Kota Rantau
Beri aku kota yang terbenam pasang naik dan tertimbun pendatang
kota yang memasang lampu sorot di ketinggian, lampu yang senantiasa
memecah awan pengidap udara buruk, kita dipaksa mencintai kemacetan
sebagai bagian dari ciri kota yang tegak di atas tanah lumpur
kota yang melintangkan rel tanpa palang pintu di tengah jalan.
Aku menyenangi Westminster Chime di Jakarta Kota
stasiun yang selalu menyediakan pertemuan canggung
seperti perjumpaan seorang tambun memetik janggut seakan senar
dengan lelaki buncit menepuk-nepuk perut seperti gendang tersandang
saling bersahut nada-nada rumpang, menggeletar badan seakan terangsang.
Beri aku segala yang zalim dari kota ini
tanah berongga puluhan depa, drainase disumbat kulit kabel
tiang pancang dibiarkan menjulang sekenanya, sebab mabukku
adalah mabuk aroma bensin tengah hari tegak, lambung berisi umpatan
untuk orang-orang di Senayan, dan tubuhku adalah labirin jalan layang.
Beri aku segala yang dibentangkan bagi Jakarta
Agar keberangkatan direka kembali, sebelum gelombang migrasi perantau
Meruntuhkan kampung halaman.
Jakarta, 2019
รขโฌโรขโฌโรขโฌโรขโฌโรขโฌโ
Makan Nasi Padang
Beri aku induk lauk, Engku
lauk kedai nasi yang paling engkau banggakan
mungkin gulai tunjang dalam pinggan besar, gulai ikan karang
dengan taring seukuran tusuk gigi, paling tidak hidangkanlah
ayam kampung digoreng bersama cabai Bukittinggi,
rendangkan juga kopi jagung Tanah Datar
hamparkan semuanya pada meja paling lebar.
Aku terbawa kampung dalam lambung besar, Engku
tapi di kedai ini yang keluar tidak lain dari sendawa angin.
Sebab kau berikan nasi ditanak kelewat lambuk
jengkol muda direbus tergesa, kulit petai cina
gulai nangka peram dipanaskan berulang tiga malam
sekuali gulai tembesu terminyak seraya pecah santan
belum selesai carut aku gumamkan ketika nila goreng hambar
hangus pada moncong itu menyisakan pahit arang di lidah
kau hidangkan air kelapa tua meninggalkan masam di pangkal lengan
membuat kulit ketiak ditumbuhi rambut kasar serupa akar pinang.
Aku ingin induk lauk dari kedai ini, Engku
gulai dengan kuah santan kental bergelintin
dendeng kerbau cabai muda, setidaknya ikan goreng
disiram cabai merah sewarna bibir orang rumahmu
รขโฌยsi Padang bila membuka kedai nasi di rantau
tak pernah menyambal dengan benarรขโฌย.
Denpasar, 2019
รขโฌโรขโฌโรขโฌโรขโฌโรขโฌโ
Teragak
Adalah harum ruku-ruku, tebaran miang serai
dan rambatan sirih pada pagar tak seberapa tinggi
aku membayangkan pagi dimulai dari kamar belakang
dengan jendela tidak pernah dimasuki cahaya matahari.
Kudengar, mungkin sekadar terngiang kembali
suara beras ditampih ketika hari mulai tinggi
bunyi katup kuali jatuh tersinggung sanduk
aku baru tahu, kangen bisa sebegini buruk.
Di kejauhan ini, ketika pagi tinggal air berjatuhan dari keran
dan lantai membekaskan lembap, aku gumamkan bahasa ibu
kuputar dendang perantauan, kumainkan mantra penjemput badan
namun rindu seperti demam tumbuh gigi, ngilu hingga tembesu.
Aku bayangkan pula tampuk lengkuas pecah ditumbuk
irisan daun limau, sekalian ruku-ruku tumbuh bersemak
tapi tidak dapat kujangkau didih santan mengering perlahan
serai lupa disiram, bunga pepaya jantan merasi di belakang.
Pagi ini kupikir di rumah kembali, menghirup bau tanah basah
tapi dengung pada telinga masih tentang air jatuh dari keran
lembap menggigilkan badan, maka seketika itu pula aku tahu
batuk basah masih menggantung di paru, demam masih begitu.
Pekanbaru, 2020
__________________
ILHAMDI PUTRA. Lahir di
Padang, Sumatera Barat. Bergiat di ruang riset sastra dan humaniora Lab Pauh 9.
Tulisannya disiarkan media cetak dan elektronik serta dihimpun dalam beberapa
antologi bersama. Menghadiri beberapa pertemuan kesusastraan, salah satunya
Ubud Writers and Readers Festival 2019 (Ubud, Bali), sebagai emerging writers.