Oleh: RIZQI TURAMA
—
Setengah jam setelah jenazah ayah ditanam, kusaksikan mereka telah pecah membahas tanah, rumah, serta hak-hak mereka berdasar silsilah. Awalnya aku terkejut, tetapi kemudian muncul kesadaran bahwa memang itulah motivasi mereka datang ke sini.
Alangkah lugunya aku berpikir mereka rela menempuh perjalanan jauh, empat jam dari Palembang, sekadar untuk menghibur aku –satu-satunya anak ayah– yang sebenarnya tidak akrab-dekat amat dengan mereka.
”KAULANJUTKAN perjuangan bapakmu di rumah dan tanah kita bersama ini,” ujar bakwo –saudara tertua ayah– dengan penekanan khusus di kata ”bersama”.
”Buyut sudah membangun rumah dan membuka lahan. Kakek dan bapak kau mengembangkan tanah hingga menghasilkan. Bapak kau tak pernah lupa berkirim setiap kali panen datang,” mamang –adik ayah– menimpali.
”Jadi, kau jangan merasa semua yang ditinggalkan bapak kau adalah punya kau sendiri. Lihat dan ingat kami yang berkumpul di sini,” uwak tak kalah menambahi.
Setelah itu, mereka bergiliran menjelaskan batas-batas tanah yang dimiliki secara turun-temurun sejak buyutku: sekavling di utara dusun, dua kavling di dusun sebelah yang kini ditanami duku, dua hektare di perbatasan yang sekarang jadi kebun para, dan seterusnya. Aku tak begitu menyimak sebab pikiranku masih tertambat pada ayah.
Ayah tak pernah memaksaku pulang ke dusun ini untuk menemaninya yang hidup sendiri setelah ibu dipanggil Sang Ilahi. Akan tetapi, perasaan tak menyenangkan yang muncul saban malam di perantauan membuatku mengambil keputusan. Saat aku datang dari Palembang, tempatku merantau, ayah hanya menatapku dengan pandangan penuh pertanyaan.
”Entah,” kataku padanya waktu itu, ”aku merasa aneh saja. Kenapa kita harus sendiri-sendiri di saat sebenarnya kita bisa bersama-sama.”
Ayah tersenyum. Ia lalu mengambil arit dan melanjutkan pekerjaannya memotong rumput. ”Kalau kaukira hidup di dusun sederhana, kau belum terlambat untuk pikir-pikir lagi. Untuk menghidupi tanah ini, perlu lebih dari sekadar tumbuhan. Tanah ini menuntut kita untuk memberikan keikhlasan.”
Aku ingat betul hanya menjawabnya dengan ”Hmmm”, lalu mengambil peralatan serta menolongnya memangkasi rumput. Ayah menggeleng-gelengkan kepala, lalu tersenyum. Senyum itu juga yang kembali terlihat saat malaikat maut datang kepadanya kemarin malam.
Senyum ayah yang entah membuatku semakin tertaut padanya. Senyum itu juga yang membuatku teringat bahwa aku baru saja kehilangan sosok ayah dan orang-orang ini datang untuk menegaskan bahwa tak ada satu pun yang benar-benar milikku. Dadaku sesak dan napasku berat.
Ada yang terasa memenuhi setiap rongga dada dan mataku memanas. Rasanya aku ingin berteriak ”Kacok Umak!” kepada mereka semua. Namun, hal yang muncul ke permukaan hanyalah air yang mengalir dari mataku dan aku cuma tersenyum. Mungkin ayah juga akan melakukan hal yang sama jika ada di posisiku saat ini.
***
Beberapa hal kembali membaik setelah mereka pulang ke tempat masing-masing. Bakwo kembali ke Padang, uwak pulang ke Lampung, mamang balik ke Jogjakarta, dan anak-anaknya kembali menyebar ke Palembang, Jakarta, Jambi, Riau, dan Bali. Sementara itu, aku di dusun sibuk tak hanya dengan arit dan pisau, tetapi juga menyambung relasi yang telah dibangun oleh ayah.
Seperti yang sudah disampaikan mereka, tanah warisan ini cukup banyak dan tersebar. Ayah, mungkin juga dari kakek dan buyutku, mengajak beberapa orang yang dipercaya untuk mengolah lahan-lahan itu. Tak akan cukup waktu dan tenaga untuk mengurus itu semua sendirian. Aku baru sadar setelah kepergian ayah bahwa tak kurang dari lima belas orang yang ada di lingkarannya. Jumlah itu cukup untuk membuatku teralihkan dari kesedihan.
Waktuku banyak kupakai untuk mengenali orang-orang yang selama ini telah membantu ayah, mengetahui jam dan cara kerja mereka, bahkan aku seperti mencoba mengenali dusun tempatku lahir dan besar dengan lebih terperinci. Aku lebih memperhatikan aliran Sungai Komering yang berkelok di ujung dusun.
Secara tak sadar, aku juga lebih mengamati orang-orang yang ada di sekitar, termasuk seorang gadis manis yang tinggalnya selang tiga rumah dari rumahku (rumah warisan dari buyut yang sekarang kutinggali, lebih tepatnya).
Meskipun sebagian besarnya menyenangkan, mempertahankan relasi yang telah dibangun ayah juga punya sisi yang menyebalkan, terutama saat aku harus bergabung di grup WhatsApp keluarga. Isi grup itu hanya kutipan-kutipan pemberi semangat dari yang tua dan foto pamer liburan dari yang muda. Untungnya posisiku di dusun memberi keleluasaan untuk tak sering-sering melihat ponsel dengan alasan sinyal sering hilang.
Hidup kemudian tambah menyenangkan saat harga karet kembali membaik dan duku-duku di kebun berbuah dengan sempurna. Lalu, kuberanikan diri untuk melamar si gadis manis.
Pernikahan kami kemudian dilangsungkan saat duku dipanen. Karena hati sedang riang, juga sebagai rasa syukur, kukirimi salah satu anak uwak yang tinggal di Palembang beberapa duku terbaik yang kami panen.
Sialnya, sepupu kampang itu justru memotret buah kiriman dan mengirimkannya ke
Terang saja kirimannya di grup itu memancing respons yang lain.
”Wah. Kami yang di Jakarta belum dapet.”
”Jangankan Jakarta, Lampung pun belum lewat kok.”
”Kualat kalau sampai hasil panen tanah waris tak sampai ke Padang.”
Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Hanya karena manisnya masa pengantin baru bersama gadis manis, aku bisa sedikit meredam emosi. Keesokan harinya dengan menggerutu aku mengirimkan lagi duku-duku pilihan ke berbagai penjuru Nusantara tempat orang yang mengaku keluarga dan masih memiliki hak atas apa yang tidak pernah mereka pelihara. Istriku tentu saja bingung dengan wajah gusarku yang tampak jelas. Maka tak pelak, aku pun menceritakan semuanya.
”Semoga nanti setelah dikirimi duku, keluarga-keluarga di sana tidak lagi ribut, Bang,” ujarnya.
Faktanya, tiga hari kemudian, grup WA keluarga itu kembali mendentingkan notifikasi.
”Terima kasih kirimannya, tapi kok duku yang sampai di kami agak kecil ya? Hehehe.”
”Duku yang sampai Jakarta sedikit, padahal setahuku kebun duku di dusun cukup luas.”
”Duku yang sampai Jambi sudah agak kisut.”
”Wah. Masih mending. Jangan-jangan yang sampai Padang nanti sudah busuk tuh.”
Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Dan aku tak bisa lagi menahan emosi. Dengan tangan bergetar kuketik pesan, ”Kacok umak! Kalau mau banyak, tanam sendiri. Kalian pikir kirim ke tempat kalian itu gratis? Memangnya apa yang sudah kalian kasih ke kami di sini? Tak malu kalian pada foto-foto liburan ke luar negeri yang kalian banggakan, tapi duku tak seberapa tak mau bermodal untuk beli?”
Pesan itu sudah kuketik dengan huruf kapital dari awal sampai akhir dan tanpa emotikon. Jempolku sudah akan menekan tombol ”kirim” saat istriku melihat. Segera saja ia memelukku erat. Sebuah pelukan yang tak bisa kuabaikan sebagai seorang pengantin baru. ”Sabar, Bang,” ujarnya, entah untuk tingkahku yang mana. Satu hal yang jelas: ia berhasil menggagalkan aku mengirim pesan tersebut.
”Kita disuruh abah berkunjung ke rumah saudara di Palembang,” ucapnya setelah marahku reda. ”Mungkin perjalanan itu juga bisa membuat Abang sedikit rileks.”
Aku menganggukkan kepala. Sudah lebih empat tahun aku tidak keluar dari dusun ini. Mungkin aku perlu sedikit jalan-jalan untuk meluruskan pikiran. Maka keesokan harinya, sesuai nasihat abah, mertuaku, kami pergi ke Palembang dengan naik mobil travel. Waktu tempuh dari dusunku ke Palembang sekitar empat jam.
Dan seperti biasa, dua jam pertama kuhabiskan dengan tidur. Travel berhenti di Kayuagung, seperti biasa, dan baru dari sanalah aku melihat-lihat ”pemandangan” yang tersaji.
Tidak ada yang istimewa. Pun hampir tak ada yang berubah. Hutan-kebun karet di sepanjang jalan tetap jadi pemandangan utama. Hal yang kurang lebih sama dengan pemandangan di dusun.
Sesekali ada bangunan-bangunan baru, tapi tidak signifikan. Pemandangan baru jadi agak berbeda setelah kami melewati Indralaya. Rawa-rawa dan lahan gambut mendominasi pemandangan. Tanpa sadar, aku menggumam, ”Apa tanah-tanah itu tak bisa diolah dan dijadikan kebun?”
”Bisa,” istriku menjawab dan membuatku sedikit terkejut.
”Terus? Bertahun-tahun tak ada perubahan. Kenapa orang membiarkannya?”
”Tanah-tanah di pinggir jalan itu punya orang-orang kaya di Jakarta, Bang. Jadi, itu bukan soal jenis tanahnya, tapi kepemilikannya.”
”Seluas itu?”
”Orang kayanya banyak,” istriku tersenyum.
”Terus?”
”Terus nanti tanah-tanah itulah yang dibakar dan membuat asap ke mana-mana seperti yang muncul di berita beberapa tahun belakangan. Paling nanti kalau yang punya sudah mati, tanah itu jadi rebutan para ahli waris.
Terus para ahli waris yang tak pernah tahu mengolah tanah akan berebut untuk menjualnya lagi,” istriku senyum, tetapi aku tersentak.
Obrolan kami terhenti di sana. Ucapan istriku membuatku terngiang lagi pada pesan ayah saat aku memutuskan tinggal di dusun, bahwa tak cukup sekadar tanaman untuk menghidupi sebuah tanah, tetapi juga keikhlasan. Pikiran itu terus menghantui sampai akhirnya kami tiba di rumah keluarga abah.
”Dapat suami yang kerja di mana?” sambut empunya rumah.
”Sama seperti Abah, bertani juga, Wak.”
”Duh. Kamu itu. Betul-betul ya. Capek-capek jadi sarjana pertanian dapat suami cuma petani,” si uwak berseloroh dan tertawa renyah.
Istriku terlihat mencoba menahan perubahan ekspresi.
”Oya, terima kasih sudah bawa jeruk dari tanah warisan. Aku juga jadi teringat kalau bapakmu punya banyak warisan. Dapat suami macam apa pun aman kok,” si uwak tertawa lagi.
Meskipun tawa uwak begitu renyah, aku tahu ada nada yang tak enak di dalamnya. Ekspresi istriku berubah. Aku tahu ada sesak yang memenuhi dadanya serta panas yang menjuntai di ujung mata. Hal yang sama juga kurasakan. Akan tetapi, kugenggam tangannya dengan hikmat. Nanti malam akan kupeluk ia dengan pelukan yang takkan bisa diabaikan pengantin baru, ”Sabar, Dik,” ujarku. (*)
—
RIZQI TURAMA, Pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sriwijaya. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang.