28.4 C
Jakarta
Sunday, December 8, 2024

Dini Beribu Ular

Oleh FARIZAL SIKUMBANG

”Ibuku ular, ibuku ular…” teriak Dini berlari menghambur ke luar kelas. Seisi ruangan riuh. Ada yang tertawa terbahak. Tapi, ada juga yang diam saja. Aku lantas memasang wajah tajam dan memandangi murid-muridku itu. Berharap situasi kelas dapat kukontrol dengan ketenangan.

SIAPA tadi yang membuat ulah?” ujarku kemudian.

Tidak ada yang menyahut. Semua murid terdiam sembari menundukkan wajah dengan kecemasan. Tidak lama berselang, aku bangkit dari kursi dan bergegas ke luar kelas mengejar Dini. Aku takut sesuatu yang buruk menimpanya. Semisal ia lari ke luar pekarangan sekolah dan kemudian sebuah kendaraan menabraknya. Atau seseorang yang jahat akan memanfaatkan kesedihannya dan menculiknya. Bukankah kasus-kasus seperti ini jamak terjadi di tingkat sekolah dasar?

Namun, rasa waswasku begitu saja lenyap saat aku menemukan Dini sedang menangis di belakang kelas. Ia masih menangis sesenggukan. Ingus keluar hidung dan bercampur dengan linangan air matanya. Ia memalingkan wajah ketika aku berada tepat di hadapannya. Ia terus menangis.

”Kau tidak boleh begini, ibu guru sangat cemas padamu,” ujarku pelan.

Dini masih terus menangis.

Aku lalu memegang kedua tangannya yang terasa masih mungil. Berusaha agar kami dapat saling berpandangan. Berharap agar hatinya dapat kukuasai. Tapi, ia menekukkan wajah ke tanah.

”Kamu tidak usah pedulikan ucapan temanmu. Mereka hanya bercanda,” kataku lagi.

”Tidak bu guru, mereka memang benar. Ibuku memang ular. Aku hanya ingat ayah di rumah. Mungkin ayah sedang menahan kesakitan karena digigit ibu,” katanya terbata-bata di antara isak tangisnya.

”Ibumu bukan ular. Masak ibumu ular. Ibumu pasti perempuan manis. Karena kamu terlihat manis,” bujukku lagi.

”Ibu guru tidak paham. Ibuku memang ular.”

Aku sedikit putus asa pada keteguhannya.

”Begini saja,” kataku lagi. ”Ibu guru ingin tahu siapa yang pertama kali mengatakan ibumu ular. Nanti biar ibu hukum dia. Ibu guru jewer kupingnya,” bujukku.

Dini menggelengkan kepalanya di antara isak tangisnya yang belum berhenti.

”Tidak bu guru. Aku tak perlu kasih tahu. Ia benar. Ibuku memang ular.”

”Apakah Hasan yang berkata begitu?” tanyaku.

Dini tidak menjawab.

”Rudi?”

Dini belum juga menjawab.

”Atau Tono, ya,” kataku.

”Tidak bu guru. Aku tidak marah pada kawan-kawan di kelas. Aku hanya marah pada ibuku karena ia memang ular.”

Kali ini aku yang terdiam. Aku menatap wajahnya dalam-dalam. Bagaimana bisa anak 12 tahun yang harus menanggung beban dan menderita akibat polah orang tuanya, tanyaku di kepala.

****

Dini adalah salah satu muridku yang duduk di bangku kelas enam sekolah dasar di kotaku. Aku adalah guru kelasnya. Sebelumnya, aku memang belum pernah mengajarnya di kelas. Tapi, kabar yang kudapat dari guru-guru yang pernah mengajarnya mengatakan jika sejak duduk di bangku kelas tiga, Dini mulai mengalami perubahan perilaku dan degradasi nilai mata pelajaran hampir di semua bidang studi.

Ketika duduk di bangku kelas satu dan kelas dua, ia selalu mendapat peringkat dua. Ia cerdas dan mampu menyelesaikan setiap tugas yang diberikan guru. Di ruang kelas, ia selalu ceria bersama teman-temannya. Bahkan di kelas dua dia adalah seorang ketua kelas. Namun, perubahan drastis terjadi di semester kedua kelas tiga.

Ia mulai sering terlihat murung dan sering alpa ke sekolah. Beberapa tugas sekolah kerap tidak ia kerjakan. Sehingga nilai akademiknya turun drastis. Bahkan, sewaktu penilaian kenaikan ke kelas lima, ia hampir tidak naik kelas jika beberapa guru tidak mempertimbangkannya pada rapat kenaikan kelas.

****

Satu minggu setelah kejadian Dini kabur dari ruang kelas itu, ia mulai sering tidak datang ke sekolah. Dalam seminggu, ia hanya hadir dua atau tiga kali. Pernah ketika ia masuk, kutanya perihal tak sekolah, Dini hanya diam. Aku tidak bisa memaksanya untuk menjawab pertanyaanku karena aku cemas sesuatu terjadi padanya. Semisal, ia tiba-tiba saja menangis dan tidak mau belajar selamanya. Aku juga memperhatikan kondisi tubuhnya yang kian hari kian kurus. Sungguh, aku menjadi kasihan padanya.

Suatu ketika Melati, muridku yang duduk di belakang Dini, berbincang denganku soal Dini. Kebetulan mereka tetangga dekat.

Baca Juga :  Namamu Rahwana

”Ibu Dini memang aneh,” kata Melati. ”Ibu Dini suka teriak-teriak dan marah-marah pada ayah Dini. Para tetangga bingung melihat ibu Dini yang sering bersuara keras ketika bertengkar dengan ayah Dini. Tampaknya ibu Dini suka bersuara tinggi, ya bu guru.”

”Terus…” kataku dengan harapan Melati dapat memberikan informasi selanjutnya.

”Ya, paling-paling ayahku yang menjumpai ibu Dini dan menasihatinya agar jangan bertengkar. Karena ayahku ketua RT.”

”Oooo. Lalu ayah Dini?” tanyaku.

”Ya, biasanya kabur. Ayah Dini sering pergi jika ibu Dini tiba-tiba bersuara tinggi.”

”Kamu kok tahu?”

”Semua tetangga tahu hal itu. Kan bertengkarnya hampir tiap hari.”

”Jadi, kamu tahu siapa yang pertama kali menjuluki ibu Dini adalah seekor ular?” tanyaku.

”Mmmm, itu saya tak tahu bu guru,” katanya, lalu menjauhiku.

Kalimat-kalimat yang disampaikan Melati soal ayah dan ibu Dini itu sungguh tak bisa lepas dari pikiranku selama berhari-hari.

Setelah berdiskusi dengan kepala sekolah perihal muridku yang bernama Dini, suatu hari aku mendatangi rumahnya. Kebetulan pada hari itu Dini memang tidak hadir ke sekolah.

Seperti petunjuk yang diberikan oleh beberapa guru kelas yang pernah mengajar Dini, akhirnya aku menemukan lokasi di mana Dini tinggal. Sebuah rumah yang berada di tengah-tengah area padat penduduk. Tepatnya di sebuah kompleks perumahan. Katanya rumah itu disewa orang tua Dini semenjak delapan tahun silam. Rumah itu berpagar beton dengan cat warna hijau. Satu-satunya rumah yang pagarnya seperti itu.

Setelah memarkirkan kendaraan roda duaku di depan rumah itu, aku lantas memasuki halaman rumah yang terlihat agak berantakan. Pot bunga tak terurus. Bahkan ada yang terbalik dengan tanah yang sudah tumpah. Beberapa pot plastik terdapat tanaman yang sudah layu dan nyaris mati, seperti sudah beberapa hari tidak disirami air.

Aku melihat pintu rumah itu terbuka. Tapi, tidak terdengar suara apa pun selain kesunyian.

Di saat tubuhku sudah sampai persis di depan pintu rumah itu, aku melihat Dini terduduk dengan muka suram dan rambut berantakan di dinding samping pintu. Ia melihat kehadiranku, tapi tidak menampakkan raut keterkejutan atau ketakutan. Pancaran wajahnya kosong.

Ia lantas berdiri tanpa beban dan menyalamiku.

”Bu guru mau menyelamatkan ayahku, ya?” ujarnya mengagetkanku.

”Memangnya ayahmu kenapa?” tanyaku sembari membungkukkan badan agar wajahku berada sejajar dengan wajahnya.

”Itu di dapur. Sedang membalut kulit lengannya karena digigit ibu,” jawab Dini.

Wajahku mengarah ke dapur. Tapi, tentu tidak menemukan siapa-siapa. Karena posisi dapur rumah Dini masih melingkar dan terhalang oleh beberapa dinding beton bercat putih.

”Bisa panggilkan ayahmu? Bu guru mau berjumpa dengannya.”

Dini melangkah ke dapur meninggalkanku di depan pintu rumahnya. Sesekali mataku mengarah ke dalam ruang tamu yang terlihat olehku kondisinya juga berantakan. Buku-buku atau kertas catatan terletak tak menentu. Beberapa pakaian tergeletak di kursi dan di meja kecil yang terbuat dari kayu.

Pikiranku terhenti pada kondisi ruangan itu ketika sesosok pria muncul seperti dari lorong yang gelap di rumah itu. Aku mencoba mengusap-usap dua mata. Sepertinya aku mengenalnya

”Ini ayah,” ujar Dini pelan.

Ayah Dini menatapku dengan keterkejutan pula. Tampaknya ia memahami keterkejutanku.

”Kamu guru kelas Dini?” tanyanya.

”Ya, jadi kamu ayah Dini?” tanyaku pula.

Ia mengangguk dengan pelan dan seperti ada beban berat di kepalanya. ”Dunia ini ternyata memang kecil,” ujarnya pelan dan tersenyum kecut.

Ia lalu mempersilakanku duduk di ruang tamu rumah itu. Ia seperti agak sungkan pada kondisi rumahnya sendiri. Atau ia malu karena baru tahu jika aku guru kelas Dini.

Selanjutnya, kami berbicara menyangkut Dini. Berikutnya, tentang dirinya sendiri. Tapi, tentang ini sesungguhnya aku tidak meminta ia menceritakan kisah rumah tangganya.

”Sebagai guru kelas, aku bertanggung jawab pada perkembangan pendidikan Dini di sekolah. Masalah kehadiran dan tentu kondisinya yang tidak stabil. Aku sebagai guru sangat prihatin pada pendidikannya di sekolah. Nilai Dini rendah. Ia tertinggal pelajaran karena sering alpa. Dini sudah kelas enam.

Baca Juga :  Sajak Artie Ahmad

Ia harus rajin belajar di sekolah. Mohon maaf, bukan aku ingin tahu keadaan rumah tanggamu. Tapi, kondisi Dini di sekolah seperti mencerminkan ayah dan ibunya tidak akur di rumah. Ia sepertinya tidak dekat dengan ibunya,” kataku.

Ia hanya menunduk selama aku bicara. Seperti aku melihat Dini yang rapuh dan putus asa di sekolah. Wajahnya suram. Dan matanya seperti kilauan kaca yang retak.

”Ibu guru jangan marahi ayah,” tiba-tiba Dini menyela dan duduk di sisi ayahnya. Tampak ia benar-benar menyayangi ayahnya.

”Tidak, ibu guru tidak memarahi ayah Dini. Kami hanya ingin kamu belajar yang rajin di sekolah.”

Dini terdiam dan menekukkan pula wajah ke bawah.

Pandanganku berkeliling ruangan itu. Mataku mengarah ke dinding kanan ruang tamu rumah itu. Di tempat sebuah bingkai foto wanita terpajang.

Ayah Dini seperti memahami pergerakan dua mataku. Ia kemudian berkata, ”Itu ibunya Dini.”

Aku mengangguk-angguk saja.

”Ibunya di mana?”

”Bekerja di sebuah kantor swasta.”

”Kamu?”

”Bu guru sudah mengenal ayahku,” sela Dini.

”Ya, dulu kami sama-sama satu kampus kuliahnya.”

”Oh ya, kamu kerja di mana?”

”Sudah hampir lima tahun tak kerja. Di-PHK karena perusahaan ingin merampingkan karyawan,” ujarnya.

Sebelum aku minta pamit meninggalkan rumah itu, beberapa kali aku menegaskan agar ayah dan ibunya lebih memperhatikan sekolah Dini. Ia berjanji padaku. Dini juga berjanji bersekolah sambil menganggukkan kepala.

****

Aku tidak tahu entah berapa waktu yang kuhabiskan di rumah Dini. Namun, yang pasti setelah pertemuan itu malamnya mataku sulit terpejam. Bukan memikirkan Dini, tetapi ayah Dini yang membuat masa laluku kembali menganga. Bagai kotak pandora terbuka sebab ditiup badai.

Ayah Dini adalah bekas kekasihku. Hubungan kami berakhir karena ia ingin mencari perempuan bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji besar. Alasannya cukup menjengkelkanku kala itu. Ia ingin jika suatu hari dirinya tidak bekerja entah kena pecat, kecelakaan kerja, atau hal buruk lainnya, istrinya bisa menggantikan posisinya menopang beban keluarga.

Dan menurutnya, kala itu gaji seorang guru tak seberapa. Aku katanya tidak akan sanggup mengambil posisi itu. Apalagi di saat kami masih berhubungan, aku masih berstatus guru honorer.

Keputusannya itu tentu membuatku membencinya sejadi-jadinya. Membuat hari-hariku terasa mati. Tapi, itu sekitar 15 tahun lalu. Seiring berjalannya waktu, aku memang tidak pernah lagi memikirkannya. Bahkan dalam perjumpaan yang tak terduga siang itu, perasaan iba dan kesedihan memuncak di kepalaku. Malamnya, aku berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak mengingat ayah Dini.

****

Ternyata benar, esok harinya Dini datang ke sekolah. Meski dengan semangat yang masih belum pulih, aku menyemangatinya. Memotivasi dirinya. Bahkan tanpa sepengetahuan Dini aku meminta kepada teman-teman sekelasnya agar membantu Dini menaikkan semangat. Seperti mengajak Dini bermain atau membantunya mengerjakan tugas.

Beberapa minggu berlalu, Dini pun mulai berubah. Ia tak pernah alpa sekolah dan mulai menunjukkan kepintarannya di kelas. Ia berhasil mengerjakan beberapa tugas matematika lebih cepat dari teman-temannya. Tentu aku gembira padanya.

Satu hari menjelang ujian semester satu, aku menemukan Dini sangat bahagia di kelas. Pancaran kebahagiaan yang rasanya belum pernah kulihat selama ini. Ia berlari-lari kecil di kelas dengan senyum mengambang pagi itu di waktu jam istirahat.

Aku menghampirinya.

”Tampaknya kamu bahagia sekali, Dini,” kataku.

”Ya, bu guru,” ujarnya.

”Kenapa?”

”Ayah sudah mendapatkan pekerjaan baru.”

”Oh ya.”

”Ya, bu guru.”

”Ibumu juga pasti senang.”

”Ibu?” katanya dengan raut wajah yang memikirkan sesuatu.

”Tidak, bu guru. Ibu dan ayah sudah berpisah. Mereka berdua sudah bercerai,” katanya polos.

Aku terkejut dan terdiam, sedangkan Dini kembali berlari-lari kecil penuh dengan kebahagiaan ke luar kelas. Aku terduduk di kursi kelas seorang diri. Tiba-tiba aku merasa sunyi. Sepi. Seperti diriku yang kini masih tetap sendiri.

Tiba-tiba wajah ayah Dini menghunjam ingatanku. (*)

Banda Aceh, 2023

FARIZAL SIKUMBANG, Lahir di Padang dan tinggal di Banda Aceh. Buku kumpulan cerpennya Kupu-Kupu Orang Mati (Basabasi, 2017) dan Mata Kuning Muda (Basabasi, 2022).

Oleh FARIZAL SIKUMBANG

”Ibuku ular, ibuku ular…” teriak Dini berlari menghambur ke luar kelas. Seisi ruangan riuh. Ada yang tertawa terbahak. Tapi, ada juga yang diam saja. Aku lantas memasang wajah tajam dan memandangi murid-muridku itu. Berharap situasi kelas dapat kukontrol dengan ketenangan.

SIAPA tadi yang membuat ulah?” ujarku kemudian.

Tidak ada yang menyahut. Semua murid terdiam sembari menundukkan wajah dengan kecemasan. Tidak lama berselang, aku bangkit dari kursi dan bergegas ke luar kelas mengejar Dini. Aku takut sesuatu yang buruk menimpanya. Semisal ia lari ke luar pekarangan sekolah dan kemudian sebuah kendaraan menabraknya. Atau seseorang yang jahat akan memanfaatkan kesedihannya dan menculiknya. Bukankah kasus-kasus seperti ini jamak terjadi di tingkat sekolah dasar?

Namun, rasa waswasku begitu saja lenyap saat aku menemukan Dini sedang menangis di belakang kelas. Ia masih menangis sesenggukan. Ingus keluar hidung dan bercampur dengan linangan air matanya. Ia memalingkan wajah ketika aku berada tepat di hadapannya. Ia terus menangis.

”Kau tidak boleh begini, ibu guru sangat cemas padamu,” ujarku pelan.

Dini masih terus menangis.

Aku lalu memegang kedua tangannya yang terasa masih mungil. Berusaha agar kami dapat saling berpandangan. Berharap agar hatinya dapat kukuasai. Tapi, ia menekukkan wajah ke tanah.

”Kamu tidak usah pedulikan ucapan temanmu. Mereka hanya bercanda,” kataku lagi.

”Tidak bu guru, mereka memang benar. Ibuku memang ular. Aku hanya ingat ayah di rumah. Mungkin ayah sedang menahan kesakitan karena digigit ibu,” katanya terbata-bata di antara isak tangisnya.

”Ibumu bukan ular. Masak ibumu ular. Ibumu pasti perempuan manis. Karena kamu terlihat manis,” bujukku lagi.

”Ibu guru tidak paham. Ibuku memang ular.”

Aku sedikit putus asa pada keteguhannya.

”Begini saja,” kataku lagi. ”Ibu guru ingin tahu siapa yang pertama kali mengatakan ibumu ular. Nanti biar ibu hukum dia. Ibu guru jewer kupingnya,” bujukku.

Dini menggelengkan kepalanya di antara isak tangisnya yang belum berhenti.

”Tidak bu guru. Aku tak perlu kasih tahu. Ia benar. Ibuku memang ular.”

”Apakah Hasan yang berkata begitu?” tanyaku.

Dini tidak menjawab.

”Rudi?”

Dini belum juga menjawab.

”Atau Tono, ya,” kataku.

”Tidak bu guru. Aku tidak marah pada kawan-kawan di kelas. Aku hanya marah pada ibuku karena ia memang ular.”

Kali ini aku yang terdiam. Aku menatap wajahnya dalam-dalam. Bagaimana bisa anak 12 tahun yang harus menanggung beban dan menderita akibat polah orang tuanya, tanyaku di kepala.

****

Dini adalah salah satu muridku yang duduk di bangku kelas enam sekolah dasar di kotaku. Aku adalah guru kelasnya. Sebelumnya, aku memang belum pernah mengajarnya di kelas. Tapi, kabar yang kudapat dari guru-guru yang pernah mengajarnya mengatakan jika sejak duduk di bangku kelas tiga, Dini mulai mengalami perubahan perilaku dan degradasi nilai mata pelajaran hampir di semua bidang studi.

Ketika duduk di bangku kelas satu dan kelas dua, ia selalu mendapat peringkat dua. Ia cerdas dan mampu menyelesaikan setiap tugas yang diberikan guru. Di ruang kelas, ia selalu ceria bersama teman-temannya. Bahkan di kelas dua dia adalah seorang ketua kelas. Namun, perubahan drastis terjadi di semester kedua kelas tiga.

Ia mulai sering terlihat murung dan sering alpa ke sekolah. Beberapa tugas sekolah kerap tidak ia kerjakan. Sehingga nilai akademiknya turun drastis. Bahkan, sewaktu penilaian kenaikan ke kelas lima, ia hampir tidak naik kelas jika beberapa guru tidak mempertimbangkannya pada rapat kenaikan kelas.

****

Satu minggu setelah kejadian Dini kabur dari ruang kelas itu, ia mulai sering tidak datang ke sekolah. Dalam seminggu, ia hanya hadir dua atau tiga kali. Pernah ketika ia masuk, kutanya perihal tak sekolah, Dini hanya diam. Aku tidak bisa memaksanya untuk menjawab pertanyaanku karena aku cemas sesuatu terjadi padanya. Semisal, ia tiba-tiba saja menangis dan tidak mau belajar selamanya. Aku juga memperhatikan kondisi tubuhnya yang kian hari kian kurus. Sungguh, aku menjadi kasihan padanya.

Suatu ketika Melati, muridku yang duduk di belakang Dini, berbincang denganku soal Dini. Kebetulan mereka tetangga dekat.

Baca Juga :  Namamu Rahwana

”Ibu Dini memang aneh,” kata Melati. ”Ibu Dini suka teriak-teriak dan marah-marah pada ayah Dini. Para tetangga bingung melihat ibu Dini yang sering bersuara keras ketika bertengkar dengan ayah Dini. Tampaknya ibu Dini suka bersuara tinggi, ya bu guru.”

”Terus…” kataku dengan harapan Melati dapat memberikan informasi selanjutnya.

”Ya, paling-paling ayahku yang menjumpai ibu Dini dan menasihatinya agar jangan bertengkar. Karena ayahku ketua RT.”

”Oooo. Lalu ayah Dini?” tanyaku.

”Ya, biasanya kabur. Ayah Dini sering pergi jika ibu Dini tiba-tiba bersuara tinggi.”

”Kamu kok tahu?”

”Semua tetangga tahu hal itu. Kan bertengkarnya hampir tiap hari.”

”Jadi, kamu tahu siapa yang pertama kali menjuluki ibu Dini adalah seekor ular?” tanyaku.

”Mmmm, itu saya tak tahu bu guru,” katanya, lalu menjauhiku.

Kalimat-kalimat yang disampaikan Melati soal ayah dan ibu Dini itu sungguh tak bisa lepas dari pikiranku selama berhari-hari.

Setelah berdiskusi dengan kepala sekolah perihal muridku yang bernama Dini, suatu hari aku mendatangi rumahnya. Kebetulan pada hari itu Dini memang tidak hadir ke sekolah.

Seperti petunjuk yang diberikan oleh beberapa guru kelas yang pernah mengajar Dini, akhirnya aku menemukan lokasi di mana Dini tinggal. Sebuah rumah yang berada di tengah-tengah area padat penduduk. Tepatnya di sebuah kompleks perumahan. Katanya rumah itu disewa orang tua Dini semenjak delapan tahun silam. Rumah itu berpagar beton dengan cat warna hijau. Satu-satunya rumah yang pagarnya seperti itu.

Setelah memarkirkan kendaraan roda duaku di depan rumah itu, aku lantas memasuki halaman rumah yang terlihat agak berantakan. Pot bunga tak terurus. Bahkan ada yang terbalik dengan tanah yang sudah tumpah. Beberapa pot plastik terdapat tanaman yang sudah layu dan nyaris mati, seperti sudah beberapa hari tidak disirami air.

Aku melihat pintu rumah itu terbuka. Tapi, tidak terdengar suara apa pun selain kesunyian.

Di saat tubuhku sudah sampai persis di depan pintu rumah itu, aku melihat Dini terduduk dengan muka suram dan rambut berantakan di dinding samping pintu. Ia melihat kehadiranku, tapi tidak menampakkan raut keterkejutan atau ketakutan. Pancaran wajahnya kosong.

Ia lantas berdiri tanpa beban dan menyalamiku.

”Bu guru mau menyelamatkan ayahku, ya?” ujarnya mengagetkanku.

”Memangnya ayahmu kenapa?” tanyaku sembari membungkukkan badan agar wajahku berada sejajar dengan wajahnya.

”Itu di dapur. Sedang membalut kulit lengannya karena digigit ibu,” jawab Dini.

Wajahku mengarah ke dapur. Tapi, tentu tidak menemukan siapa-siapa. Karena posisi dapur rumah Dini masih melingkar dan terhalang oleh beberapa dinding beton bercat putih.

”Bisa panggilkan ayahmu? Bu guru mau berjumpa dengannya.”

Dini melangkah ke dapur meninggalkanku di depan pintu rumahnya. Sesekali mataku mengarah ke dalam ruang tamu yang terlihat olehku kondisinya juga berantakan. Buku-buku atau kertas catatan terletak tak menentu. Beberapa pakaian tergeletak di kursi dan di meja kecil yang terbuat dari kayu.

Pikiranku terhenti pada kondisi ruangan itu ketika sesosok pria muncul seperti dari lorong yang gelap di rumah itu. Aku mencoba mengusap-usap dua mata. Sepertinya aku mengenalnya

”Ini ayah,” ujar Dini pelan.

Ayah Dini menatapku dengan keterkejutan pula. Tampaknya ia memahami keterkejutanku.

”Kamu guru kelas Dini?” tanyanya.

”Ya, jadi kamu ayah Dini?” tanyaku pula.

Ia mengangguk dengan pelan dan seperti ada beban berat di kepalanya. ”Dunia ini ternyata memang kecil,” ujarnya pelan dan tersenyum kecut.

Ia lalu mempersilakanku duduk di ruang tamu rumah itu. Ia seperti agak sungkan pada kondisi rumahnya sendiri. Atau ia malu karena baru tahu jika aku guru kelas Dini.

Selanjutnya, kami berbicara menyangkut Dini. Berikutnya, tentang dirinya sendiri. Tapi, tentang ini sesungguhnya aku tidak meminta ia menceritakan kisah rumah tangganya.

”Sebagai guru kelas, aku bertanggung jawab pada perkembangan pendidikan Dini di sekolah. Masalah kehadiran dan tentu kondisinya yang tidak stabil. Aku sebagai guru sangat prihatin pada pendidikannya di sekolah. Nilai Dini rendah. Ia tertinggal pelajaran karena sering alpa. Dini sudah kelas enam.

Baca Juga :  Sajak Artie Ahmad

Ia harus rajin belajar di sekolah. Mohon maaf, bukan aku ingin tahu keadaan rumah tanggamu. Tapi, kondisi Dini di sekolah seperti mencerminkan ayah dan ibunya tidak akur di rumah. Ia sepertinya tidak dekat dengan ibunya,” kataku.

Ia hanya menunduk selama aku bicara. Seperti aku melihat Dini yang rapuh dan putus asa di sekolah. Wajahnya suram. Dan matanya seperti kilauan kaca yang retak.

”Ibu guru jangan marahi ayah,” tiba-tiba Dini menyela dan duduk di sisi ayahnya. Tampak ia benar-benar menyayangi ayahnya.

”Tidak, ibu guru tidak memarahi ayah Dini. Kami hanya ingin kamu belajar yang rajin di sekolah.”

Dini terdiam dan menekukkan pula wajah ke bawah.

Pandanganku berkeliling ruangan itu. Mataku mengarah ke dinding kanan ruang tamu rumah itu. Di tempat sebuah bingkai foto wanita terpajang.

Ayah Dini seperti memahami pergerakan dua mataku. Ia kemudian berkata, ”Itu ibunya Dini.”

Aku mengangguk-angguk saja.

”Ibunya di mana?”

”Bekerja di sebuah kantor swasta.”

”Kamu?”

”Bu guru sudah mengenal ayahku,” sela Dini.

”Ya, dulu kami sama-sama satu kampus kuliahnya.”

”Oh ya, kamu kerja di mana?”

”Sudah hampir lima tahun tak kerja. Di-PHK karena perusahaan ingin merampingkan karyawan,” ujarnya.

Sebelum aku minta pamit meninggalkan rumah itu, beberapa kali aku menegaskan agar ayah dan ibunya lebih memperhatikan sekolah Dini. Ia berjanji padaku. Dini juga berjanji bersekolah sambil menganggukkan kepala.

****

Aku tidak tahu entah berapa waktu yang kuhabiskan di rumah Dini. Namun, yang pasti setelah pertemuan itu malamnya mataku sulit terpejam. Bukan memikirkan Dini, tetapi ayah Dini yang membuat masa laluku kembali menganga. Bagai kotak pandora terbuka sebab ditiup badai.

Ayah Dini adalah bekas kekasihku. Hubungan kami berakhir karena ia ingin mencari perempuan bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji besar. Alasannya cukup menjengkelkanku kala itu. Ia ingin jika suatu hari dirinya tidak bekerja entah kena pecat, kecelakaan kerja, atau hal buruk lainnya, istrinya bisa menggantikan posisinya menopang beban keluarga.

Dan menurutnya, kala itu gaji seorang guru tak seberapa. Aku katanya tidak akan sanggup mengambil posisi itu. Apalagi di saat kami masih berhubungan, aku masih berstatus guru honorer.

Keputusannya itu tentu membuatku membencinya sejadi-jadinya. Membuat hari-hariku terasa mati. Tapi, itu sekitar 15 tahun lalu. Seiring berjalannya waktu, aku memang tidak pernah lagi memikirkannya. Bahkan dalam perjumpaan yang tak terduga siang itu, perasaan iba dan kesedihan memuncak di kepalaku. Malamnya, aku berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak mengingat ayah Dini.

****

Ternyata benar, esok harinya Dini datang ke sekolah. Meski dengan semangat yang masih belum pulih, aku menyemangatinya. Memotivasi dirinya. Bahkan tanpa sepengetahuan Dini aku meminta kepada teman-teman sekelasnya agar membantu Dini menaikkan semangat. Seperti mengajak Dini bermain atau membantunya mengerjakan tugas.

Beberapa minggu berlalu, Dini pun mulai berubah. Ia tak pernah alpa sekolah dan mulai menunjukkan kepintarannya di kelas. Ia berhasil mengerjakan beberapa tugas matematika lebih cepat dari teman-temannya. Tentu aku gembira padanya.

Satu hari menjelang ujian semester satu, aku menemukan Dini sangat bahagia di kelas. Pancaran kebahagiaan yang rasanya belum pernah kulihat selama ini. Ia berlari-lari kecil di kelas dengan senyum mengambang pagi itu di waktu jam istirahat.

Aku menghampirinya.

”Tampaknya kamu bahagia sekali, Dini,” kataku.

”Ya, bu guru,” ujarnya.

”Kenapa?”

”Ayah sudah mendapatkan pekerjaan baru.”

”Oh ya.”

”Ya, bu guru.”

”Ibumu juga pasti senang.”

”Ibu?” katanya dengan raut wajah yang memikirkan sesuatu.

”Tidak, bu guru. Ibu dan ayah sudah berpisah. Mereka berdua sudah bercerai,” katanya polos.

Aku terkejut dan terdiam, sedangkan Dini kembali berlari-lari kecil penuh dengan kebahagiaan ke luar kelas. Aku terduduk di kursi kelas seorang diri. Tiba-tiba aku merasa sunyi. Sepi. Seperti diriku yang kini masih tetap sendiri.

Tiba-tiba wajah ayah Dini menghunjam ingatanku. (*)

Banda Aceh, 2023

FARIZAL SIKUMBANG, Lahir di Padang dan tinggal di Banda Aceh. Buku kumpulan cerpennya Kupu-Kupu Orang Mati (Basabasi, 2017) dan Mata Kuning Muda (Basabasi, 2022).

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru