33 C
Jakarta
Thursday, May 2, 2024

Oleh : Eko Triono

Memindahkan Kota dan Seisinya

Cukup sekali melihat objek, aku bisa hafal. Seolah otakku memotretnya. Bukan karena genius, tapi karena menderita. Ketika kecil, aku hidup dalam penderitaan: nonton TV menumpang, dengar radio dari tetangga, dan melihat tempat wisata pun dari foto yang dipajang orang di ruang tamu mereka.

”Kurniawan, pulang!” Begitu suara bapakku menegur saat aku kecil menonton TV dari luar jendela depan ruang tamu tetangga, ”Bikin malu saja. Buang waktu. Belajar sana!”
Sejak itu, aku rajin berlatih mengulang kembali semua yang pernah kulihat ke dalam pikiranku.

Sambil terpejam, kuputar dalam kepala film komedi yang pernah kutonton dari TV, berita dunia, buku fiksi yang kubaca di perpus sekolah, musik dari radio, iklan pasta gigi dan senyum artisnya, lalu foto wisata milik tetangga.

Baca Juga :  Kebaya Merah di Tebing Kanal

Sulit tentu saja, awalnya. Namun, karena aku tidak punya banyak kesibukan, lama-lama otakku terbiasa.

Bahkan bisa mengulanginya lagi kapan pun aku mau. Seakan otakku, kalau pakai istilah zaman sekarang, bisa berubah menjadi pemutar MP4 dan MP3, bisa menulis cerita fiksi dengan algoritmanya sendiri, bisa menjadi photoshop yang mampu menambahkan diriku sendiri di dalam foto wisata milik tetangga, serta bisa membuatku merasakan apa yang mereka rasakan seolah akulah yang berpose di depan kalamakara candi itu.

Sekarang, di umur tiga dua, kemampuan semacam itu tinggal ampasnya. Lagi pula, kupikir memang tidak ada gunanya lagi.

Namun, hari ini bolehlah. Terbukti cukup membantu saat aku mesti memindahkan lemari es dua pintu, penjual buah, awan dan burung-burung yang melintas, serta sekarang bisa ditemukan sedang meminta sekuriti, dekat patung naga, berdiri 1/4 menit.

Baca Juga :  Cinta yang Bergunung-gunung

Agak kikuk lelaki berseragam hitam ini. Cara berdirinya militer sekali. Seolah aku sedang melukisnya dengan serius buat dipajang di museum. Kubilang padanya sudah cukup, aku bisa mengingatnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, dan sudah membuat sket kasarnya.

Enam menit, selesai seutuhnya. Dia ikut minta hasilnya. Anakku bilang tidak bisa karena harus dimasukan ke koper. ”Jangan ribut,” kataku, ”akan kubikin dua.”

Demikianlah, anakku tercatat dalam sejarah hidupnya pernah mendorong-dorong koper 28 inci ke sana kemari yang lebih besar dari dirinya yang berisi kertas-kertas bergambar.

Cukup sekali melihat objek, aku bisa hafal. Seolah otakku memotretnya. Bukan karena genius, tapi karena menderita. Ketika kecil, aku hidup dalam penderitaan: nonton TV menumpang, dengar radio dari tetangga, dan melihat tempat wisata pun dari foto yang dipajang orang di ruang tamu mereka.

”Kurniawan, pulang!” Begitu suara bapakku menegur saat aku kecil menonton TV dari luar jendela depan ruang tamu tetangga, ”Bikin malu saja. Buang waktu. Belajar sana!”
Sejak itu, aku rajin berlatih mengulang kembali semua yang pernah kulihat ke dalam pikiranku.

Sambil terpejam, kuputar dalam kepala film komedi yang pernah kutonton dari TV, berita dunia, buku fiksi yang kubaca di perpus sekolah, musik dari radio, iklan pasta gigi dan senyum artisnya, lalu foto wisata milik tetangga.

Baca Juga :  Kebaya Merah di Tebing Kanal

Sulit tentu saja, awalnya. Namun, karena aku tidak punya banyak kesibukan, lama-lama otakku terbiasa.

Bahkan bisa mengulanginya lagi kapan pun aku mau. Seakan otakku, kalau pakai istilah zaman sekarang, bisa berubah menjadi pemutar MP4 dan MP3, bisa menulis cerita fiksi dengan algoritmanya sendiri, bisa menjadi photoshop yang mampu menambahkan diriku sendiri di dalam foto wisata milik tetangga, serta bisa membuatku merasakan apa yang mereka rasakan seolah akulah yang berpose di depan kalamakara candi itu.

Sekarang, di umur tiga dua, kemampuan semacam itu tinggal ampasnya. Lagi pula, kupikir memang tidak ada gunanya lagi.

Namun, hari ini bolehlah. Terbukti cukup membantu saat aku mesti memindahkan lemari es dua pintu, penjual buah, awan dan burung-burung yang melintas, serta sekarang bisa ditemukan sedang meminta sekuriti, dekat patung naga, berdiri 1/4 menit.

Baca Juga :  Cinta yang Bergunung-gunung

Agak kikuk lelaki berseragam hitam ini. Cara berdirinya militer sekali. Seolah aku sedang melukisnya dengan serius buat dipajang di museum. Kubilang padanya sudah cukup, aku bisa mengingatnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, dan sudah membuat sket kasarnya.

Enam menit, selesai seutuhnya. Dia ikut minta hasilnya. Anakku bilang tidak bisa karena harus dimasukan ke koper. ”Jangan ribut,” kataku, ”akan kubikin dua.”

Demikianlah, anakku tercatat dalam sejarah hidupnya pernah mendorong-dorong koper 28 inci ke sana kemari yang lebih besar dari dirinya yang berisi kertas-kertas bergambar.

Terpopuler

Artikel Terbaru