33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Lari dari Pandemi

Lari dari Pandemi

/1/

Mendung ataukah murung yang
membalut ini pagi

matahari tertutup serupa kedua
kelopak matamu

satu setengah juta jiwa melayang
bersama pandemi!

terjagalah, bangunlah, nyalangkan
mata indahmu untuk hari-hariku.

/2/

Dan aku telah memutuskan:
berhenti merindu dan menunggu sebab sudah terlalu banyak yang berebutan.
berlomba, sebaik apa pun makna persaingan itu dimainkan, hanya geluncak ombak
yang merisak, merusak, berujung sebah sesak.

Aku kini larut sembunyi di
kelopak matahari serupa puisi yang terbakar: hidup. hidup.

(2020)

—

Lelaki di Tengah Pandemi

Lelaki itu berkumis tebal
berambut ikal berkulit sawo matang (seperti bapakku) tersenyum dalam posisi
rebahan di sebuah ranjang yang didorong, ranjang krom dengan empat roda
digerakkan tangan beberapa orang. orang-orang berwajah kaku. seragam.

Di bilik bilas sebuah masjid air
memancar di atas kepalaku memelorotkan seluruh pakaian. menelanjangiku. apakah
dosa-dosaku juga melorot? apakah ketelanjangan ini adalah dosa-dosaku?

Baca Juga :  Manusia Soliter dan Problematika Berat Badan

Derit ranjang dorong menyentakku.
suaranya tepat di belakangku.

Bilik bilas ini ternyata
menganga. bergawang tapi tak berpintu. ruang dalam dan ruang luar keduanya
bersisihan saling menyeberang. melenyapkan jarak antara tubuh telanjangku dan
senyum lelaki berkumis tebal itu.

Kulihat punggungnya menempel
lengket dengan jeroan yang meluber di ranjang krom.

Kulihat juga bocah yang memeluk
tengkuk kedua kaki. sendiri.

(2020)

—

Variasi atas Iwan Simatupang dan Subagyo
Sastrowardoyo

Kalau kita berjumpa lagi, Maria,
jangan coba yakinkan aku kembali bahwa tubuhmu adalah kanvas dan lenganku adalah
kuas. Telah kuputuskan untuk merombak hulu haluan perahu menjauh dari pasang
gelombang menuju bulan dan bintang-bintang. Angkasa begitu tenang, begitu sepi,
begitu tak terengkuh. Barangkali cinta yang sama-sama kita cari adalah muara
segala tualang: Kediaman ini.

Baca Juga :  Sajak Amir Yahyapati Aby

(2020)

—

Paradoks

Semua tampak terang, jelas, tapi
juga tak terpegang. kau bilang tak bisa lagi membohongi diri sendiri, tak bisa
taat selaras dengan kata yang telah terucap: aku tak akan mencintaimu meski
sangat menyayangimu!

Kopi telah dingin tak tersentuh.
bibir telah sama kering setelah seribu kecup. kekosongan memenuhi seluruh
ruang. jernih dan terang tapi juga tak terpegang.

(2021)

(F. AZIZ MANNA. Lahir di
Sidoarjo, 8 Desember 1978. Alumnus Ponpes Tambak Beras Jombang. Buku puisinya
”Playon” (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2015) dan diterbitkan ulang Pagan Press
pada 2016 mendapatkan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16. Aktif di komunitas
Teater GAPUS Unair dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Menerima
Anugerah Sastrawan Airlangga 2017)

Lari dari Pandemi

/1/

Mendung ataukah murung yang
membalut ini pagi

matahari tertutup serupa kedua
kelopak matamu

satu setengah juta jiwa melayang
bersama pandemi!

terjagalah, bangunlah, nyalangkan
mata indahmu untuk hari-hariku.

/2/

Dan aku telah memutuskan:
berhenti merindu dan menunggu sebab sudah terlalu banyak yang berebutan.
berlomba, sebaik apa pun makna persaingan itu dimainkan, hanya geluncak ombak
yang merisak, merusak, berujung sebah sesak.

Aku kini larut sembunyi di
kelopak matahari serupa puisi yang terbakar: hidup. hidup.

(2020)

—

Lelaki di Tengah Pandemi

Lelaki itu berkumis tebal
berambut ikal berkulit sawo matang (seperti bapakku) tersenyum dalam posisi
rebahan di sebuah ranjang yang didorong, ranjang krom dengan empat roda
digerakkan tangan beberapa orang. orang-orang berwajah kaku. seragam.

Di bilik bilas sebuah masjid air
memancar di atas kepalaku memelorotkan seluruh pakaian. menelanjangiku. apakah
dosa-dosaku juga melorot? apakah ketelanjangan ini adalah dosa-dosaku?

Baca Juga :  Manusia Soliter dan Problematika Berat Badan

Derit ranjang dorong menyentakku.
suaranya tepat di belakangku.

Bilik bilas ini ternyata
menganga. bergawang tapi tak berpintu. ruang dalam dan ruang luar keduanya
bersisihan saling menyeberang. melenyapkan jarak antara tubuh telanjangku dan
senyum lelaki berkumis tebal itu.

Kulihat punggungnya menempel
lengket dengan jeroan yang meluber di ranjang krom.

Kulihat juga bocah yang memeluk
tengkuk kedua kaki. sendiri.

(2020)

—

Variasi atas Iwan Simatupang dan Subagyo
Sastrowardoyo

Kalau kita berjumpa lagi, Maria,
jangan coba yakinkan aku kembali bahwa tubuhmu adalah kanvas dan lenganku adalah
kuas. Telah kuputuskan untuk merombak hulu haluan perahu menjauh dari pasang
gelombang menuju bulan dan bintang-bintang. Angkasa begitu tenang, begitu sepi,
begitu tak terengkuh. Barangkali cinta yang sama-sama kita cari adalah muara
segala tualang: Kediaman ini.

Baca Juga :  Sajak Amir Yahyapati Aby

(2020)

—

Paradoks

Semua tampak terang, jelas, tapi
juga tak terpegang. kau bilang tak bisa lagi membohongi diri sendiri, tak bisa
taat selaras dengan kata yang telah terucap: aku tak akan mencintaimu meski
sangat menyayangimu!

Kopi telah dingin tak tersentuh.
bibir telah sama kering setelah seribu kecup. kekosongan memenuhi seluruh
ruang. jernih dan terang tapi juga tak terpegang.

(2021)

(F. AZIZ MANNA. Lahir di
Sidoarjo, 8 Desember 1978. Alumnus Ponpes Tambak Beras Jombang. Buku puisinya
”Playon” (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2015) dan diterbitkan ulang Pagan Press
pada 2016 mendapatkan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16. Aktif di komunitas
Teater GAPUS Unair dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Menerima
Anugerah Sastrawan Airlangga 2017)

Terpopuler

Artikel Terbaru