25.4 C
Jakarta
Sunday, September 29, 2024

Ama Tewo

”Beringin-beringin ini telah ada sebelum kami lahir. Bahkan kakek-nenek kami pun menceritakan hal yang sama. Saat mereka lahir beringin-beringin ini telah ada.”

AMA Tewo berada di pihak kakeknya. Waktu itu kakek dan beberapa tetua seusianya coba mencegah.

”Ini perintah!”

Darah Ama Tewo seperti mendidih. Namun ia tak kuasa membela apa yang dipertahankan tetua kampung.

Aparat sangar dengan senjata di tangan. Siap menendang, siap menembak. Siapa berani?

Guru-guru agama jebolan sekolah misi senang. Orang tak lagi menyembah pohon-pohon. Ke depannya orang hanya menyembah Tuhan Bapa yang bertakhta di langit tinggi.

Ama Tewo bisa merasakan apa yang ada di pikiran tetua waktu itu. Tapi ia tak punya cukup kepandaian untuk berargumen. Guru-guru yang sangat fasih bicara tentang Tuhan itu tak pernah mau tahu bahwa beringin-beringin itu bagian dari perwujudan Ina Tana Ekan yang tugasnya menjaring awan, menyimpan air, menahan banjir dan longsor, memberi udara bagi hidup manusia.

Oleh karena itu, manusia menyapanya: Ema. Jika beringin-beringin tersebut dilukai, kehidupan terluka. Sakitnya pohon adalah juga sakitnya manusia.

”Ini desa gaya baru. Harus tertata, rapi, bersih. Tidak bisa seperti semak belukar, apalagi hutan rimba.”

Guru-guru agama bertepuk tangan, mengacungkan jempol, tersenyum senang. Camat tambah besar kepala karena didukung oleh orang-orang berpendidikan.

Ama Tewo dan teman-teman seusianya diperintahkan untuk menebang pohon-pohon beringin yang rata-rata seperti rumah besarnya. Mereka dielu-elukan sebagai kesatria yang turun ke medan perang. Ia menjadi bagian dari barisan itu walau hatinya berontak.

Ama Tewo sadar usianya berlipat-lipat puluhan bahkan ratusan kali baru sama dengan usia beringin-beringin itu. Membinasakan yang mestinya dipelihara bikin jiwanya terguncang. Rasa kesal menggumpal setiap mengingat pekik sorak orang-orang yang hadir memberi semangat.

Beringin-beringin tersebut bekerja dalam diam melindungi kampung dan memberi kesejukan. Menjadi saksi banyak hal, banyak peristiwa. Melewati musim-musim dengan setia. Tumbuh menjulang ke atas menjaring awan, menahan angin sekaligus menjulurkan akar-akarnya ke bawah membumikan air.

Umpatan, makian, ejekan, bentakan meremukkan hatinya. Apa salah beringin-beringin ini? Manusia tak lagi peduli jasa-jasanya. Kemajuan yang bagaimanakah sampai mengorbankan pohon-pohon yang melindungi kampung dan jadi rumah yang nyaman bagi sekian binatang selama ini? Setiap kali mau tebang hatinya kecut. Mukanya pucat. Dadanya berdegup.

Demi membebaskan segala kecamuk, ia membabi buta. Seperti orang kerasukan mengayunkan kapak bertubi-tubi sampai terkulai lemas. Hampir sebulan selalu begitu. Sungguh menguras.

Peristiwa itu membekas bertahun-tahun. Ia harus melakukan kekejaman terhadap beringin-beringin yang tak bersalah. Jika beringin-beringin itu bisa menuntut, betapa besarnya hukuman yang harus dijalankannya.

Ada banyak hal yang hilang. Yang lain merasakan atau tidak, entahlah. Ama Tewo tak sanggup menatap wajah kakek dan sejumlah orang tua yang begitu menghormati beringin-beringin itu. Sebagai anak ia merasa tak berguna karena tak bisa membela. Malah turut menghancurkan perasaan mereka.

Baca Juga :  Lari dari Pandemi

”Lihat saja: kalau tak lagi hormat pada pohon, orang akan sesukanya dengan sesama!”

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut kakeknya. Sejak itu ia lebih banyak memilih tinggal di ladang. Dan tak mau bicara lagi.

Setelah beringin-beringin tak ada, tak terdengar lagi kicau burung-burung. Pohon-pohon pun seperti murung. Merana. Hawa langsung berubah panas. Air kali menyusut dari tahun ke tahun. Mata air musiman tak muncul lagi.

Semakin banyak yang hilang. Orang-orang makin cepat gerah dan tersulut amarah. Panas bikin orang makin tidak sabar, tidak betah dalam banyak hal. Tak ada lagi cerita mandi di genangan air kali, menangkap ikan, udang, ataupun belut.

Ama Tewo merasa kemajuan yang ditawarkan secara meyakinkan menemui akhir yang selalu tak enak. Di mana-mana orang mengeluh susah air. Harga air bersih per drum 15 ribu rupiah. Kering bikin semua meranggas. Di luar rumah panas. Dalam rumah lebih panas lagi. Rumah beratap alang-alang yang dibongkar dulu dan diganti seng ketika siang mengusir orang keluar dari rumah. Mencari pohon-pohon untuk bernaung.

***

”Apa orang yang lebih tinggi kuasa itu selalu paling benar dan harus kita ikut?”

Sekretaris desa yang mendampingi Markus seolah tak mendengar.

”Selalu lebih tinggi, lebih maju, lebih unggulkah segala yang dari luar itu?”

”Biasanya lebih teruji,” jawab sekretaris desa ketus.

”Yang kita sudah miliki sejak zaman leluhur itu belum teruji?”

Sekretaris desa menjauh.

”Untuk apa kalau sekolah tinggi-tinggi lalu tak tunjukkan satu pun yang lebih dari kita?”

Gerutu Ama Tewo bukan tanpa pasal. Di usianya yang sudah 72 tahun, Ama Tewo dan orang-orang sekampungnya memikul 15 koker anakan beringin mendaki di siang terik untuk penghijauan di bukit-bukit yang dulu penuh beringin. Ini tahun kedua. Tahun pertama cuma hitungan jari saja yang hidup dari ribuan anakan yang ditanam.

Ia melihat Guru Lambert pada Markus. Guru yang dulu paling getol mendukung pemusnahan beringin-beringin. Juga Camat Andreas pada Stanis. Camat yang memerintahkan pemusnahan beringin. Ingatan terhadap Guru Lambert dan Camat Andreas serta segala kejadian lima puluh tahun silam seperti mengolok-olok dirinya.

Ia merasa dipermainkan seperti anak kecil. Dulu diperintah buat ditebang, sekarang disuruh menanam lagi. Dulu Guru Lambert, sekarang Markus cucunya sebagai pengawas proyek penghijauan. Dulu camat Andreas, sekarang Stanis anaknya; kepala dinas yang bertanggung jawab terhadap proyek penghijauan ini.

Orang besar punya anak juga orang besar. Dan sama. Seenaknya terhadap orang kecil, bahkan orang tua seperti dirinya. Upah kerja mereka selama sebulan, tahun lalu yang ditunggu-tunggu hanya terbayar seminggu. Katanya ada refocusing. Istilah yang dia sendiri tidak paham. Anggaran yang nilainya miliaran itu sampai di tangan mereka yang capek menanam hanya 30 ribu per hari.

”Bagaimana bisa tumbuh baik kalau perasaan kita ketika tanam sedang tidak baik?” Ama Tewo mengeluh.

Baca Juga :  Ongkowijoyo

”Beringin-beringin tidak tumbuh oleh uang, tapi oleh tangan kita yang tanam,” sambung Ama Pelatin.

Sudah dua minggu mereka menanam di siang terik. Hujan datang terlambat. Namun ini tuntutan proyek. Ada batas waktunya. Maka harus tanam walau hujan belum turun. Setiap hari dipantau. Diambil foto dan video.

Sesuai perjanjian hari ini pembayaran upah kerja dua minggu pertama. Warga berharap bisa dapat sedikit uang. Ina Uto, misalnya, sudah janji sore nanti membayar utang beras dua kilo yang ia pinjam ke Ina Barek tetangganya. Atau Ama Ola sudah janji dengan kepala sekolah untuk besok pagi membayar biaya sekolah anaknya yang nunggak.

Ada yang sudah mulai resah, bahkan menaruh curiga. Pasalnya, sudah lima hari tidak kelihatan batang hidungnya Markus. Walau muncul rupa-rupa perasaan, warga bekerja dengan sungguh-sungguh. Keringat bercucuran. Menjadi pekat bercampur debu tanah.

Panas makin garang. Warga tetap semangat. Tak peduli kuku-kuku tangan yang menghitam. Mereka memendam harapan yang sama. Mendapat upah hari ini.

Angin menerbangkan debu-debu. Sebagian warga mengusap berulang-ulang matanya yang perih dengan lengannya. Panas semakin tak punya belas kasihan.

Sudah dua minggu para warga meninggalkan kerja rutinnya demi upah satu dua sen yang akan dibayar hari ini. Matahari mulai bergeser ke barat. Angin kemarau bertubi-tubi menghamburkan debu dalam jumlah yang lebih besar. Sebagian warga menghindar dengan membalikkan badan.

Ada yang bertahan. Mendongak sambil menahan napas dan memejamkan mata beberapa saat. Selepas itu, selalu saja ada yang mengarahkan matanya jauh ke arah lembah. Tak satu pun kendaraan yang datang. Yang terdengar malah deru napas dan rasa lelah yang semakin tak bisa ditahan.

Matahari makin condong ke barat. Warga gundah melihat bayangannya yang memanjang. Teriakan dari lembah menciptakan jeda. Seseorang berlari menuju bukit.Mereka memperhatikan tanpa berkedip. Makin lama makin jelas. Tapi bukan Markus. Ada ketakutan yang kian dekat. Menjadi perih yang merayap memenuhi dada.

”Pulang, pulang, kita pulang saja. Tak ada guna semua ini!”

”Ada apa?”

”Ada apa?”

”Ada apa?”

Tanya warga melemah.

”Kita pulang saja. Markus dan kepala dinas ditangkap. Sudah pakai rompi oranye.”

”Ditangkap kenapa?”

”Sebab ketahuan makan uang proyek sejak tahun lalu.”

Kabar dari sekretaris desa tersebut membuat warga melepaskan anakan-anakan beringin dan pulang. Tinggal Ama Tewo dan Ama Pelatin. Keduanya terus menggali lubang. Menanam anakan-anakan beringin yang ditinggalkan itu.

Angin kemarau berembus. Dingin. (*)

Lewotala, Flores Timur, Januari 2024

Daftar istilah

Ina Tana Ekan:

Ibu Bumi Tanah (Tuhan Ibu dalam agama asli suku Lamaholot)

Ema: Ibu

SILVESTER PETARA HURIT, Alumnus Jurusan Teater STSI Bandung (sekarang ISBI). Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan teater dan sastra di Flores Timur, NTT

”Beringin-beringin ini telah ada sebelum kami lahir. Bahkan kakek-nenek kami pun menceritakan hal yang sama. Saat mereka lahir beringin-beringin ini telah ada.”

AMA Tewo berada di pihak kakeknya. Waktu itu kakek dan beberapa tetua seusianya coba mencegah.

”Ini perintah!”

Darah Ama Tewo seperti mendidih. Namun ia tak kuasa membela apa yang dipertahankan tetua kampung.

Aparat sangar dengan senjata di tangan. Siap menendang, siap menembak. Siapa berani?

Guru-guru agama jebolan sekolah misi senang. Orang tak lagi menyembah pohon-pohon. Ke depannya orang hanya menyembah Tuhan Bapa yang bertakhta di langit tinggi.

Ama Tewo bisa merasakan apa yang ada di pikiran tetua waktu itu. Tapi ia tak punya cukup kepandaian untuk berargumen. Guru-guru yang sangat fasih bicara tentang Tuhan itu tak pernah mau tahu bahwa beringin-beringin itu bagian dari perwujudan Ina Tana Ekan yang tugasnya menjaring awan, menyimpan air, menahan banjir dan longsor, memberi udara bagi hidup manusia.

Oleh karena itu, manusia menyapanya: Ema. Jika beringin-beringin tersebut dilukai, kehidupan terluka. Sakitnya pohon adalah juga sakitnya manusia.

”Ini desa gaya baru. Harus tertata, rapi, bersih. Tidak bisa seperti semak belukar, apalagi hutan rimba.”

Guru-guru agama bertepuk tangan, mengacungkan jempol, tersenyum senang. Camat tambah besar kepala karena didukung oleh orang-orang berpendidikan.

Ama Tewo dan teman-teman seusianya diperintahkan untuk menebang pohon-pohon beringin yang rata-rata seperti rumah besarnya. Mereka dielu-elukan sebagai kesatria yang turun ke medan perang. Ia menjadi bagian dari barisan itu walau hatinya berontak.

Ama Tewo sadar usianya berlipat-lipat puluhan bahkan ratusan kali baru sama dengan usia beringin-beringin itu. Membinasakan yang mestinya dipelihara bikin jiwanya terguncang. Rasa kesal menggumpal setiap mengingat pekik sorak orang-orang yang hadir memberi semangat.

Beringin-beringin tersebut bekerja dalam diam melindungi kampung dan memberi kesejukan. Menjadi saksi banyak hal, banyak peristiwa. Melewati musim-musim dengan setia. Tumbuh menjulang ke atas menjaring awan, menahan angin sekaligus menjulurkan akar-akarnya ke bawah membumikan air.

Umpatan, makian, ejekan, bentakan meremukkan hatinya. Apa salah beringin-beringin ini? Manusia tak lagi peduli jasa-jasanya. Kemajuan yang bagaimanakah sampai mengorbankan pohon-pohon yang melindungi kampung dan jadi rumah yang nyaman bagi sekian binatang selama ini? Setiap kali mau tebang hatinya kecut. Mukanya pucat. Dadanya berdegup.

Demi membebaskan segala kecamuk, ia membabi buta. Seperti orang kerasukan mengayunkan kapak bertubi-tubi sampai terkulai lemas. Hampir sebulan selalu begitu. Sungguh menguras.

Peristiwa itu membekas bertahun-tahun. Ia harus melakukan kekejaman terhadap beringin-beringin yang tak bersalah. Jika beringin-beringin itu bisa menuntut, betapa besarnya hukuman yang harus dijalankannya.

Ada banyak hal yang hilang. Yang lain merasakan atau tidak, entahlah. Ama Tewo tak sanggup menatap wajah kakek dan sejumlah orang tua yang begitu menghormati beringin-beringin itu. Sebagai anak ia merasa tak berguna karena tak bisa membela. Malah turut menghancurkan perasaan mereka.

Baca Juga :  Lari dari Pandemi

”Lihat saja: kalau tak lagi hormat pada pohon, orang akan sesukanya dengan sesama!”

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut kakeknya. Sejak itu ia lebih banyak memilih tinggal di ladang. Dan tak mau bicara lagi.

Setelah beringin-beringin tak ada, tak terdengar lagi kicau burung-burung. Pohon-pohon pun seperti murung. Merana. Hawa langsung berubah panas. Air kali menyusut dari tahun ke tahun. Mata air musiman tak muncul lagi.

Semakin banyak yang hilang. Orang-orang makin cepat gerah dan tersulut amarah. Panas bikin orang makin tidak sabar, tidak betah dalam banyak hal. Tak ada lagi cerita mandi di genangan air kali, menangkap ikan, udang, ataupun belut.

Ama Tewo merasa kemajuan yang ditawarkan secara meyakinkan menemui akhir yang selalu tak enak. Di mana-mana orang mengeluh susah air. Harga air bersih per drum 15 ribu rupiah. Kering bikin semua meranggas. Di luar rumah panas. Dalam rumah lebih panas lagi. Rumah beratap alang-alang yang dibongkar dulu dan diganti seng ketika siang mengusir orang keluar dari rumah. Mencari pohon-pohon untuk bernaung.

***

”Apa orang yang lebih tinggi kuasa itu selalu paling benar dan harus kita ikut?”

Sekretaris desa yang mendampingi Markus seolah tak mendengar.

”Selalu lebih tinggi, lebih maju, lebih unggulkah segala yang dari luar itu?”

”Biasanya lebih teruji,” jawab sekretaris desa ketus.

”Yang kita sudah miliki sejak zaman leluhur itu belum teruji?”

Sekretaris desa menjauh.

”Untuk apa kalau sekolah tinggi-tinggi lalu tak tunjukkan satu pun yang lebih dari kita?”

Gerutu Ama Tewo bukan tanpa pasal. Di usianya yang sudah 72 tahun, Ama Tewo dan orang-orang sekampungnya memikul 15 koker anakan beringin mendaki di siang terik untuk penghijauan di bukit-bukit yang dulu penuh beringin. Ini tahun kedua. Tahun pertama cuma hitungan jari saja yang hidup dari ribuan anakan yang ditanam.

Ia melihat Guru Lambert pada Markus. Guru yang dulu paling getol mendukung pemusnahan beringin-beringin. Juga Camat Andreas pada Stanis. Camat yang memerintahkan pemusnahan beringin. Ingatan terhadap Guru Lambert dan Camat Andreas serta segala kejadian lima puluh tahun silam seperti mengolok-olok dirinya.

Ia merasa dipermainkan seperti anak kecil. Dulu diperintah buat ditebang, sekarang disuruh menanam lagi. Dulu Guru Lambert, sekarang Markus cucunya sebagai pengawas proyek penghijauan. Dulu camat Andreas, sekarang Stanis anaknya; kepala dinas yang bertanggung jawab terhadap proyek penghijauan ini.

Orang besar punya anak juga orang besar. Dan sama. Seenaknya terhadap orang kecil, bahkan orang tua seperti dirinya. Upah kerja mereka selama sebulan, tahun lalu yang ditunggu-tunggu hanya terbayar seminggu. Katanya ada refocusing. Istilah yang dia sendiri tidak paham. Anggaran yang nilainya miliaran itu sampai di tangan mereka yang capek menanam hanya 30 ribu per hari.

”Bagaimana bisa tumbuh baik kalau perasaan kita ketika tanam sedang tidak baik?” Ama Tewo mengeluh.

Baca Juga :  Ongkowijoyo

”Beringin-beringin tidak tumbuh oleh uang, tapi oleh tangan kita yang tanam,” sambung Ama Pelatin.

Sudah dua minggu mereka menanam di siang terik. Hujan datang terlambat. Namun ini tuntutan proyek. Ada batas waktunya. Maka harus tanam walau hujan belum turun. Setiap hari dipantau. Diambil foto dan video.

Sesuai perjanjian hari ini pembayaran upah kerja dua minggu pertama. Warga berharap bisa dapat sedikit uang. Ina Uto, misalnya, sudah janji sore nanti membayar utang beras dua kilo yang ia pinjam ke Ina Barek tetangganya. Atau Ama Ola sudah janji dengan kepala sekolah untuk besok pagi membayar biaya sekolah anaknya yang nunggak.

Ada yang sudah mulai resah, bahkan menaruh curiga. Pasalnya, sudah lima hari tidak kelihatan batang hidungnya Markus. Walau muncul rupa-rupa perasaan, warga bekerja dengan sungguh-sungguh. Keringat bercucuran. Menjadi pekat bercampur debu tanah.

Panas makin garang. Warga tetap semangat. Tak peduli kuku-kuku tangan yang menghitam. Mereka memendam harapan yang sama. Mendapat upah hari ini.

Angin menerbangkan debu-debu. Sebagian warga mengusap berulang-ulang matanya yang perih dengan lengannya. Panas semakin tak punya belas kasihan.

Sudah dua minggu para warga meninggalkan kerja rutinnya demi upah satu dua sen yang akan dibayar hari ini. Matahari mulai bergeser ke barat. Angin kemarau bertubi-tubi menghamburkan debu dalam jumlah yang lebih besar. Sebagian warga menghindar dengan membalikkan badan.

Ada yang bertahan. Mendongak sambil menahan napas dan memejamkan mata beberapa saat. Selepas itu, selalu saja ada yang mengarahkan matanya jauh ke arah lembah. Tak satu pun kendaraan yang datang. Yang terdengar malah deru napas dan rasa lelah yang semakin tak bisa ditahan.

Matahari makin condong ke barat. Warga gundah melihat bayangannya yang memanjang. Teriakan dari lembah menciptakan jeda. Seseorang berlari menuju bukit.Mereka memperhatikan tanpa berkedip. Makin lama makin jelas. Tapi bukan Markus. Ada ketakutan yang kian dekat. Menjadi perih yang merayap memenuhi dada.

”Pulang, pulang, kita pulang saja. Tak ada guna semua ini!”

”Ada apa?”

”Ada apa?”

”Ada apa?”

Tanya warga melemah.

”Kita pulang saja. Markus dan kepala dinas ditangkap. Sudah pakai rompi oranye.”

”Ditangkap kenapa?”

”Sebab ketahuan makan uang proyek sejak tahun lalu.”

Kabar dari sekretaris desa tersebut membuat warga melepaskan anakan-anakan beringin dan pulang. Tinggal Ama Tewo dan Ama Pelatin. Keduanya terus menggali lubang. Menanam anakan-anakan beringin yang ditinggalkan itu.

Angin kemarau berembus. Dingin. (*)

Lewotala, Flores Timur, Januari 2024

Daftar istilah

Ina Tana Ekan:

Ibu Bumi Tanah (Tuhan Ibu dalam agama asli suku Lamaholot)

Ema: Ibu

SILVESTER PETARA HURIT, Alumnus Jurusan Teater STSI Bandung (sekarang ISBI). Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan teater dan sastra di Flores Timur, NTT

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru