28.4 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kebaya Merah di Tebing Kanal

Oleh MARTIN ALEIDA

Yang kucemaskan menemukan pembenaran di tepi kanal Flevo Ziekenhuis. Berulang kali. Tak terhitung. “Mas..,” bujuknya sendu. Suaranya gemetar terpantul dari jendela kaca.

MENENANGKAN hati, sebagaimana biasa, aku merapat ke punggungnya. Mengikuti ke mana arah nanap matanya. Menggamit, membelai pundaknya, untuk mendamaikan gedebur gelombang perasaan yang tak kuasa dia arungi.

“Lihat Mas,” telunjuk mengarah ke kanal di bawah sana. “Itu Ibu..,” katanya untuk kesekian ratus kali dalam sekian tahun, sejak kami mendamparkan diri di Belanda ini. Dia membujuk pandangan mataku untuk menyisir sepanjang tubir tebing yang lengang. “Mas, lihat… Ribuan kawan-kawan Ibu berjejer menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke pulau pembuangan. Menggunakan kapal perang. Ke mana lagi kalau bukan ke Buru… ”

Matanya nanar, tak bergeser dari tepi kanal. “Lihat,” sebagaimana sebuah rutinitas yang sudah menahun, dia merengkuh bahuku. Menunjuk dengan jari gemetar, ucapnya dengan lenguh napas yang berdesakan. “Itu tuh… Yang itu, Ibu,” deru suaranya sambil merapatkan kening ke kaca jendela.

“Ya, yang di tengah itu. Lihatlah. Yang kebayanya merah compang-camping. Cepat telepon, panggil polisi. Selamatkanlah Ibu, Mas! Ini kejahatan luar biasa di negara si penjajah ini.”

Lagi-lagi aku mengelak, walau tak mengucapkan barang sepatah kata pun. Dan tak bergerak memenuhi permintaan yang sudah tak terhitung berapa kali didesakkannya. Yang ditunjuknya di sepanjang kanal itu tak-lain-tak-bukan hanyalah tebing dengan pepohonan yang kesepian, sesekali diterpa riak yang keruh.

Kalau musim dingin, tepi kanal itu berselimut salju. Di musim seperti itu, bukan salju benar yang dia lihat. Bukan pepohonan yang berjejer membeku. Tetapi, ibunya. Mertuaku. Yang keberadaannya entah di mana di hamparan pulau, nun jauh di bawah sengat khatulistiwa.

Rubiah tak kuasa mengatasi gelombang yang berdesakan di dalam dirinya, menyusul runtuhnya Tembok Berlin. Terutama setelah mendapat kabar yang sangat terlambat, tentang gerombolan massa yang dibiarkan tentara untuk menyudahi hidup ayahnya.

Kabar itu terlambat. Terlalu terlambat tibanya di Berlin Timur, tempat aku bekerja sebagai koresponden. Pekerjaan yang harus kutinggalkan sebagai dampak tercerai-berainya satelit Uni Soviet. Terutama untuk menghindari pengejaran oleh kekuasaan baru di Indonesia, yang mengirimkan dinas intelijen militer ke seluruh daratan di bumi ini, untuk membuat semua pembangkang ‘orde baru’ berlutut. Yang menyebarkan pandemi kematian berdarah di seluruh negeri.

 

Kabar yang terlalu terlambat. Getir. Tambah meremukkan batin Rubiah. Begini bunyinya. Supaya tak merepotkan, tentara menunggu ibunya melahirkan lebih dulu, barulah dijemput dengan bedil. Digiring ke luar rumah. Bersama bayi di dalam dekapan, dengan tali pusat yang belum mengering, Ibu dihardik supaya mempercepat langkah naik ke dalam truk terbuka. Dia dilarikan, kemudian dijorokkan ke dalam penjara Bukit Duri.

Empat puluh hari kemudian, tante dari bayi perempuan itu dipaksa datang ke penjara untuk mengemong pulang keponakannya. Suka-atau-tidak si ibu harus diberangkatkan ke Plantungan. Si bayi disapih dari tetek suci yang menghidupinya. Ditinggalkan Ibunya, adik Rubiah paling bungsu itu terpaksa me-ngempeng pada tetek sapi yang datang dalam bentuk susu formula. Susu yang dibeli tantenya dengan mengutang atau bantuan sanak-saudara, yang mujur belum digerus oleh kekuasaan baru yang menyengsarakan.

Pulang ke negeri sendiri sudah menjadi angan-angan yang ujungnya sama dengan bunuh diri. Ibu Pertiwi sudah seperti negeri yang dikuasai jin. Tak siapa pun berani kembali, kecuali dalam angan-angan dengan bayang-bayang kengerian. Pikiran dan hati Rubiah rupanya tak kuasa menanggungkan guncangan yang meremukkan jiwanya.

Kenyataan lain yang dia hadapi adalah keharusan menyingkir dari rumah kami di Berlin Timur. Meninggalkan flat, dengan hati yang berat seperti ditindih batu, mencari negeri tempat berlindung, entah di mana di daratan Eropa ini

Sesungguhnya Rubiah merasa nyaman hidup bersamaku. Apartemen yang kami tempati cukup besar. Bukan bandingan dengan rumah kontrakan kami yang berdinding setengah papan separuh gedek di Paseban, Jakarta. Berada di sampingku, dia yang pernah belajar jurnalistik, dapat menyaksikan dari dekat bagaimana mengumpulkan bahan berita, menulis, dan mengirimkannya dengan jalan paling cepat ketika itu: mesin teleks.

Baca Juga :  Penyesalan Doa

Tembok Berlin sudah tumbang. Tak terhitung berapa orang yang tewas melompati tembok itu untuk mencari kebebasan nyata atau sekadar fatamorgana. Sekarang, sudah tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk menyeberang ke Barat. Aku tak tahu apa yang bergejolak di dalam dirinya. Rubiah menyetujui rencanaku, tanpa keragu-raguan barang sepatah kata pun.

Barangkali dia mengira, itu pilihan terbaik untuk pada akhirnya dapat bergabung dengan Ibunya di atas truk menuju tanah pembuangan. Atau menitipkan kembang di arus air Bengawan Solo, berenang-renang mengantarkan wewangian untuk Ayahnya di surga.

Kami menumpang kereta api. Turun di stasiun Zoologische Garten. Benar saja, sebagaimana yang diceritakan kawan-kawan dari Afrika, di stasiun itu tak ada pemerikasaan. Kami melenggang sambil berpegangan tangan. Layaknya pengantin yang sudah lama ditunggu-tunggu melintas.

Menginjakkan kaki di Barat, yang dulu kami cerca, Rubiah tak berubah. Namun, dia menunjukkan sikap yang tak terpikirkan. Dia selalu meneteskan air mata ke kursi angkutan umum bila kami harus berpindah alat angkutan. Tak mau duduk di kursi yang belum pernah dia tempati.

Tambah merepotkan, sebab setiap kami menginap di hotel, dia selalu mendesak agar bantal dibawa serta ketika check-out. Rubiah tak bisa tidur di bantal yang tak dikenalnya. Dia seperti mencium aroma kematian di bantal yang tak pernah menjadi tempat rebah kepalanya.

Jika ada kawan senasib, yang dengan senang hati mengajak menginap di rumah mereka, entah di Munich, entah di Frankfurt, entah di Köln, Rubiah menolak bantal tuan rumah. Diam-diam dia mengeluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya. Aku tak tahu di mana dia dapatkan sarung bantal itu. Hanya di atas sarung bantal itu dia sudi merebahkan kepala dan tidur pada malam-malam yang kami lewati sebelum menyeberang ke daratan baru.

Di Aachen, dengan mengendarai mobil, sekitar seperempat jam, seorang kawan membawa kami ke pos pertemuan Jerman, Belanda, dan Belgia, di Les Trois Bornes. Yang menjadi pembatas bukanlah beton sekokoh Tembok Berlin. Cuma garis lurus, terbuat dari lempeng metal, bertemu di satu titik yang ditanam di tanah.

Daun-daun kering kedinginan menari-nari di atas tanah dipermainkan tiupan angin benua. Kawan itu mengatakan, titik pertemuan tiga negara itu ditemukan anggota Tentara Merah Jepang. Mereka berpura-pura hiking untuk mencarikan penyeberangan bagi orang-orang Indonesia yang bertekad meminta perlindungan di Belanda.

Keesokan harinya, begitu gelap merayap, kami sudah tinggal selangkah dari garis perbatasan. Sunyi sekeliling. Di depan, membentang hutan pepohonan yang ramah. Lantas batas negara yang terbuat dari baja, yang menghadang langkah kami.

Tapi, apalah arti pembatas bagi niat yang ingin menyerahkan diri pada sehamparan daratan baru sebagai pilihan hidup yang terakhir. Getir memang, kalau kuingat. Waktu remaja, aku ikut gerilya memerangi Belanda, namun kini, aku, dengan menempuh perjalanan jauh, mengendap-ngendap minta perlindungan di kaki Ratu Juliana.

“Apakah saya harus menelan kertas ini?” tanya Rubiah. Di tapak tangannya yang bergetar tergenggam selembar surat, yang dulu datang begitu terlambat, tentang Ibunya yang harus dibuang.

“Tidak. Surat itu akan memperkuat alasan kita untuk meminta suaka.”

Sesaat kemudian, Rubiah mengeluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya. “Yang ini, Mas…” Aku mendekapnya. Mengecup matanya. Bibirnya. Menatap kecantikannya yang abadi dalam derai daun kering yang berjatuhan. Memang, kami dengar sejumlah penyeberang, sebelum melangkah masuk, terlebih dulu menyobek dan mengunyah paspor palsu yang capnya dibuat dari singkong di Tiongkok. Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah, sebab polisi bisa melacaknya. Jadi, mereka telan bulat-bulat.

“Tak usah.”

Aku memegangi bahunya sebelum melangkahkan jejak kaki pertama ke daratan Sang Ratu. Seorang eksil dari Rotterdam pernah tertangkap basah dekat perbatasan ini. Dia mau menyeberang menjemput suaminya yang hidup dengan menumpang pada seorang kawan di Jerman. Cinta ada kalanya bisa membuat manusia melampaui kecerdasan tak terduga. Kepada ronda yang memergokinya, dia mengaku telah bertengkar dengan suaminya, dan dia ditinggalkan begitu saja di hutan itu.

Baca Juga :  Sajak F Aziz Manna

Kami tidak sedang mengarungi hutan segelap belantara Nantalu di Sumatera Utara. Di bawah langit malam, dengan mudah kami mengikuti arah yang dipetakan secara rinci oleh kawan-kawan yang sudah terlebih dulu berada di Belanda. Menjelang matahari terbit, di persimpangan jalan kecil, kami disongsong tiga orang kawan. Seorang mengajak kami mampir di sebuah cafe yang baru saja membuka pintu.

Sementara dua kawan lain meningalkan kami, entah ke mana. Tak sempat kami mereguk kopi, kawan yang seorang itu mengajak kami mengikuti dia. Sesampai di sebuah pos polisi, dia meminta kami menunggu. Dia melangkah masuk, kemudian keluar lagi. Mengisyaratkan kami segera ke dalam. “Ditunggu,” katanya singkat. Dia meninggalkan kami berdua.

Di dalam, polisi menyelidiki perihal pekerjaanku di Berlin Timur. Di antara sekian banyak pertanyaan, yang terasa paling menyakitkan adalah: mengapa memilih Belanda? Tidak kujawab. Aku dan Rubiah saling memandang, tertunduk menatap daun meja.

Kami ditempatkan di sebuah penampungan, mirip hotel sederhana. Beberapa pekan kemudian, kami diasingkan ke sebuah kota kecil, sekitar setahun lamanya. Di situ aku mulai berpenghasilan sebagai tukang potong kaca di sebuah industri perkakas rumah tangga, hingga pensiun 15 tahun kemudian.

Niat untuk pulang Ibu Pertiwi tenggelam ditelan waktu. Dan di negeri bekas penjajah ini, aku benar-benar merasa sebagai manusia. Manakala uang pensiunku hanya cukup untuk sewa rumah, aku tinggal melapor kepada gemeente, kota praja. Berpuluh tahun kami dihidupi bantuan sosial. Sesuatu yang tak terbayangkan di tumpah darah kepada siapa kami tak mungkin pulang.

Bagi seorang sarjana Indonesia yang hendak meraih gelar doktor di sebuah universitas di Los Angeles, rupanya jaminan sosial yang kami nikmati itu bukan mukjizat. Yang ingin benar dia ketahui, siapa penunjuk jalan kami.

“Siapa ketiga orang yang menemui Bapak dan Ibu setelah meninggalkan titik perbatasan dekat Aachen?” tanya Hastuti Mulyasari, sarjana ilmu politik asal Surabaya. Pertanyaan serupa sudah berkali-kali dia ajukan. Dan sekian kali pula kutangkis dengan tawa. Kelima kali dia datang lagi. Tak lupa membawa oleh-oleh masakan kesenangan kami: bebek panggang yang dia beli di restoran Thai di tengah kota Amsterdam.

Setelah basa-basi dengan pertanyaan yang berulang-ulang tentang pekerjaanku di Berlin Timur, dan di kantorku di Jakarta dulu, dia desak lagi, siapa ketiga kawan yang menjemput kami setelah melintasi perbatasan.

Tak kusangka pertanyaan itu membuat Rubiah naik pitam. Dia bukan lagi wanita yang harus kurebut kebaikan hati dan kecantikan parasnya. Dia jantan yang sedang mengaum. Matanya terbelalak tajam menantang. “Ah.., tanya lagi, tanya lagi… Sudah berkali-kali dijawab, kami punya kewajiban hidup untuk tidak menceritakan siapa mereka kepada siapa pun.

Juga tidak kepada kau. Pecundang..!” Rubiah menyergah. “Apa kau ini intelijen tentara yang mau menangkap kami? Katakan terus terang..!” Dia berdiri dengan tatapan yang tak kenal ampun.

Aku bangkit memegangi bahunya, merayu dia duduk kembali. Kuajak Hastuti ke dapur, memanaskan bebek panggang yang dia bawa. Kunasihati dengan amat sangat, jangan lagi mengulangi pertanyaan itu kepadaku, apalagi kepada istriku.

Aku kembali ke ruang tamu. Rubiah tak kutemukan di situ. Masuk ke kamar tidur dan kamar mandi. Di situ pun tiada. Berbalik ke tangga. Melompong. Aku berlari ke jendela. Dari balik kaca kulihat Rubiah terpacak sendirian di tepi kanal. Cepat kukuakkan daun jendela, berteriak sekuat-kuatnya, “Rubi…!” Hanya ditelan angin lalu.

Dia tak menoleh. Segera aku meluncur menuruni tangga. Berlari menyebarangi jalan. Seorang pejalan kaki mengatakan, dia lihat seorang perempuan mengangkat tangannya tinggi-tingi, melambai-lambai ke seberang kanal, dan menceburkan diri ke dalam air. (*)

MARTIN ALEIDA, menyelesaikan memoarnya, juga sekumpulan cerita pendek serta esai, dan buku karya jurnalistik “Tuhan Menangis, Terluka” selama pandemi Covid-19. Dia genap 80 tahun ini.

Oleh MARTIN ALEIDA

Yang kucemaskan menemukan pembenaran di tepi kanal Flevo Ziekenhuis. Berulang kali. Tak terhitung. “Mas..,” bujuknya sendu. Suaranya gemetar terpantul dari jendela kaca.

MENENANGKAN hati, sebagaimana biasa, aku merapat ke punggungnya. Mengikuti ke mana arah nanap matanya. Menggamit, membelai pundaknya, untuk mendamaikan gedebur gelombang perasaan yang tak kuasa dia arungi.

“Lihat Mas,” telunjuk mengarah ke kanal di bawah sana. “Itu Ibu..,” katanya untuk kesekian ratus kali dalam sekian tahun, sejak kami mendamparkan diri di Belanda ini. Dia membujuk pandangan mataku untuk menyisir sepanjang tubir tebing yang lengang. “Mas, lihat… Ribuan kawan-kawan Ibu berjejer menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke pulau pembuangan. Menggunakan kapal perang. Ke mana lagi kalau bukan ke Buru… ”

Matanya nanar, tak bergeser dari tepi kanal. “Lihat,” sebagaimana sebuah rutinitas yang sudah menahun, dia merengkuh bahuku. Menunjuk dengan jari gemetar, ucapnya dengan lenguh napas yang berdesakan. “Itu tuh… Yang itu, Ibu,” deru suaranya sambil merapatkan kening ke kaca jendela.

“Ya, yang di tengah itu. Lihatlah. Yang kebayanya merah compang-camping. Cepat telepon, panggil polisi. Selamatkanlah Ibu, Mas! Ini kejahatan luar biasa di negara si penjajah ini.”

Lagi-lagi aku mengelak, walau tak mengucapkan barang sepatah kata pun. Dan tak bergerak memenuhi permintaan yang sudah tak terhitung berapa kali didesakkannya. Yang ditunjuknya di sepanjang kanal itu tak-lain-tak-bukan hanyalah tebing dengan pepohonan yang kesepian, sesekali diterpa riak yang keruh.

Kalau musim dingin, tepi kanal itu berselimut salju. Di musim seperti itu, bukan salju benar yang dia lihat. Bukan pepohonan yang berjejer membeku. Tetapi, ibunya. Mertuaku. Yang keberadaannya entah di mana di hamparan pulau, nun jauh di bawah sengat khatulistiwa.

Rubiah tak kuasa mengatasi gelombang yang berdesakan di dalam dirinya, menyusul runtuhnya Tembok Berlin. Terutama setelah mendapat kabar yang sangat terlambat, tentang gerombolan massa yang dibiarkan tentara untuk menyudahi hidup ayahnya.

Kabar itu terlambat. Terlalu terlambat tibanya di Berlin Timur, tempat aku bekerja sebagai koresponden. Pekerjaan yang harus kutinggalkan sebagai dampak tercerai-berainya satelit Uni Soviet. Terutama untuk menghindari pengejaran oleh kekuasaan baru di Indonesia, yang mengirimkan dinas intelijen militer ke seluruh daratan di bumi ini, untuk membuat semua pembangkang ‘orde baru’ berlutut. Yang menyebarkan pandemi kematian berdarah di seluruh negeri.

 

Kabar yang terlalu terlambat. Getir. Tambah meremukkan batin Rubiah. Begini bunyinya. Supaya tak merepotkan, tentara menunggu ibunya melahirkan lebih dulu, barulah dijemput dengan bedil. Digiring ke luar rumah. Bersama bayi di dalam dekapan, dengan tali pusat yang belum mengering, Ibu dihardik supaya mempercepat langkah naik ke dalam truk terbuka. Dia dilarikan, kemudian dijorokkan ke dalam penjara Bukit Duri.

Empat puluh hari kemudian, tante dari bayi perempuan itu dipaksa datang ke penjara untuk mengemong pulang keponakannya. Suka-atau-tidak si ibu harus diberangkatkan ke Plantungan. Si bayi disapih dari tetek suci yang menghidupinya. Ditinggalkan Ibunya, adik Rubiah paling bungsu itu terpaksa me-ngempeng pada tetek sapi yang datang dalam bentuk susu formula. Susu yang dibeli tantenya dengan mengutang atau bantuan sanak-saudara, yang mujur belum digerus oleh kekuasaan baru yang menyengsarakan.

Pulang ke negeri sendiri sudah menjadi angan-angan yang ujungnya sama dengan bunuh diri. Ibu Pertiwi sudah seperti negeri yang dikuasai jin. Tak siapa pun berani kembali, kecuali dalam angan-angan dengan bayang-bayang kengerian. Pikiran dan hati Rubiah rupanya tak kuasa menanggungkan guncangan yang meremukkan jiwanya.

Kenyataan lain yang dia hadapi adalah keharusan menyingkir dari rumah kami di Berlin Timur. Meninggalkan flat, dengan hati yang berat seperti ditindih batu, mencari negeri tempat berlindung, entah di mana di daratan Eropa ini

Sesungguhnya Rubiah merasa nyaman hidup bersamaku. Apartemen yang kami tempati cukup besar. Bukan bandingan dengan rumah kontrakan kami yang berdinding setengah papan separuh gedek di Paseban, Jakarta. Berada di sampingku, dia yang pernah belajar jurnalistik, dapat menyaksikan dari dekat bagaimana mengumpulkan bahan berita, menulis, dan mengirimkannya dengan jalan paling cepat ketika itu: mesin teleks.

Baca Juga :  Penyesalan Doa

Tembok Berlin sudah tumbang. Tak terhitung berapa orang yang tewas melompati tembok itu untuk mencari kebebasan nyata atau sekadar fatamorgana. Sekarang, sudah tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk menyeberang ke Barat. Aku tak tahu apa yang bergejolak di dalam dirinya. Rubiah menyetujui rencanaku, tanpa keragu-raguan barang sepatah kata pun.

Barangkali dia mengira, itu pilihan terbaik untuk pada akhirnya dapat bergabung dengan Ibunya di atas truk menuju tanah pembuangan. Atau menitipkan kembang di arus air Bengawan Solo, berenang-renang mengantarkan wewangian untuk Ayahnya di surga.

Kami menumpang kereta api. Turun di stasiun Zoologische Garten. Benar saja, sebagaimana yang diceritakan kawan-kawan dari Afrika, di stasiun itu tak ada pemerikasaan. Kami melenggang sambil berpegangan tangan. Layaknya pengantin yang sudah lama ditunggu-tunggu melintas.

Menginjakkan kaki di Barat, yang dulu kami cerca, Rubiah tak berubah. Namun, dia menunjukkan sikap yang tak terpikirkan. Dia selalu meneteskan air mata ke kursi angkutan umum bila kami harus berpindah alat angkutan. Tak mau duduk di kursi yang belum pernah dia tempati.

Tambah merepotkan, sebab setiap kami menginap di hotel, dia selalu mendesak agar bantal dibawa serta ketika check-out. Rubiah tak bisa tidur di bantal yang tak dikenalnya. Dia seperti mencium aroma kematian di bantal yang tak pernah menjadi tempat rebah kepalanya.

Jika ada kawan senasib, yang dengan senang hati mengajak menginap di rumah mereka, entah di Munich, entah di Frankfurt, entah di Köln, Rubiah menolak bantal tuan rumah. Diam-diam dia mengeluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya. Aku tak tahu di mana dia dapatkan sarung bantal itu. Hanya di atas sarung bantal itu dia sudi merebahkan kepala dan tidur pada malam-malam yang kami lewati sebelum menyeberang ke daratan baru.

Di Aachen, dengan mengendarai mobil, sekitar seperempat jam, seorang kawan membawa kami ke pos pertemuan Jerman, Belanda, dan Belgia, di Les Trois Bornes. Yang menjadi pembatas bukanlah beton sekokoh Tembok Berlin. Cuma garis lurus, terbuat dari lempeng metal, bertemu di satu titik yang ditanam di tanah.

Daun-daun kering kedinginan menari-nari di atas tanah dipermainkan tiupan angin benua. Kawan itu mengatakan, titik pertemuan tiga negara itu ditemukan anggota Tentara Merah Jepang. Mereka berpura-pura hiking untuk mencarikan penyeberangan bagi orang-orang Indonesia yang bertekad meminta perlindungan di Belanda.

Keesokan harinya, begitu gelap merayap, kami sudah tinggal selangkah dari garis perbatasan. Sunyi sekeliling. Di depan, membentang hutan pepohonan yang ramah. Lantas batas negara yang terbuat dari baja, yang menghadang langkah kami.

Tapi, apalah arti pembatas bagi niat yang ingin menyerahkan diri pada sehamparan daratan baru sebagai pilihan hidup yang terakhir. Getir memang, kalau kuingat. Waktu remaja, aku ikut gerilya memerangi Belanda, namun kini, aku, dengan menempuh perjalanan jauh, mengendap-ngendap minta perlindungan di kaki Ratu Juliana.

“Apakah saya harus menelan kertas ini?” tanya Rubiah. Di tapak tangannya yang bergetar tergenggam selembar surat, yang dulu datang begitu terlambat, tentang Ibunya yang harus dibuang.

“Tidak. Surat itu akan memperkuat alasan kita untuk meminta suaka.”

Sesaat kemudian, Rubiah mengeluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya. “Yang ini, Mas…” Aku mendekapnya. Mengecup matanya. Bibirnya. Menatap kecantikannya yang abadi dalam derai daun kering yang berjatuhan. Memang, kami dengar sejumlah penyeberang, sebelum melangkah masuk, terlebih dulu menyobek dan mengunyah paspor palsu yang capnya dibuat dari singkong di Tiongkok. Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah, sebab polisi bisa melacaknya. Jadi, mereka telan bulat-bulat.

“Tak usah.”

Aku memegangi bahunya sebelum melangkahkan jejak kaki pertama ke daratan Sang Ratu. Seorang eksil dari Rotterdam pernah tertangkap basah dekat perbatasan ini. Dia mau menyeberang menjemput suaminya yang hidup dengan menumpang pada seorang kawan di Jerman. Cinta ada kalanya bisa membuat manusia melampaui kecerdasan tak terduga. Kepada ronda yang memergokinya, dia mengaku telah bertengkar dengan suaminya, dan dia ditinggalkan begitu saja di hutan itu.

Baca Juga :  Sajak F Aziz Manna

Kami tidak sedang mengarungi hutan segelap belantara Nantalu di Sumatera Utara. Di bawah langit malam, dengan mudah kami mengikuti arah yang dipetakan secara rinci oleh kawan-kawan yang sudah terlebih dulu berada di Belanda. Menjelang matahari terbit, di persimpangan jalan kecil, kami disongsong tiga orang kawan. Seorang mengajak kami mampir di sebuah cafe yang baru saja membuka pintu.

Sementara dua kawan lain meningalkan kami, entah ke mana. Tak sempat kami mereguk kopi, kawan yang seorang itu mengajak kami mengikuti dia. Sesampai di sebuah pos polisi, dia meminta kami menunggu. Dia melangkah masuk, kemudian keluar lagi. Mengisyaratkan kami segera ke dalam. “Ditunggu,” katanya singkat. Dia meninggalkan kami berdua.

Di dalam, polisi menyelidiki perihal pekerjaanku di Berlin Timur. Di antara sekian banyak pertanyaan, yang terasa paling menyakitkan adalah: mengapa memilih Belanda? Tidak kujawab. Aku dan Rubiah saling memandang, tertunduk menatap daun meja.

Kami ditempatkan di sebuah penampungan, mirip hotel sederhana. Beberapa pekan kemudian, kami diasingkan ke sebuah kota kecil, sekitar setahun lamanya. Di situ aku mulai berpenghasilan sebagai tukang potong kaca di sebuah industri perkakas rumah tangga, hingga pensiun 15 tahun kemudian.

Niat untuk pulang Ibu Pertiwi tenggelam ditelan waktu. Dan di negeri bekas penjajah ini, aku benar-benar merasa sebagai manusia. Manakala uang pensiunku hanya cukup untuk sewa rumah, aku tinggal melapor kepada gemeente, kota praja. Berpuluh tahun kami dihidupi bantuan sosial. Sesuatu yang tak terbayangkan di tumpah darah kepada siapa kami tak mungkin pulang.

Bagi seorang sarjana Indonesia yang hendak meraih gelar doktor di sebuah universitas di Los Angeles, rupanya jaminan sosial yang kami nikmati itu bukan mukjizat. Yang ingin benar dia ketahui, siapa penunjuk jalan kami.

“Siapa ketiga orang yang menemui Bapak dan Ibu setelah meninggalkan titik perbatasan dekat Aachen?” tanya Hastuti Mulyasari, sarjana ilmu politik asal Surabaya. Pertanyaan serupa sudah berkali-kali dia ajukan. Dan sekian kali pula kutangkis dengan tawa. Kelima kali dia datang lagi. Tak lupa membawa oleh-oleh masakan kesenangan kami: bebek panggang yang dia beli di restoran Thai di tengah kota Amsterdam.

Setelah basa-basi dengan pertanyaan yang berulang-ulang tentang pekerjaanku di Berlin Timur, dan di kantorku di Jakarta dulu, dia desak lagi, siapa ketiga kawan yang menjemput kami setelah melintasi perbatasan.

Tak kusangka pertanyaan itu membuat Rubiah naik pitam. Dia bukan lagi wanita yang harus kurebut kebaikan hati dan kecantikan parasnya. Dia jantan yang sedang mengaum. Matanya terbelalak tajam menantang. “Ah.., tanya lagi, tanya lagi… Sudah berkali-kali dijawab, kami punya kewajiban hidup untuk tidak menceritakan siapa mereka kepada siapa pun.

Juga tidak kepada kau. Pecundang..!” Rubiah menyergah. “Apa kau ini intelijen tentara yang mau menangkap kami? Katakan terus terang..!” Dia berdiri dengan tatapan yang tak kenal ampun.

Aku bangkit memegangi bahunya, merayu dia duduk kembali. Kuajak Hastuti ke dapur, memanaskan bebek panggang yang dia bawa. Kunasihati dengan amat sangat, jangan lagi mengulangi pertanyaan itu kepadaku, apalagi kepada istriku.

Aku kembali ke ruang tamu. Rubiah tak kutemukan di situ. Masuk ke kamar tidur dan kamar mandi. Di situ pun tiada. Berbalik ke tangga. Melompong. Aku berlari ke jendela. Dari balik kaca kulihat Rubiah terpacak sendirian di tepi kanal. Cepat kukuakkan daun jendela, berteriak sekuat-kuatnya, “Rubi…!” Hanya ditelan angin lalu.

Dia tak menoleh. Segera aku meluncur menuruni tangga. Berlari menyebarangi jalan. Seorang pejalan kaki mengatakan, dia lihat seorang perempuan mengangkat tangannya tinggi-tingi, melambai-lambai ke seberang kanal, dan menceburkan diri ke dalam air. (*)

MARTIN ALEIDA, menyelesaikan memoarnya, juga sekumpulan cerita pendek serta esai, dan buku karya jurnalistik “Tuhan Menangis, Terluka” selama pandemi Covid-19. Dia genap 80 tahun ini.

Terpopuler

Artikel Terbaru