan Penerbit Baca pada Juni 2024 ini bercerita tentang satu toko buku kecil yang keberadaannya menjadi bagian dari cerita hidup puluhan tokoh dengan masing-masing ceritanya. Cerita romantis, aneh, hingga kisah tragis datang silih berganti.

Walaupun tiap bab memunculkan tokoh-tokoh baru dan kisahnya yang berbeda-beda, novel ini tetap mampu menggiring pembaca menyibak misteri-misteri di balik berdirinya toko kecil di pinggir kota yang relatif sepi itu.

Yudhi Herwibowo, penulis novel ini, merakit cerita yang seolah tercerai berai, tidak berhubungan, berbeda-beda era, menjadi satu cerita yang utuh. Satu kisah seolah menjadi kepingan puzzle untuk membentuk satu gambar besar dan lengkap tentang Toko Buku Abadi.

Awal Kisah

Cerita ini dimulai dengan perkenalan dua orang lansia di sebuah acara pemakaman. Lanskap yang tak biasa tersebut secara mengejutkan berubah menjadi cerita romansa. Keduanya akhirnya menikah walaupun Ganda Soedjara, pasangan laki-laki, harus meninggalkan pernikahan pertamanya yang sudah berlangsung 50 tahun.

Mastika Dina, pasangan perempuan, adalah seorang lansia yang mempunyai masa lalu kelam. Ia merasa bersalah karena menjadi penyebab kematian kedua orang tuanya ketika memberi tahu tempat persembunyian keluarganya pada gerombolan pemburu komunis yang menyatroni rumahnya ketika ia masih kecil. Kejadian itu membuatnya trauma hingga ia lansia sekaligus membuat hubungannya dengan kakaknya, Panjari Dina, renggang.

Baca Juga :  Suara Perempuan Indonesia dalam Bunga Rampai Sastra Hindia Belanda

Untuk menghapus rasa bersalahnya, berbekal warisan harta orang tua yang melimpah, Mastika Dina sejak remaja hingga dewasa mengisi waktunya untuk membuat panti asuhan, panti jompo, dan rumah penampungan hewan-hewan telantar. Ia ingin menghabiskan usianya hanya untuk berbuat kebaikan demi kebaikan.

Dalam kesibukannya tersebut, Mastika Dina pernah mencoba membuka diri untuk menjalin tali percintaan dengan seseorang laki-laki. Namun, setelah ia menceritakan siapa sebenarnya dia dan juga latar belakangnya, perlahan laki-laki itu beringsut menjauh.

Hal itu membuatnya yakin bahwa itulah ganjaran yang harus ia tanggung sehingga ia tidak menikah hingga lansia. Keyakinan itu begitu membatu hingga ia akhirnya bertemu dan menikah dengan seorang laki-laki berusia 70 tahun bernama Ganda Soedjara.

Karena fisik melemah dan mulai sakit-sakitan, mereka harus memutar otak untuk mengisi waktu pernikahannya di masa-masa lansia. Karena keduanya sama-sama pencinta buku sejak kecil, akhirnya mereka membangun sebuah toko buku kecil di halaman depan rumah warisan orang tuanya.

Merayakan Buku

Membaca novel Toko Buku Abadi mengingatkan saya pada novel-novel populer dunia tentang perbukuan. Sebut saja salah satunya adalah novel Perpustakaan Ajaib Bibbi Boken karya Jostein Gaarder & Klaus Hagerup. Di dalam novel tersebut, kita diajak berjalan-jalan melihat panorama tentang sejarah perbukuan, munculnya percetakan, dan pelabelan buku di perpustakaan, hingga permasalahannya di era kontemporer.

Selaras dengan itu, Toko Buku Abadi juga menceritakan tentang perbukuan, tapi dengan lanskap yang lebih sempit. Yaitu, di Indonesia saja. Permasalahan-permasalahan yang diangkat antara lain harga buku mahal, pembajakan buku, pembelian copyright, hingga ke masalah yang khas toko-toko buku reseller seperti setoran yang macet, penulis yang seenaknya membuat acara jumpa fans di toko buku tanpa izin, hingga masalah customer yang hanya membaca-baca buku tanpa membeli.

Selain itu, di buku ini kita akan dikenalkan dengan istilah-istilah unik tentang perbukuan melalui tokoh-tokohnya. Beberapa di antaranya adalah Haruti si book sniffer (suka menghirup bau buku), Ibu Guru Bunga Maida yang epelotary (lebih nyaman dan mudah memahami sesuatu menggunakan kata-kata daripada gambar), hingga yang menurut saya paling nyentrik adalah tokoh Garna Dhu sang lubricularist (suka membaca buku dengan kondisi telanjang).

Baca Juga :  Perlunya Katup Pengaman jika Presiden Berhalangan

Melalui tokoh Bardy Soe, kita juga dikenalkan dengan wawasan tentang buku-buku lawasan yang seolah tak berharga, tapi justru menjadi buruan kolektor dan penjual buku-buku langka.

Sebut saja buku terbitan pertama Pemberontakan Petani Banten karya Sartono Kartodirjo dan Pokok-Pokok Adjaran Tan Malaka yang diterbitkan Murba tahun 1960. Sebuah pesan halus bagi pembaca untuk tidak hanya ikut arus membaca buku-buku baru yang viral dan best seller.

Selimut Fantasi

Satu hal yang mungkin agak kurang dari buku ini adalah bagaimana kisah fantasi yang muncul dalam cerita ini datang agak terlambat, yaitu di pertengahan dan akhir cerita. Setidaknya ada tiga kisah fantasi: arwah perempuan Belanda, buku bahagia, dan pohon buku. Sepintas tiga cerita fantasi berbau mistis tersebut kurang selaras dengan puluhan cerita lainnya yang seaneh apa pun, tetap berpegang teguh pada realisme.

Walaupun begitu, tiga cerita fantasi itu bukan sekadar tempelan. Keberadaannya mempunyai peran yang vital. Arwah perempuan Belanda menjadi jembatan penghubung kisah rumah besar selama tiga generasi.

Sedangkan buku bahagia dan pohon buku adalah gambaran dari inti sari seluruh cerita dalam novel yang sangat kuat semangatnya untuk tetap optimistis dengan buku seberat apa pun tantangan dan keterbatasannya. Ada dalam segala situasi dan kondisi. Sederhana, tapi abadi. (*)

Judul buku: Toko Buku Abadi

Penulis: Yudhi Herwibowo

Penerbit: Penerbit Baca

Tahun terbit: Juni 2024 (cetakan I)

Tebal: 271 halaman

ISBN: 978-623-8371-23-5

*) KUKUH BASUKI RAHMAT, Alumnus Magister Psikologi UGM dan anggota komunitas Radio Buku

Terpopuler

Artikel Terbaru