27.3 C
Jakarta
Friday, September 20, 2024

Jarum Jaran Jamudin

Jarum Jaran Jamudin

Oleh: AHMADUL FAQIH MAHFUDZ

Ya Rabbi shalli ’ala Muhammad

Ya Rabbi shalli ’alayhi wa sallim

Ya Rabbi ballighul wasilah

Ya Rabbi khusshahu bil fadilah

Ya Rabbi shalli ’ala Muhammad

Ya Rabbi shalli ’alayhi wa sallim

Salawat Ad-Diba’i mengalun rancak dan menggema di sekujur kompleks pesantren. Santri-santri melagukan dan mengiringinya dengan tabuhan rebana. Duh, suara itu, irama itu, salawat itu, mengingatkanku pada mangga kiai di depan kamarku, pada masa-masa aku nyantri dulu. Saat itu pula, bersamaan dengan lirik …ya Rabbi shalli ’ala Muhammad… …ya Rabbi wagfir li kulli mudznib… melintas dalam batinku wajah juga suara dan pesan ibu bertahun-tahun lalu.

Kuhalau semua itu. Kucoba masuk kembali ke dalam kekhusyukan, menyatu dengan madah teruntuk Rasul pujaan, ketika pelantun mengajak hadirin berdiri ber-mahallul qiyam.

Ya Nabi salam ’alayka

Ya Rasul salam ’alayka

Ya Habib salam ’alayka

Shalawatullah ’alayka

Hari ini pengajian Maulid Nabi sekaligus reuni alumni. Aku sudah di lokasi acara yang dihadiri ribuan santri dan alumni pesantren tempatku dulu belajar ini. Dua minggu lalu aku mengirim uang ke Kang Syukri, santri senior yang kini jadi ustad dan ketua panitia, agar dia membelikanku sepuluh ekor sapi juga kebutuhan lain untuk acara tahunan ini. Aku tinggalkan Jakarta sejenak meski setelah acara aku harus kembali untuk menemui beberapa pengusaha migas demi membahas strategi pemenanganku nanti.

Alhamdulillah, aku bisa datang ke perayaan ini lagi. Terkenang masa kanakku dulu aku dan kawan-kawan sepermainan sering berebut berkatan saat para tetua menyelenggarakan maulidan di surau kampung kami. Para pemuda menyiapkan ancak berisi bebuahan.

Telur-telur ayam rebus mereka tusuk dengan tusuk sate yang ujungnya diberi pita atau kertas warna-warni, lalu mereka tancapkan di batang-batang pohon pisang yang sudah dihias. Ibu dan kaum perempuan menyiapkan aneka jajanan seperti nagasari, serabi, dan bikang. Aduhai, aroma tepung juga gula dan santan serta adonan lain dalam kukusan dan cetakan, terhidu dalam-dalam, menghangat kenangan dalam ingatan.

 

***

”Kalau di pesantren kau mencuri jarum, saat boyong nanti kau akan mencuri jaran.”

Ibu mewanti-wanti ketika melepasku di gerbang pesantren pagi itu. Kalimat itu, juga suara dan wajah ibu, melintas dalam batinku meski 26 tahun berlalu. Ah, andai saja kupegang pesanmu, Ibu.

Aku yang di masa kanak dulu tiap magrib berangkat ke surau Guru Idris untuk mendaras Quran, saban sore pergi ke madrasah Ustad Hamdani untuk belajar ilmu wudu dan sembahyang, lalu enam tahun jadi santri di pesantren Kiai Tamam, kini aku justru sesak dalam lapang serta gelap dalam terang.

Ingatan melemparku ke masa silam. Saat di pesantren aku pernah memakai uang organisasi murid intramadrasah, namun tak sempat kukembalikan. Hanya tujuh puluh ribu rupiah, lalu yang kedua dan ketiga menanjak tiga ratus dan lima ratus ribu. Awalnya kuberikan uang itu kepada Saiful dan beberapa kawan santri yang kelaparan karena telat kiriman dari orang tuanya.

Aku tak pernah memberi tahu mereka itu uang apa, milik siapa, dan dari mana. Tapi lama-lama, uang organisasi pelajar di pesantren kami itu kupakai sendiri, kupakai beli buku-buku ketika beberapa penerbit di Jogja membuka bazar di pesantren kami.

Pernah pula kupetik mangga kiai yang bergelantung matang di depan kamar, yang kepada kami seakan melambai-lambai. ”Ilmunya saja kiai ikhlaskan, masak mangganya tidak?” ucap Riswan, kawan sekamarku yang mengawali makan buah ranum itu. Meski ragu, tapi mau, aku pun mengikuti bujukannya. Ah, Riswan, terakhir menghubungiku dia berkabar, kini dia jadi mandor perusahaan batu bara di Kalimantan milik seorang jenderal purnawirawan.

Lulus madrasah aliyah di pesantren aku kuliah ke Jogja. Sejak masa orientasi pengenalan kampus, banyak kakak kelas membujukku masuk organisasi gerakan mahasiswa yang mereka ikuti. Karena butuh teman dan pengalaman, aku pun ikut pelatihan dasar bagi anggota baru organisasi itu. Tahun-tahun pertama kulalui hari-hari penuh diskusi dan demonstrasi.

Dari diskusi-diskusi itu pula kami melakukan pembacaan kritis yang hasilnya kami jadikan tuntutan saat berunjuk rasa. Unjuk rasa itu awalnya di dalam kampus, pindah ke bundaran di jalan utama depan kampus, lalu ke gedung DPRD provinsi dan gubernuran hingga ke perempatan Titik Nol Kilometer Malioboro. Ya, titik yang biasanya kaupilih untuk ber-selfie ria, dengan latar gedung BNI peninggalan kolonial Belanda, saat kau berlibur ke Jogja.

Baca Juga :  Dini Beribu Ular

Semuanya wajar-wajar saja sampai masuk tahun kedua. Aku dan kawan-kawan seangkatanku harus menjadi panitia orientasi studi dan pengenalan kampus. Pada saat yang sama, di organisasi gerakan kemahasiswaan yang kami ikuti, kami dapat giliran jadi panitia penerimaan anggota baru.

Orientasi kampus dibiayai dengan uang kampus. Latihan kader baru organisasi dibiayai dari mana-mana. Pelan-pelan aku tahu, yang dimaksud ”dari mana-mana” ternyata tak hanya dari alumni organisasi kami, tapi juga dari uang orientasi kampus yang harus kami simpankan khusus untuk acara itu. Dengan petunjuk para senior yang terhormat, kami pun beraksi. Toh ini pemberdayaan mahasiswa juga, bukan untukku pribadi.

Saat itu, kami amankan empat juta rupiah. Tentu saja kami menggelembungkan harga atau biaya dalam laporan pertanggungjawaban. Kami minta nota kosong setiap membeli atau membayar berbagai kebutuhan.

Aku terus aktif di organisasi gerakan mahasiswa hingga aku mencalonkan diri sebagai ketua umumnya di tingkat kepengurusan cabang. Aku kalah. Sainganku, Darman, kawan seangkatanku yang menang. Karena dia bermodal uang, sedangkan aku hanya bermodal visi-misi.

Sebelum dan setelah menang, Darman mentraktir orang-orang berpengaruh di organisasi kami di satu diskotek terkenal di Jalan Magelang. Kemudian aku banting setir mencalonkan diri sebagai presiden badan eksekutif mahasiswa di kampus. Aku menang karena modalku tak lagi sekadar visi-misi.

 

Di momen ini aku belajar trik pemenangan, lebih tepatnya trik kecurangan. Teman-temanku memilok tembok-tembok kampus dengan ujaran kebencian terhadapku. ”Jamudin anjing!”; ”Jamudin aktivis bayaran!”; ”Gerakan Mahasiswa, Yes! Jamudin, No!”; ”Jamudin aktivis eceran!” atau ”Jamudin budak rektorat!” Semua itu mereka lakukan agar para mahasiswa calon pemilih menduga pesaingkulah dalang vandalisme itu. Aku menang. Tentu saja kupakai juga cara Darman.

Aku mulai sibuk dan jaringanku makin luas sejak menjabat presiden mahasiswa. Kebiasaanku menyimpan sisa uang acara masih kuterapkan. Bedanya, kini tak hanya buat organisasi, tapi aku juga memakainya untuk keperluanku sendiri dan untuk membayari biaya nongkrong teman-teman yang dulu memenangkanku.

Aku juga sering dapat transferan untuk demonstrasi yang kugelar. ”Uang lelah buat ngopi-ngopi,” kata pengirimnya. Uang itu ternyata bisa kubuat beli motor dan liburan ke Bali.

Tuntas jabatanku di kampus, aku lulus kuliah meski nilaiku pas-pasan. Kang Marijo mengajakku ke Jakarta. ”Karena kau tak bisa menjual nasab, kau harus ke Jakarta untuk memperbaiki nasib,” ucap seniorku di organisasi gerakan mahasiswa itu saat kereta kami sampai di Stasiun Pasar Senen. Kang Marijo membawaku ke kantor Departemen Kemakmuran Keluarga milik satu organisasi kemasyarakatan yang oleh kawan-kawan dipelesetkan jadi Departemen Keluh Kesah.

Di sini banyak sarjana muda dari berbagai kota dan kabupaten yang seorganisasi mahasiswa denganku, yang sama-sama berkeluh kesah menunggu remah-remah proyek dari para senior kami di berbagai instansi negara.

 

Bila nasib mujur, kami akan ditarik sebagai pegawai kontrak di kementerian tertentu atau jadi staf atau tenaga ahli di Senayan. Tapi bila lacur, kami akan bekerja sebagai palugada, apa yang lu mau gue ada. Kadang kami jadi penulis pesanan untuk senior-senior yang juga politikus itu.

Tulisan-tulisan itu kami kirim ke mereka, selanjutnya para senior itu akan mengirimkannya ke media massa dengan nama dan jabatan mereka. Kalau artikel itu dimuat, senior yang hanya setor nama di artikel itu akan mengisi saldo rekening kami. Lumayanlah buat sehari-dua hari hidup di Jakarta. Dan kalau ada dari kami yang tak bisa menulis, dia akan meminta juniornya di Jogja yang bisa menulis untuk mengerjakannya.

Di kantor departemen yang lebih mirip penampungan kaum palugada itu, kami jadi apa saja dan kerja apa saja sesuai perintah para senior. Yang penting bibir terus mengepul dan perut tak berkeroncong.

Staf dicinta, panggilan pun tiba. Akhirnya, Cak Dalimun, wakil rakyat di Senayan sekaligus seniorku, memintaku bekerja kepadanya. Sejak itu pula Kang Marijo meminta beberapa persen gajiku untuknya. Aku setor saja karena berkat dialah aku di Jakarta hingga aku dapat kerja yang membanggakanku di hadapan keluarga dan para juniorku di Jogja.

Baca Juga :  Aku Merindukan Bunyi Klakson Kapal Itu

Awalnya kerjaku membawakan tas bosku. Setelah itu aku membuat dan mengarsipkan surat-surat yang keluar masuk. Aku juga mengatur jadwalnya. Tapi, lama-lama, tugasku lebih dari itu.

Cak Dal, begitu aku memanggilnya, kadang menyuruhku mengambil uang di bapak ini atau di ibu itu, di istansi ini atau di perusahaan itu. Untuk urusan uang, senior yang satu ini lebih sering bertemu langsung denganku. Kalaupun via telepon atau pesan singkat, dia pakai kode yang saat bertemu sebelumnya telah kami sepakati.

Misalnya, ”Ambilkan tiga kresek pisang di Pasar Pisangan, ya!” Kresek bermakna ratus, pisang berarti juta, dan nama pasar mengarah pada lokasi dekat rumah orang yang harus kutuju. Kalau miliar, dia akan menyebut kardus. ”Din, ambil dua kardus apel di Pasar Pamulang sekarang!” Begitu perintahnya suatu ketika. Tapi kalau berupa dolar, dia akan menyebut negara atau kota tertentu sesuai asal mata uang yang akan kuambil. Jeruk singapura, misalnya, atau pepaya california.

Cak Dal baik, dia sering memberiku bonus di luar gajiku. Dengan semua itu aku bisa mengirim uang bulanan lebih untuk ibu di kampung juga dua adikku di pesantren. Sejak bapak tak ada dan ibu makin sepuh, akulah penyangga tiang-tiang ekonomi keluarga kami.

Karier politik Cak Dal moncer. Setelah belasan tahun menjadi wakil rakyat di Senayan, dia diangkat jadi menteri. Ketua partai mengajukan namanya ke presiden karena, kabarnya, juraganku ini paling mahir mencari uang untuk partai. Walau akulah yang sebenarnya bergerilya di lapangan. Tapi aku bersyukur, dari sanalah aku punya banyak pengalaman dan banyak kenalan, tentu juga proyekan.

Aku pun makin sibuk karena sejak Cak Dal jadi menteri aku makin sering diminta mendatangi bapak ini dan ibu itu, instansi ini dan instansi itu, perusahaan ini dan perusahaan itu.

Aku juga sering turun ke berbagai provinsi, berbagai kota dan kabupaten, untuk mengawal program-program kementerian sekaligus menjemput setoran pejabat-pejabat lokal yang ingin naik pangkat. Dari program dan setoran itu, aku tetap punya kebiasaan menyimpan uang sisa acara, atau kupaksa agar bersisa.

Uang itu tak hanya kubelikan Pajero Sport dan rumah di pinggiran Jakarta, tapi juga kusimpan. Simpananku, tapi ssssttt! tolong jangan bilang siapa-siapa, baru 17-an miliar. Masih sedikit karena uang ini akan kupakai mencalonkan diri sebagai calon bupati di daerahku akhir 2024 nanti.

Aku butuh lebih banyak lagi untuk membeli suara agar aku terpilih. Karena itu, akhir-akhir ini aku sering bertemu dengan para taipan. Kalau tak bertambah, uang segitu hanya cukup untuk nyalon kepala desa. Maaf, ini bukan kelasku, tapi mungkin kelasmu!

Cak Dal terkena operasi tangkap tangan. Untunglah aku lolos, setidaknya sementara ini, namaku tak disebut-sebut dalam konferensi pers pada setiap pemberitaan kasusnya.

Kesalahan Cak Dal satu, dia terlalu percaya kepadaku, padahal dalam setiap operasi aku selalu sigap membersihkan jejakku. Tapi aku tetap waspada kalau-kalau ada orang lain (tepatnya kawan-kawanku sendiri di ”Departemen Keluh Kesah” yang sejak dulu ingin berada di posisiku), mengorek-ngorek bukti keterlibatanku.

***

Kekhusyukanku bersalawat qiyam buyar oleh rangkulan kuat dari belakang. Belum sempat kubalikkan badan, tiba-tiba sudah ada tangan yang menggenggam tanganku, memutarnya ke belakang, lalu krak! Kurasakan benda kecil tapi keras melingkar terpasang di pergelangan tangan. Ternyata, sejak awal salawatan, aku dalam kepungan.

Sebagaimana ribuan hadirin yang bertanya-tanya malam itu, kau tak perlu ikut bertanya-tanya siapa mereka serta ke mana mereka menggiringku. Kau pasti mengira aku dibawa ke gedung di mana para wartawan sudah berkerumun dan secepatnya mengirimkan informasi tentangku ke seluruh penjuru tanah air.

Namun rupanya mobil yang membawaku bukanlah menuju gedung itu. Mereka justru membawaku ke satu tempat yang tak bisa kuceritakan di sini kepadamu. Dengan syarat-syarat tertentu, mereka menjamin akan menyelamatkanku, bahkan akan memfasilitasi dan mengamankan pencalonanku. (*)

AHMADUL FAQIH MAHFUDZ, Lahir dan bermukim di Dusun Sumberwangi, Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali

Jarum Jaran Jamudin

Oleh: AHMADUL FAQIH MAHFUDZ

Ya Rabbi shalli ’ala Muhammad

Ya Rabbi shalli ’alayhi wa sallim

Ya Rabbi ballighul wasilah

Ya Rabbi khusshahu bil fadilah

Ya Rabbi shalli ’ala Muhammad

Ya Rabbi shalli ’alayhi wa sallim

Salawat Ad-Diba’i mengalun rancak dan menggema di sekujur kompleks pesantren. Santri-santri melagukan dan mengiringinya dengan tabuhan rebana. Duh, suara itu, irama itu, salawat itu, mengingatkanku pada mangga kiai di depan kamarku, pada masa-masa aku nyantri dulu. Saat itu pula, bersamaan dengan lirik …ya Rabbi shalli ’ala Muhammad… …ya Rabbi wagfir li kulli mudznib… melintas dalam batinku wajah juga suara dan pesan ibu bertahun-tahun lalu.

Kuhalau semua itu. Kucoba masuk kembali ke dalam kekhusyukan, menyatu dengan madah teruntuk Rasul pujaan, ketika pelantun mengajak hadirin berdiri ber-mahallul qiyam.

Ya Nabi salam ’alayka

Ya Rasul salam ’alayka

Ya Habib salam ’alayka

Shalawatullah ’alayka

Hari ini pengajian Maulid Nabi sekaligus reuni alumni. Aku sudah di lokasi acara yang dihadiri ribuan santri dan alumni pesantren tempatku dulu belajar ini. Dua minggu lalu aku mengirim uang ke Kang Syukri, santri senior yang kini jadi ustad dan ketua panitia, agar dia membelikanku sepuluh ekor sapi juga kebutuhan lain untuk acara tahunan ini. Aku tinggalkan Jakarta sejenak meski setelah acara aku harus kembali untuk menemui beberapa pengusaha migas demi membahas strategi pemenanganku nanti.

Alhamdulillah, aku bisa datang ke perayaan ini lagi. Terkenang masa kanakku dulu aku dan kawan-kawan sepermainan sering berebut berkatan saat para tetua menyelenggarakan maulidan di surau kampung kami. Para pemuda menyiapkan ancak berisi bebuahan.

Telur-telur ayam rebus mereka tusuk dengan tusuk sate yang ujungnya diberi pita atau kertas warna-warni, lalu mereka tancapkan di batang-batang pohon pisang yang sudah dihias. Ibu dan kaum perempuan menyiapkan aneka jajanan seperti nagasari, serabi, dan bikang. Aduhai, aroma tepung juga gula dan santan serta adonan lain dalam kukusan dan cetakan, terhidu dalam-dalam, menghangat kenangan dalam ingatan.

 

***

”Kalau di pesantren kau mencuri jarum, saat boyong nanti kau akan mencuri jaran.”

Ibu mewanti-wanti ketika melepasku di gerbang pesantren pagi itu. Kalimat itu, juga suara dan wajah ibu, melintas dalam batinku meski 26 tahun berlalu. Ah, andai saja kupegang pesanmu, Ibu.

Aku yang di masa kanak dulu tiap magrib berangkat ke surau Guru Idris untuk mendaras Quran, saban sore pergi ke madrasah Ustad Hamdani untuk belajar ilmu wudu dan sembahyang, lalu enam tahun jadi santri di pesantren Kiai Tamam, kini aku justru sesak dalam lapang serta gelap dalam terang.

Ingatan melemparku ke masa silam. Saat di pesantren aku pernah memakai uang organisasi murid intramadrasah, namun tak sempat kukembalikan. Hanya tujuh puluh ribu rupiah, lalu yang kedua dan ketiga menanjak tiga ratus dan lima ratus ribu. Awalnya kuberikan uang itu kepada Saiful dan beberapa kawan santri yang kelaparan karena telat kiriman dari orang tuanya.

Aku tak pernah memberi tahu mereka itu uang apa, milik siapa, dan dari mana. Tapi lama-lama, uang organisasi pelajar di pesantren kami itu kupakai sendiri, kupakai beli buku-buku ketika beberapa penerbit di Jogja membuka bazar di pesantren kami.

Pernah pula kupetik mangga kiai yang bergelantung matang di depan kamar, yang kepada kami seakan melambai-lambai. ”Ilmunya saja kiai ikhlaskan, masak mangganya tidak?” ucap Riswan, kawan sekamarku yang mengawali makan buah ranum itu. Meski ragu, tapi mau, aku pun mengikuti bujukannya. Ah, Riswan, terakhir menghubungiku dia berkabar, kini dia jadi mandor perusahaan batu bara di Kalimantan milik seorang jenderal purnawirawan.

Lulus madrasah aliyah di pesantren aku kuliah ke Jogja. Sejak masa orientasi pengenalan kampus, banyak kakak kelas membujukku masuk organisasi gerakan mahasiswa yang mereka ikuti. Karena butuh teman dan pengalaman, aku pun ikut pelatihan dasar bagi anggota baru organisasi itu. Tahun-tahun pertama kulalui hari-hari penuh diskusi dan demonstrasi.

Dari diskusi-diskusi itu pula kami melakukan pembacaan kritis yang hasilnya kami jadikan tuntutan saat berunjuk rasa. Unjuk rasa itu awalnya di dalam kampus, pindah ke bundaran di jalan utama depan kampus, lalu ke gedung DPRD provinsi dan gubernuran hingga ke perempatan Titik Nol Kilometer Malioboro. Ya, titik yang biasanya kaupilih untuk ber-selfie ria, dengan latar gedung BNI peninggalan kolonial Belanda, saat kau berlibur ke Jogja.

Baca Juga :  Dini Beribu Ular

Semuanya wajar-wajar saja sampai masuk tahun kedua. Aku dan kawan-kawan seangkatanku harus menjadi panitia orientasi studi dan pengenalan kampus. Pada saat yang sama, di organisasi gerakan kemahasiswaan yang kami ikuti, kami dapat giliran jadi panitia penerimaan anggota baru.

Orientasi kampus dibiayai dengan uang kampus. Latihan kader baru organisasi dibiayai dari mana-mana. Pelan-pelan aku tahu, yang dimaksud ”dari mana-mana” ternyata tak hanya dari alumni organisasi kami, tapi juga dari uang orientasi kampus yang harus kami simpankan khusus untuk acara itu. Dengan petunjuk para senior yang terhormat, kami pun beraksi. Toh ini pemberdayaan mahasiswa juga, bukan untukku pribadi.

Saat itu, kami amankan empat juta rupiah. Tentu saja kami menggelembungkan harga atau biaya dalam laporan pertanggungjawaban. Kami minta nota kosong setiap membeli atau membayar berbagai kebutuhan.

Aku terus aktif di organisasi gerakan mahasiswa hingga aku mencalonkan diri sebagai ketua umumnya di tingkat kepengurusan cabang. Aku kalah. Sainganku, Darman, kawan seangkatanku yang menang. Karena dia bermodal uang, sedangkan aku hanya bermodal visi-misi.

Sebelum dan setelah menang, Darman mentraktir orang-orang berpengaruh di organisasi kami di satu diskotek terkenal di Jalan Magelang. Kemudian aku banting setir mencalonkan diri sebagai presiden badan eksekutif mahasiswa di kampus. Aku menang karena modalku tak lagi sekadar visi-misi.

 

Di momen ini aku belajar trik pemenangan, lebih tepatnya trik kecurangan. Teman-temanku memilok tembok-tembok kampus dengan ujaran kebencian terhadapku. ”Jamudin anjing!”; ”Jamudin aktivis bayaran!”; ”Gerakan Mahasiswa, Yes! Jamudin, No!”; ”Jamudin aktivis eceran!” atau ”Jamudin budak rektorat!” Semua itu mereka lakukan agar para mahasiswa calon pemilih menduga pesaingkulah dalang vandalisme itu. Aku menang. Tentu saja kupakai juga cara Darman.

Aku mulai sibuk dan jaringanku makin luas sejak menjabat presiden mahasiswa. Kebiasaanku menyimpan sisa uang acara masih kuterapkan. Bedanya, kini tak hanya buat organisasi, tapi aku juga memakainya untuk keperluanku sendiri dan untuk membayari biaya nongkrong teman-teman yang dulu memenangkanku.

Aku juga sering dapat transferan untuk demonstrasi yang kugelar. ”Uang lelah buat ngopi-ngopi,” kata pengirimnya. Uang itu ternyata bisa kubuat beli motor dan liburan ke Bali.

Tuntas jabatanku di kampus, aku lulus kuliah meski nilaiku pas-pasan. Kang Marijo mengajakku ke Jakarta. ”Karena kau tak bisa menjual nasab, kau harus ke Jakarta untuk memperbaiki nasib,” ucap seniorku di organisasi gerakan mahasiswa itu saat kereta kami sampai di Stasiun Pasar Senen. Kang Marijo membawaku ke kantor Departemen Kemakmuran Keluarga milik satu organisasi kemasyarakatan yang oleh kawan-kawan dipelesetkan jadi Departemen Keluh Kesah.

Di sini banyak sarjana muda dari berbagai kota dan kabupaten yang seorganisasi mahasiswa denganku, yang sama-sama berkeluh kesah menunggu remah-remah proyek dari para senior kami di berbagai instansi negara.

 

Bila nasib mujur, kami akan ditarik sebagai pegawai kontrak di kementerian tertentu atau jadi staf atau tenaga ahli di Senayan. Tapi bila lacur, kami akan bekerja sebagai palugada, apa yang lu mau gue ada. Kadang kami jadi penulis pesanan untuk senior-senior yang juga politikus itu.

Tulisan-tulisan itu kami kirim ke mereka, selanjutnya para senior itu akan mengirimkannya ke media massa dengan nama dan jabatan mereka. Kalau artikel itu dimuat, senior yang hanya setor nama di artikel itu akan mengisi saldo rekening kami. Lumayanlah buat sehari-dua hari hidup di Jakarta. Dan kalau ada dari kami yang tak bisa menulis, dia akan meminta juniornya di Jogja yang bisa menulis untuk mengerjakannya.

Di kantor departemen yang lebih mirip penampungan kaum palugada itu, kami jadi apa saja dan kerja apa saja sesuai perintah para senior. Yang penting bibir terus mengepul dan perut tak berkeroncong.

Staf dicinta, panggilan pun tiba. Akhirnya, Cak Dalimun, wakil rakyat di Senayan sekaligus seniorku, memintaku bekerja kepadanya. Sejak itu pula Kang Marijo meminta beberapa persen gajiku untuknya. Aku setor saja karena berkat dialah aku di Jakarta hingga aku dapat kerja yang membanggakanku di hadapan keluarga dan para juniorku di Jogja.

Baca Juga :  Aku Merindukan Bunyi Klakson Kapal Itu

Awalnya kerjaku membawakan tas bosku. Setelah itu aku membuat dan mengarsipkan surat-surat yang keluar masuk. Aku juga mengatur jadwalnya. Tapi, lama-lama, tugasku lebih dari itu.

Cak Dal, begitu aku memanggilnya, kadang menyuruhku mengambil uang di bapak ini atau di ibu itu, di istansi ini atau di perusahaan itu. Untuk urusan uang, senior yang satu ini lebih sering bertemu langsung denganku. Kalaupun via telepon atau pesan singkat, dia pakai kode yang saat bertemu sebelumnya telah kami sepakati.

Misalnya, ”Ambilkan tiga kresek pisang di Pasar Pisangan, ya!” Kresek bermakna ratus, pisang berarti juta, dan nama pasar mengarah pada lokasi dekat rumah orang yang harus kutuju. Kalau miliar, dia akan menyebut kardus. ”Din, ambil dua kardus apel di Pasar Pamulang sekarang!” Begitu perintahnya suatu ketika. Tapi kalau berupa dolar, dia akan menyebut negara atau kota tertentu sesuai asal mata uang yang akan kuambil. Jeruk singapura, misalnya, atau pepaya california.

Cak Dal baik, dia sering memberiku bonus di luar gajiku. Dengan semua itu aku bisa mengirim uang bulanan lebih untuk ibu di kampung juga dua adikku di pesantren. Sejak bapak tak ada dan ibu makin sepuh, akulah penyangga tiang-tiang ekonomi keluarga kami.

Karier politik Cak Dal moncer. Setelah belasan tahun menjadi wakil rakyat di Senayan, dia diangkat jadi menteri. Ketua partai mengajukan namanya ke presiden karena, kabarnya, juraganku ini paling mahir mencari uang untuk partai. Walau akulah yang sebenarnya bergerilya di lapangan. Tapi aku bersyukur, dari sanalah aku punya banyak pengalaman dan banyak kenalan, tentu juga proyekan.

Aku pun makin sibuk karena sejak Cak Dal jadi menteri aku makin sering diminta mendatangi bapak ini dan ibu itu, instansi ini dan instansi itu, perusahaan ini dan perusahaan itu.

Aku juga sering turun ke berbagai provinsi, berbagai kota dan kabupaten, untuk mengawal program-program kementerian sekaligus menjemput setoran pejabat-pejabat lokal yang ingin naik pangkat. Dari program dan setoran itu, aku tetap punya kebiasaan menyimpan uang sisa acara, atau kupaksa agar bersisa.

Uang itu tak hanya kubelikan Pajero Sport dan rumah di pinggiran Jakarta, tapi juga kusimpan. Simpananku, tapi ssssttt! tolong jangan bilang siapa-siapa, baru 17-an miliar. Masih sedikit karena uang ini akan kupakai mencalonkan diri sebagai calon bupati di daerahku akhir 2024 nanti.

Aku butuh lebih banyak lagi untuk membeli suara agar aku terpilih. Karena itu, akhir-akhir ini aku sering bertemu dengan para taipan. Kalau tak bertambah, uang segitu hanya cukup untuk nyalon kepala desa. Maaf, ini bukan kelasku, tapi mungkin kelasmu!

Cak Dal terkena operasi tangkap tangan. Untunglah aku lolos, setidaknya sementara ini, namaku tak disebut-sebut dalam konferensi pers pada setiap pemberitaan kasusnya.

Kesalahan Cak Dal satu, dia terlalu percaya kepadaku, padahal dalam setiap operasi aku selalu sigap membersihkan jejakku. Tapi aku tetap waspada kalau-kalau ada orang lain (tepatnya kawan-kawanku sendiri di ”Departemen Keluh Kesah” yang sejak dulu ingin berada di posisiku), mengorek-ngorek bukti keterlibatanku.

***

Kekhusyukanku bersalawat qiyam buyar oleh rangkulan kuat dari belakang. Belum sempat kubalikkan badan, tiba-tiba sudah ada tangan yang menggenggam tanganku, memutarnya ke belakang, lalu krak! Kurasakan benda kecil tapi keras melingkar terpasang di pergelangan tangan. Ternyata, sejak awal salawatan, aku dalam kepungan.

Sebagaimana ribuan hadirin yang bertanya-tanya malam itu, kau tak perlu ikut bertanya-tanya siapa mereka serta ke mana mereka menggiringku. Kau pasti mengira aku dibawa ke gedung di mana para wartawan sudah berkerumun dan secepatnya mengirimkan informasi tentangku ke seluruh penjuru tanah air.

Namun rupanya mobil yang membawaku bukanlah menuju gedung itu. Mereka justru membawaku ke satu tempat yang tak bisa kuceritakan di sini kepadamu. Dengan syarat-syarat tertentu, mereka menjamin akan menyelamatkanku, bahkan akan memfasilitasi dan mengamankan pencalonanku. (*)

AHMADUL FAQIH MAHFUDZ, Lahir dan bermukim di Dusun Sumberwangi, Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali

Terpopuler

Artikel Terbaru