Site icon Prokalteng

Memindahkan Kota dan Seisinya

Sastra Prokalteng

Ilustrasi. (foto: net)

KUPIKIR semua balita memang ratu di rumah masing-masing, bahkan di lingkungannya. Makan diambilkan, mandi dimandikan, keluar rumah disapa manis oleh rakyat tetangga, tangisannya seperti perintah, keinginannya mirip peraturan pemerintah, dan sakitnya, apabila sakit, layaknya surat perintah darurat militer untuk meninggalkan semua pekerjaan agar kita siaga di sisinya; mondar-mandir waspada mengokang senjata generik berupa doa, parasetamol, dan termometer tembak.

”Sepeda, otoped, lemari es, TV, lalu,” Ning berkata, berpikir, lalu, ”truk sampah, anjing berpita, tante penjual buah, bapak paket, burung, kupu-kupu…”
Belum selesai Ning bicara, istriku menyambar, menggendongnya, dan berkata sudah pukul sembilan.

Tidak ada waktu diskusi. Taksi menunggu. Di gendongan menuju lift, turun dari lantai tiga, Ning sempat-sempatnya meronta menambahkan daftar, ”Petugas kebersihan, sekuriti, lift, pintu kaca putar.” Di dalam kendaraan dia masih bicara, ”Taksi, sopirnya…”
Kami berdua mengiyakan.

Terus mengiyakan apa yang dia minta sepanjang perjalanan menuju laboratorium di pinggir kota, ”Pohon-pohon, tukang jajanan, bus, lampu, kamera lalu lintas,” ketika itu taksi berhenti di perempatan dan cahaya kamera, di atas plang sana, mengerjap silau seperti kilat ilahi menangkap gambar kendaraan yang melintas, lengkap dengan manusia bermasker di balik kemudinya, ”bunga-bunga, patung, tempat sampah, penyapu jalan…” Kemudian, dia tertidur.

Istriku menarik napas lega, tapi aku tidak.
Memandang suasana dari balik kaca, aku mulai berpikir keras. Bagaimana memenuhi janji pada sang ratu balita? Buat memasukkan semua permintaannya ke dalam koper TSA 28 inci, agar dia mau ikut penerbangan tanpa rewel, tanpa bikin masalah.

Aku masih logis dan bisa menghitung-hitung. Tak mungkin menekuk-nekuk tubuh sopir di depanku ke dalam dimensi 47, 32, dan 73 cm.Sekalipun sopir botak ini, tanpa kutahu ternyata bisa akrobat lipat tubuh, tetap sulit berbagi tempat dengan otoped merah, enam belas boneka kesayangan, apalagi dengan lemari es siemens dua pintu.

Koper tambahan? Situasi pandemi membuat seorang hanya boleh bawa satu bagasi nonkabin dengan 25 kg rute domestik, 32 kg rute internasional kelas ekonomi tanpa tambahan. Belum lagi syarat lain yang ribetnya minta ampun. Sementara, aku pun harus membawa Yu Hua, Mo Yan, Li Bai ke dalam koper satunya, maksudku karya-karya mereka. Nah, tiba-tiba aku dapat ide.
***
Pukul sebelas, kami kembali dari tes PCR. Tempatnya di laboratorium rumah sakit pinggir kota. Hanya di sana yang tersedia; berjarak 40 menit; masuk gerbang pindai kode kesehatan sebagaimana saat masuk taksi; saat semua bertanda sehat hijau dan lencana emas tanda sudah vaksin ganda maka boleh; saat masuk diantar penjaga ke arah lab yang sepi; petugas perempuan muncul; sampel di hidung diambil; tunjukkan paspor; bayar dengan pindai kode bar uang digital; selesai dan petugas bilang dalam bahasa Mandarin pukul tiga sore hasil akan disurelkan.

Sekarang masih ada empat jam sebelum harus ke bandara pukul tiga sore nanti. Permintaan Ning belum kuturuti.

Kondisi apartemen berantakan dengan barang-barang yang tampak tidak berguna bagi yang satu, tapi penting bagi yang lain.

Bagi istriku buku-buku fiksi itu harusnya tidak berguna karena aku sudah membacanya, sementara bagiku membawa alat rumah tangga ke dalam koper membuatnya mirip peserta audisi MasterChef, dan bagi anakku semua mainannya harus ikut pergi ke mana dia pergi.

Seakan boneka Tedy Bear, kereta Thomas, panda Baby Bus, dan boneka hiu martil itu sudah masuk ke dalam kartu keluarga kami secara resmi. Sekarang ditambah daftar panjang yang hampir mustahil.

Apa yang harus kulakukan? Istriku bisa terdiam saat kutunjukkan hasil pengadilan hakim timbangan digital bahwa berat koper mendekati batas maksimal. Anakku?
***
”Lihat, ayah punya pensil ajaib,” kataku pada Ning setelah dia bangun dan akhirnya aku berbohong. Pensil ”2B for computer” itu sebenarnya biasa saja dan mudah dibeli di toko alat tulis di seluruh dunia.

Hanya kuberi topi hitam penyihir kecil di atasnya, ”Ini bisa memindahkan benda di depannya ke dalam kertas ajaib,” dalam bentuk gambar (batinku) dan entah apa ajaibnya kertas kuarto, lalu, ”nanti ikut masuk ke dalam koper,” kalau hanya lembar kertas, mau satu rim juga tidak masalah (batinku lagi), lalu, ”mereka bisa ikut terbang bersama kita. Nanti kita keluarkan. Kita hidupkan kembali saat sampai nanti,” dalam bentuk imajinasi (batinku menghindari dosa). ”Kamu setuju? Akan berhenti merengek? Bagus. Anak baik.”
***
Lihat. Anakku sampai bersorak melihatku menggambar dengan kecepatan yang, kalau mau, sebenarnya bisa dipamerkan di YouTube.Cukup sekali melihat objek, aku bisa hafal. Seolah otakku memotretnya. Bukan karena genius, tapi karena menderita. Ketika kecil, aku hidup dalam penderitaan: nonton TV menumpang, dengar radio dari tetangga, dan melihat tempat wisata pun dari foto yang dipajang orang di ruang tamu mereka.

”Kurniawan, pulang!” Begitu suara bapakku menegur saat aku kecil menonton TV dari luar jendela depan ruang tamu tetangga, ”Bikin malu saja. Buang waktu. Belajar sana!”
Sejak itu, aku rajin berlatih mengulang kembali semua yang pernah kulihat ke dalam pikiranku.

Sambil terpejam, kuputar dalam kepala film komedi yang pernah kutonton dari TV, berita dunia, buku fiksi yang kubaca di perpus sekolah, musik dari radio, iklan pasta gigi dan senyum artisnya, lalu foto wisata milik tetangga.

Sulit tentu saja, awalnya. Namun, karena aku tidak punya banyak kesibukan, lama-lama otakku terbiasa.

Bahkan bisa mengulanginya lagi kapan pun aku mau. Seakan otakku, kalau pakai istilah zaman sekarang, bisa berubah menjadi pemutar MP4 dan MP3, bisa menulis cerita fiksi dengan algoritmanya sendiri, bisa menjadi photoshop yang mampu menambahkan diriku sendiri di dalam foto wisata milik tetangga, serta bisa membuatku merasakan apa yang mereka rasakan seolah akulah yang berpose di depan kalamakara candi itu.

Sekarang, di umur tiga dua, kemampuan semacam itu tinggal ampasnya. Lagi pula, kupikir memang tidak ada gunanya lagi.

Namun, hari ini bolehlah. Terbukti cukup membantu saat aku mesti memindahkan lemari es dua pintu, penjual buah, awan dan burung-burung yang melintas, serta sekarang bisa ditemukan sedang meminta sekuriti, dekat patung naga, berdiri 1/4 menit.

Agak kikuk lelaki berseragam hitam ini. Cara berdirinya militer sekali. Seolah aku sedang melukisnya dengan serius buat dipajang di museum. Kubilang padanya sudah cukup, aku bisa mengingatnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, dan sudah membuat sket kasarnya.

Enam menit, selesai seutuhnya. Dia ikut minta hasilnya. Anakku bilang tidak bisa karena harus dimasukan ke koper. ”Jangan ribut,” kataku, ”akan kubikin dua.”

Demikianlah, anakku tercatat dalam sejarah hidupnya pernah mendorong-dorong koper 28 inci ke sana kemari yang lebih besar dari dirinya yang berisi kertas-kertas bergambar.Sedangkan ayahnya, dengan mengabaikan rasa malu dan tertawanya orang, selalu serius mengatakan mantra palsu di dekatnya seolah penyihir abad pertengahan:
”Simsalabim benda ini pindah ke dalam kertas, si anu masuk ke dalam koper…”
Orang dan CCTV gedung mungkin menganggap aku sedang gila, tapi setelah mendekat mereka memuji kecepatanku, dan kukatakan pada mereka:
”Anakku tidak mau pergi dari kota ini tanpa membawa kalian semua. Dia sangat mencintai kalian.”

Mereka terharu, ingin memeluk anakku, dan mestinya memberi uang saku, tapi tidak. Mereka tidak marah saat kugambar demi anakku saja itu sudah lebih dari cukup. Apa masalah selesai? Tidak semudah itu.

Sang ratu balita merasa kami akan liburan musim panas atau sejenisnya, bukannya buat mudik menempuh 4.198 km karena kontrak kerja habis.

”Bagaimana menjelaskan apa itu mudik bagi balita yang belum tahu apa itu kampung halaman? Untung dia belum bisa bertanya misalnya: mengapa manusia harus memiliki kampung halaman? Apa ciri kampung halaman? Tempat ayah lahir? Bahasa sama? Atau tempat kakek dan nenek menghabiskan masa tua? Juga, apa itu kontrak kerja? Mengapa manusia harus mempekerjakan manusia lain? Ada yang jadi atasan, ada yang jadi bawahan. Bagaimana memberi tahu dia kalau hiu itu kejam, panda itu berkuku tajam, beruang itu seram, dan kereta tidak sebaik animasi Thomas soal tiket dan waktu?”

”Ya ampun, kamu lagi ngomong apa sih,” kata istriku menimpali, sesaat kemudian, ”dengar, Ning bahkan belum bisa membedakan waktu tadi dan waktu kemarin. Yang santai saja. Biar, biar dia tidur siang. Jangan diganggu. Itu selimutnya melorot. Surat vaksin sudah ada bahasa Inggris-nya? Bagus. Ini kumasukkan ke tas kecil. Di masa depan, bocah itu akan tahu kalau mainannya yang lucu dibuat oleh manusia lain yang bekerja keras, bahkan mungkin dibuat oleh anak-anak lain. Dia juga akan tahu bahkan manusia penyayang binatang pun tetap lahap makan ayam geprek, tanpa dosa menikmati mutilasi sate kambing, dan tanpa rasa bersalah memandang keluarga lele dibakar keji di pinggir jalan tanpa perlindungan hukum. Karena, bagi manusia, ayam dan kambing, apalagi lele, tidak lebih bos dari kucing dan dinosaurus, meski sama-sama binatang. Gimana lagi, dunia kita memang begitu. Tidak perlu dipikir. Nanti dia tahu sendiri. Yang paling penting sekarang, jangan sampai di detik-detik ini pesawat ke Shenzen dibatalkan lagi untuk kali ketiga, juga pesawat dari Shenzen ke Singapura. Bisa kacau semuanya. Topi pelindung udah? Masker dobel?”

”Sudah. Semuanya sudah. Kamu kangen makan sate dan pecel lele, ya? Analogimu itu, lho,” tanyaku meledek. Dia tertawa dan tambah manis saja.
***
”Jangan! Di koper itu ada kepala sopir taksi botak!” Ning menjerit dari balik masker saat koper mau ditimbang dan orang-orang menoleh curiga, dan petugas keamanan berlari sigap dengan senjata yang bukan termometer tembak.

Itu terjadi pukul setengah empat sore di bandara lokal. Sabtu terakhir di bulan Juni. Kasus virus sedang terkendali. Ketika itu, belum ada lonjakan kasus virus baru. Mendekati libur musim panas. Kami sudah menerima surel PCR negatif sebelum naik taksi.

Ketika turun dari taksi; pindai kode pelacakan depan pintu masuk terminal 3; biru tanda sehat dan tidak kontak dekat baru boleh masuk; barisan maksimal lima orang; seorang petugas perempuan memerika aplikasi pemantai, lalu menebah-nebah kertas kuning seperti membaca mantra ke koper kami yang berisi ringkasan alat-alat kehidupan; tiga polisi menjaga pita pembatas dan memastikan setiap orang menjaga jarak dengan berdiri pada gambar telapak kaki kuning.

Setelah pemeriksaan identitas, foto wajah, lalu barang bawaan, lalu saat memasukkan koper bagasi di konter maskapai itulah, anakku membuat orang curiga.

Petugas tiket memintaku pergi ke ruang pemeriksaan layaknya orang yang kopernya kena alarm merah.

”Mr Kurniawan?” tanya petugas lelaki dengan kereng saat memeriksa nama di komputernya, lalu menghadapku.”Ya,” kataku dalam bahasa Inggris dalam masker medis biru.”Buka!” perintahnya.

Aku membukanya dengan santai karena mustahil gambar-gambar itu benar-benar hidup kembali di dalam koper. Itu terlalu fiksi, pikirku. Ini hanya permainan imajinasi bersama anakku. Benar, lihat saja kalau tidak percaya, isinya tetap berupa mainannya, dan kertas-kertas bergambar kota dan seisinya.

”Kepala sopir taksi botak?” tanyanya.”Ini,” kutunjukkan gambar padanya di antara gambar manusia lain.Dia tetap menatap dengan serius. Kupikir dia terlalu serius dengan tugasnya atau tugasnya memang harus sangat serius.

”Buat apa?” tanyanya dari balik masker hitam.
”Anakku terlalu mencintai kota ini. Dia tidak mau pergi kecuali seluruh isinya ikut bersamanya. Jadi ini yang kulakukan. Kalau dia melihatmu, dia pasti ingin kami ikut serta bersama kami.””Aku lebih betah di sini,” jawabnya datar, sedatar alas segitiga sama sisi, lalu, ”benar hanya buat itu? Kenapa tidak difoto saja?”
Aku ingin menceritakan padanya tentang pensil ajaib dari ”2B for computer”, tetapi aku ragu apakah dia termasuk golongan yang menghargai imajinasi anak-anak atau bukan.
Daripada repot, akhirnya kukatakan, ”Ambil saja jika ragu-ragu. Sebentar lagi kami akan terbang. Anakku nanti akan lupa dan sudah berganti keinginan lain.”

Mungkin aku yang salah atau terlalu banyak bicara. Dia benar-benar mengambil semua gambar di kertas, memintaku menutup koper, kemudian saat aku kembali anakku masih menanyakan gambar-gambar itu.

”Tidak apa-apa, hanya dicek,” kataku pada Ning dengan bertekuk lutut seperti di hadapan ratu, dengan setengah berbisik dan setengahnya lagi berbohong, ”sopir taksi itu aman di sana bersama hiu martil, sekuriti, lampu lalu lintas, penjual buah, seluruh kota dan isinya. Mereka akan masuk ke perut pesawat lebih dulu, kemudian kita.” (*)
Xianyang, Juni 2021

(EKO TRIONO. Menulis kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (2016) dan Republik Rakyat Lucu (2018) serta novel Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-Masing (2018))(jpc/kpc)

Exit mobile version