27.3 C
Jakarta
Sunday, September 8, 2024

Yang Marginal, yang Horizontal, yang Keras Kepala

Oleh: M. Rifdal Ais Annafis

Di bawah maraknya sastra surealis dan eksperimental, buku Eep Saefulloh Fatah sekali lagi menawarkan realitas imajiner dengan persoalan kuat orang-orang kelas ketiga.

SAYA dengan mudah membayangkan, barangkali Kang Eep Saefulloh Fatah dalam posisi gamang ketika menyadari, seperti dalam kisah tragis Akhromeyev, seorang mantan jenderal komunis Soviet sebelum dia menempelkan gagang pistol di pelipisnya sendiri, bahwa ”banyak hal tidak beres pada negerinya.”

Bedanya, jenderal yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk partai dan negerinya itu memilih sikap pragmatis dengan bunuh diri. Sedangkan Kang Eep ketika merenungi ketidakberesan itu, selain aktivitasnya di dunia politik, menulis cerita pendek bergaya realis. Sebuah gaya yang dengan wajar dan alamiah membangkitkan simpati dan rasa iba pembaca.

Gaya penceritaan realis menjadi berhasil ketika menggunakan dua perangkat penulisan. Yakni, menggunakan konklusi tragis serta ironi dan selanjutnya menggunakan bahasa familier atau sehari-hari sebagai medium. Cara ini berhasil dipergunakan banyak sastrawan kita.

Misalnya, Hamsad Rangkuti dengan bukunya yang terkenal, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?. Atau, Sepi pun Menari di Tepi Hari milik Radhar Panca Dahana.

Kedua sastrawan yang saya sebut berupaya menyajikan cerita yang linier berupa tragedi yang dekat senyata mungkin dengan harapan agar kisah meyakinkan. Sastrawan ini, termasuk Kang Eep dalam buku Lelaki dari Neraka, selalu berupaya menghadirkan konflik yang dramatis. Seluruh perangkat menulis yang dipakai menjadikan karya yang bergaya realis akhirnya membuat perasaan pembaca berdebar-debar.

Baca Juga :  Mendudukkan Finalitas dan Falibilitas Sistem Peradilan Indonesia

Dalam buku Kang Eep, saya sepakat mengklasifikasikan garapannya dalam tiga tema besar yang anehnya seakan berjalin kelindan. Pertama, Lanskap Kampung Halaman. Dalam lanskap ini, cerita pendek Kang Eep berkisah tentang kenangan pendek dan panjang terhadap kampung halamannya, Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Misalnya, dia menggambarkan ironi seorang guru honorer di sebuah kampung yang tidak mendapat haknya untuk diperhatikan pemerintah. Atau, persoalan kekeringan yang melanda ketika kemarau tiba di kisah lain. Dua sudut pandang ini bersumber dari ironi masyarakat kelas ketiga yang menjadi korban bobroknya kebijakan pemerintah.

Kedua, Hikayat Cinta. Tampaknya, saya perlu mengutarakan kekesalan saya terhadap Kang Eep. Dalam beberapa cerita pendek, dia berhasil memanipulasi saya sebagai pembaca dengan memberikan kejutan-kejutan tak terduga. Misalnya, dalam cerpen Cinta di Sebuah Pagi.

Dia menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan gaya bahasa lugas, jernih, sekaligus menyenangkan. Dengan cara menonjolkan persoalan keluarga dengan adanya kisah cinta terselubung antara Armando dan Asti, pembantunya, tanpa sepengetahuan istri sahnya. Dan kisah-kisah keras kepala lainnya.

Ketiga, Hikayat Politik. Tema besar ini ditandai dengan beberapa cerita pendek. Kang Eep berupaya menggambarkan setting yang seakan-akan alamiah dan betul terjadi sebab Kang Eep berdekatan dengan fakta empiris.

Baca Juga :  Suara Perempuan Indonesia dalam Bunga Rampai Sastra Hindia Belanda

Lahirlah kisah seperti Neka, Huru-hara, Gerimis Senja di Praha, ataupun Jaket Ayah. Maka, dari tema besar ini, kita dapat sekilas meraba gegap gempita persoalan politik tanah air seperti tragedi Timor Timur, persoalan bacaleg, runtuhnya komunis, dan lainnya.

Di bawah maraknya sastra surealis dan eksperimental, buku Kang Eep sekali lagi menawarkan realitas imajiner dengan persoalan kuat orang-orang kelas ketiga. Ini menjadi warna jernih di antara keruh dan jauhnya jangkauan imajinasi sastrawan Indonesia terhadap sumber realitas yang menjamur dan terus ditafsir ulang.

Tetapi memang, tokoh-tokoh dalam cerita pendek ini tidak berupaya memberi khotbah atau penghakiman. Mereka hadir sekelebat di pikiran kita dengan mengemban keyakinan sederhana: memberi ruang perenungan atas dunia yang makin kurang ajar dan menyebalkan.

Tampaknya, kita perlu bahagia dan bergembira. Bisa jadi, ini menjadi buku panduan mengunjungi masa depan, terutama bagi anak muda yang ingin betul-betul menjadi manusia. (*)

Judul buku: Lelaki dari Neraka dan Cerita-Cerita Manusia Keras Kepala Lainnya

Penulis: Eep Saefulloh Fatah

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan: Pertama, Maret 2024

Jumlah: vii + 142 halaman

Rifdal Ais Annafis, Pengarsip dan bakul buku di Komunitas Kutub, Jogjakarta

Oleh: M. Rifdal Ais Annafis

Di bawah maraknya sastra surealis dan eksperimental, buku Eep Saefulloh Fatah sekali lagi menawarkan realitas imajiner dengan persoalan kuat orang-orang kelas ketiga.

SAYA dengan mudah membayangkan, barangkali Kang Eep Saefulloh Fatah dalam posisi gamang ketika menyadari, seperti dalam kisah tragis Akhromeyev, seorang mantan jenderal komunis Soviet sebelum dia menempelkan gagang pistol di pelipisnya sendiri, bahwa ”banyak hal tidak beres pada negerinya.”

Bedanya, jenderal yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk partai dan negerinya itu memilih sikap pragmatis dengan bunuh diri. Sedangkan Kang Eep ketika merenungi ketidakberesan itu, selain aktivitasnya di dunia politik, menulis cerita pendek bergaya realis. Sebuah gaya yang dengan wajar dan alamiah membangkitkan simpati dan rasa iba pembaca.

Gaya penceritaan realis menjadi berhasil ketika menggunakan dua perangkat penulisan. Yakni, menggunakan konklusi tragis serta ironi dan selanjutnya menggunakan bahasa familier atau sehari-hari sebagai medium. Cara ini berhasil dipergunakan banyak sastrawan kita.

Misalnya, Hamsad Rangkuti dengan bukunya yang terkenal, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?. Atau, Sepi pun Menari di Tepi Hari milik Radhar Panca Dahana.

Kedua sastrawan yang saya sebut berupaya menyajikan cerita yang linier berupa tragedi yang dekat senyata mungkin dengan harapan agar kisah meyakinkan. Sastrawan ini, termasuk Kang Eep dalam buku Lelaki dari Neraka, selalu berupaya menghadirkan konflik yang dramatis. Seluruh perangkat menulis yang dipakai menjadikan karya yang bergaya realis akhirnya membuat perasaan pembaca berdebar-debar.

Baca Juga :  Mendudukkan Finalitas dan Falibilitas Sistem Peradilan Indonesia

Dalam buku Kang Eep, saya sepakat mengklasifikasikan garapannya dalam tiga tema besar yang anehnya seakan berjalin kelindan. Pertama, Lanskap Kampung Halaman. Dalam lanskap ini, cerita pendek Kang Eep berkisah tentang kenangan pendek dan panjang terhadap kampung halamannya, Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Misalnya, dia menggambarkan ironi seorang guru honorer di sebuah kampung yang tidak mendapat haknya untuk diperhatikan pemerintah. Atau, persoalan kekeringan yang melanda ketika kemarau tiba di kisah lain. Dua sudut pandang ini bersumber dari ironi masyarakat kelas ketiga yang menjadi korban bobroknya kebijakan pemerintah.

Kedua, Hikayat Cinta. Tampaknya, saya perlu mengutarakan kekesalan saya terhadap Kang Eep. Dalam beberapa cerita pendek, dia berhasil memanipulasi saya sebagai pembaca dengan memberikan kejutan-kejutan tak terduga. Misalnya, dalam cerpen Cinta di Sebuah Pagi.

Dia menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan gaya bahasa lugas, jernih, sekaligus menyenangkan. Dengan cara menonjolkan persoalan keluarga dengan adanya kisah cinta terselubung antara Armando dan Asti, pembantunya, tanpa sepengetahuan istri sahnya. Dan kisah-kisah keras kepala lainnya.

Ketiga, Hikayat Politik. Tema besar ini ditandai dengan beberapa cerita pendek. Kang Eep berupaya menggambarkan setting yang seakan-akan alamiah dan betul terjadi sebab Kang Eep berdekatan dengan fakta empiris.

Baca Juga :  Suara Perempuan Indonesia dalam Bunga Rampai Sastra Hindia Belanda

Lahirlah kisah seperti Neka, Huru-hara, Gerimis Senja di Praha, ataupun Jaket Ayah. Maka, dari tema besar ini, kita dapat sekilas meraba gegap gempita persoalan politik tanah air seperti tragedi Timor Timur, persoalan bacaleg, runtuhnya komunis, dan lainnya.

Di bawah maraknya sastra surealis dan eksperimental, buku Kang Eep sekali lagi menawarkan realitas imajiner dengan persoalan kuat orang-orang kelas ketiga. Ini menjadi warna jernih di antara keruh dan jauhnya jangkauan imajinasi sastrawan Indonesia terhadap sumber realitas yang menjamur dan terus ditafsir ulang.

Tetapi memang, tokoh-tokoh dalam cerita pendek ini tidak berupaya memberi khotbah atau penghakiman. Mereka hadir sekelebat di pikiran kita dengan mengemban keyakinan sederhana: memberi ruang perenungan atas dunia yang makin kurang ajar dan menyebalkan.

Tampaknya, kita perlu bahagia dan bergembira. Bisa jadi, ini menjadi buku panduan mengunjungi masa depan, terutama bagi anak muda yang ingin betul-betul menjadi manusia. (*)

Judul buku: Lelaki dari Neraka dan Cerita-Cerita Manusia Keras Kepala Lainnya

Penulis: Eep Saefulloh Fatah

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan: Pertama, Maret 2024

Jumlah: vii + 142 halaman

Rifdal Ais Annafis, Pengarsip dan bakul buku di Komunitas Kutub, Jogjakarta

Terpopuler

Artikel Terbaru