33.2 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Oleh : Eko Triono

Memindahkan Kota dan Seisinya

***
”Jangan! Di koper itu ada kepala sopir taksi botak!” Ning menjerit dari balik masker saat koper mau ditimbang dan orang-orang menoleh curiga, dan petugas keamanan berlari sigap dengan senjata yang bukan termometer tembak.

Itu terjadi pukul setengah empat sore di bandara lokal. Sabtu terakhir di bulan Juni. Kasus virus sedang terkendali. Ketika itu, belum ada lonjakan kasus virus baru. Mendekati libur musim panas. Kami sudah menerima surel PCR negatif sebelum naik taksi.

Ketika turun dari taksi; pindai kode pelacakan depan pintu masuk terminal 3; biru tanda sehat dan tidak kontak dekat baru boleh masuk; barisan maksimal lima orang; seorang petugas perempuan memerika aplikasi pemantai, lalu menebah-nebah kertas kuning seperti membaca mantra ke koper kami yang berisi ringkasan alat-alat kehidupan; tiga polisi menjaga pita pembatas dan memastikan setiap orang menjaga jarak dengan berdiri pada gambar telapak kaki kuning.

Baca Juga :  Kebaya Merah di Tebing Kanal

Setelah pemeriksaan identitas, foto wajah, lalu barang bawaan, lalu saat memasukkan koper bagasi di konter maskapai itulah, anakku membuat orang curiga.

Petugas tiket memintaku pergi ke ruang pemeriksaan layaknya orang yang kopernya kena alarm merah.

”Mr Kurniawan?” tanya petugas lelaki dengan kereng saat memeriksa nama di komputernya, lalu menghadapku.”Ya,” kataku dalam bahasa Inggris dalam masker medis biru.”Buka!” perintahnya.

Aku membukanya dengan santai karena mustahil gambar-gambar itu benar-benar hidup kembali di dalam koper. Itu terlalu fiksi, pikirku. Ini hanya permainan imajinasi bersama anakku. Benar, lihat saja kalau tidak percaya, isinya tetap berupa mainannya, dan kertas-kertas bergambar kota dan seisinya.

Baca Juga :  Cinta yang Bergunung-gunung

”Kepala sopir taksi botak?” tanyanya.”Ini,” kutunjukkan gambar padanya di antara gambar manusia lain.Dia tetap menatap dengan serius. Kupikir dia terlalu serius dengan tugasnya atau tugasnya memang harus sangat serius.

”Buat apa?” tanyanya dari balik masker hitam.
”Anakku terlalu mencintai kota ini. Dia tidak mau pergi kecuali seluruh isinya ikut bersamanya. Jadi ini yang kulakukan. Kalau dia melihatmu, dia pasti ingin kami ikut serta bersama kami.”

***
”Jangan! Di koper itu ada kepala sopir taksi botak!” Ning menjerit dari balik masker saat koper mau ditimbang dan orang-orang menoleh curiga, dan petugas keamanan berlari sigap dengan senjata yang bukan termometer tembak.

Itu terjadi pukul setengah empat sore di bandara lokal. Sabtu terakhir di bulan Juni. Kasus virus sedang terkendali. Ketika itu, belum ada lonjakan kasus virus baru. Mendekati libur musim panas. Kami sudah menerima surel PCR negatif sebelum naik taksi.

Ketika turun dari taksi; pindai kode pelacakan depan pintu masuk terminal 3; biru tanda sehat dan tidak kontak dekat baru boleh masuk; barisan maksimal lima orang; seorang petugas perempuan memerika aplikasi pemantai, lalu menebah-nebah kertas kuning seperti membaca mantra ke koper kami yang berisi ringkasan alat-alat kehidupan; tiga polisi menjaga pita pembatas dan memastikan setiap orang menjaga jarak dengan berdiri pada gambar telapak kaki kuning.

Baca Juga :  Kebaya Merah di Tebing Kanal

Setelah pemeriksaan identitas, foto wajah, lalu barang bawaan, lalu saat memasukkan koper bagasi di konter maskapai itulah, anakku membuat orang curiga.

Petugas tiket memintaku pergi ke ruang pemeriksaan layaknya orang yang kopernya kena alarm merah.

”Mr Kurniawan?” tanya petugas lelaki dengan kereng saat memeriksa nama di komputernya, lalu menghadapku.”Ya,” kataku dalam bahasa Inggris dalam masker medis biru.”Buka!” perintahnya.

Aku membukanya dengan santai karena mustahil gambar-gambar itu benar-benar hidup kembali di dalam koper. Itu terlalu fiksi, pikirku. Ini hanya permainan imajinasi bersama anakku. Benar, lihat saja kalau tidak percaya, isinya tetap berupa mainannya, dan kertas-kertas bergambar kota dan seisinya.

Baca Juga :  Cinta yang Bergunung-gunung

”Kepala sopir taksi botak?” tanyanya.”Ini,” kutunjukkan gambar padanya di antara gambar manusia lain.Dia tetap menatap dengan serius. Kupikir dia terlalu serius dengan tugasnya atau tugasnya memang harus sangat serius.

”Buat apa?” tanyanya dari balik masker hitam.
”Anakku terlalu mencintai kota ini. Dia tidak mau pergi kecuali seluruh isinya ikut bersamanya. Jadi ini yang kulakukan. Kalau dia melihatmu, dia pasti ingin kami ikut serta bersama kami.”

Terpopuler

Artikel Terbaru