Oleh: Ratna Puja Ningrum*
PROKALTENG.CO – Gunung Lumut di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, dikenal sebagai tempat penuh misteri. Diselimuti berbagai jenis lumut yang menutupi hampir seluruh permukaannya, mulai dari tanah, bebatuan, hingga pepohonan. Kondisi ini menjadikannya terlihat seperti dunia yang berbeda, dengan nuansa hijau lembap yang begitu khas. Kawasan ini juga merupakan bagian dari hutan lindung yang menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna langka, termasuk spesies yang hanya ditemukan di daerah ini.
Bagi masyarakat setempat, Gunung Lumut dianggap sebagai tempat sakral yang dihuni makhluk gaib. Konon, tidak ada yang pernah mencapai puncaknya, karena siapa pun yang mencoba akan menghadapi kejadian aneh dan mengerikan. Banyak pendaki yang mengaku tersesat, mendengar suara-suara misterius, atau bahkan kehilangan anggota kelompoknya.
Suatu hari, lima pendaki—Jaka, Reno, Dini, Bayu, dan Sita—memutuskan menantang mitos tersebut dan mendaki Gunung Lumut. Mereka memulai perjalanan dari desa terakhir sebelum memasuki hutan lebat. Penduduk desa memperingatkan mereka untuk tidak memaksakan diri naik hingga ke puncak, tetapi semangat petualangan membuat mereka mengabaikan peringatan itu.
“Heh, kalian percaya sama omongan orang kampung itu?” kata Jaka sambil tertawa meremehkan. “Kalau mereka nggak bisa naik, ya udah. Bukan berarti kita juga nggak bisa, kan.”
“Dasar orang-orang kolot. Mereka cuma takut sama bayangannya sendiri,” tambah Reno dengan nada mengejek.
Dini menatap mereka tajam. “Kalian sebaiknya nggak ngomong kayak gitu. Kita ada di tempat mereka, kita harus tetap menghormati.”
“Ah, udah, lah. Ini cuma gunung biasa,” sahut Jaka dengan acuh.
Saat memasuki hutan di kaki gunung, suasana berubah drastis. Udara terasa lebih lembap, dan kabut tipis mulai menyelimuti pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Lumut tebal yang menutupi tanah dan bebatuan membuat langkah mereka sering tergelincir. Suasana terasa begitu sunyi, seolah-olah hutan ini menyembunyikan sesuatu yang tak terlihat.
“Din. Kok aku tiba-tiba merinding ya,” bisik Sita pada Dini.
“Itu perasaan kamu aja kali. Di sini enak kok, udaranya dingin,” balas Dini mencoba menenangkan.
Saat mereka tiba di titik awal pendakian, suasana terasa lebih suram dari yang dibayangkan. Udara begitu lembap, dan jalur yang biasa digunakan pendaki tampak tertutup oleh lumut dan ranting yang jatuh.
Dini melirik peta yang ia bawa, lalu menunjuk ke jalur setapak di sebelah kanan.
“Kita harus lewat jalur ini. Ini jalur yang biasa buat para pendaki.”
Namun, Jaka menggeleng dengan penuh percaya diri. “Enggak. Kita ambil jalan lain aja,” katanya sambil menunjuk jalur lain di sebelah kiri, yang tampak lebih lebat dan jarang dilewati.
Dini mengernyit. “Jak, itu bukan jalur resmi. Kita nggak tahu ke mana arahnya.”
Reno, yang berdiri di samping Jaka, menyeringai. “Ayolah, petualangan itu harus menantang! Jalur biasa pasti bikin bosen.”
“Tapi ini bukan sekadar petualangan, Ren. Kita belum pernah naik gunung ini sebelumnya. Gimana kalo medannya berbahaya?” kata Sita dengan nada khawatir.
Jaka menghela napas, lalu menatap mereka satu per satu dengan tatapan meyakinkan. “Dengar, jalur utama itu panjang dan muter-muter. Kalau kita lewat sini, kita bisa lebih cepat sampai ke puncak. Jangan terlalu percaya sama aturan kaku. Kita ini pendaki, bukan turis!”
Bayu, yang sejak tadi diam, menggaruk tengkuknya ragu. “Terus kalo kita tersesat gimana?”
Jaka menepuk pundaknya. “Justru itu serunya! Lagipula, kalau sampai tersesat, kita tinggal cari jalur turun. Yang penting jangan takut duluan. Udahlah, jangan pada lebay, ini bukan pertama kalinya kita naik gunung.”
Dini masih merasa tidak yakin. Ada sesuatu yang tidak beres dengan jalur yang Jaka pilih. Rasanya seperti ada yang mengawasi mereka dari kegelapan di balik pepohonan. Namun, mayoritas tim tampaknya sudah termakan semangat Jaka dan Reno.
“Oke,” kata Dini akhirnya. “Tapi kalau ada yang aneh atau kita merasa dalam bahaya, kita balik ke jalur utama. Setuju?”
Jaka terkekeh. “Setuju, Kapten! Santai saja, ini cuma gunung biasa.”
Dengan langkah percaya diri, Jaka memimpin tim memasuki jalur yang lebih gelap dan lebih sunyi, tidak menyadari bahwa keputusan kecil itu akan membawa mereka ke dalam kengerian yang tidak pernah mereka bayangkan.
Hari mulai gelap, mereka akhirnya memilih mendirikan tenda di sebuah area datar di tengah rimbunnya pepohonan. Malam pertama mereka di hutan menjadi awal dari serangkaian teror. Suasana mulai terasa janggal. Tidak ada suara binatang malam, hanya keheningan yang mencekam.
Ketika mereka mulai tidur, Sita tiba-tiba terbangun karena suara gemerisik di luar tenda. Awalnya ia mengira itu hanyalah angin, tetapi semakin lama suara itu terdengar semakin dekat, seperti seseorang sedang berjalan di sekitar tenda mereka.
“Dini… kamu dengar suara itu?” bisik Sita dengan suara bergetar.
Dini yang juga sudah terbangun menahan napasnya. Suara itu terdengar jelas sekarang. Langkah kaki, diseret perlahan, mengelilingi tenda mereka.
Bayu menyalakan senter dan mengarahkannya ke luar tenda, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Namun, seketika udara menjadi lebih dingin, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Tiba-tiba, suara cekikikan halus terdengar dari dalam hutan, diikuti suara berbisik yang tidak mereka mengerti. Sita menjerit kecil dan merapat ke Dini. Reno dan Jaka yang terbangun karena suara itu keluar dari tenda dengan senter di tangan.
“Siapa di sana?!” bentak Jaka dengan suara keras.
Tidak ada jawaban, hanya suara langkah yang semakin menjauh, seolah-olah sosok itu berlari masuk ke dalam kegelapan hutan. Namun, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Ketika mereka kembali ke dalam tenda, mereka menemukan kantong tidur mereka dalam keadaan basah dan berbau amis, seolah-olah ada sesuatu yang telah merayap masuk saat mereka tidur.
Bayu menyalakan senter ke dalam kantong tidurnya dan menjerit pelan. Ada bekas jejak tangan hitam di dalamnya, seperti tangan seseorang yang telah mencengkeram kain dengan kuat.
“Ini… ini nggak masuk akal…” gumam Dini, suaranya gemetar.
Mereka semua terdiam, jantung berdegup kencang. Malam itu, mereka tidak ada yang bisa tidur nyenyak.
Keesokan harinya, kelompok itu mulai terpecah.
“Kita turun sekarang!” tegas Sita sambil merapikan barang-barangnya.
“Sit. Kita belum sampai puncak lo. Ayolah, jangan turun gitu aja,” bujuk Jaka.
“Jak. Kamu tuh sadar nggak sih, ini udah nggak beres. Kalo kita semakin naik, mungkin bakal ada kejadian lain yang mengerikan.”
“Alah, dari awal kamu juga udah parnoan. Tau gitu nggak usah ikut, Sit. Bikin susah aja.”
“Jak. Kamu kok ngomongnya gitu sih.” Dini yang semula hanya mendengarkan, ia langsung menyela karena merasa Jaka mulai keterlaluan.
“Ya habisnya belum apa-apa udah minta turun. Dikira nggak capek apa. Kita jauh-jauh ke sini buat lihat puncak. Udah setengah jalan malah ngajak turun.”
“Kalo dari awal kamu nggak ngotot buat bikin jalur sendiri, kita nggak akan kayak gini Jak. Terserah deh, kalo kalian nggak mau turun. Biar aku turun sendiri.”
“Eh, Sit tunggu.” Dini segera menggendong tasnya untuk menyusul Sita. Khawatir dengan dua orang itu, Bayu ikut menyusul, meninggalkan Jaka dan Reno.
Dini, Bayu, dan Sita memutuskan untuk turun setelah kejadian mengerikan yang mereka alami semalam. Sementara itu, Jaka dan Reno tetap bersikeras melanjutkan perjalanan ke puncak.
Setelah beberapa jam mendaki lebih tinggi, Jaka dan Reno mulai merasa percaya diri. Mereka bercanda dan tertawa, meremehkan cerita-cerita seram yang diceritakan penduduk desa.
“Lihat kan? Nggak ada apa-apa di sini,” kata Jaka sambil menendang batang kayu di jalur pendakian.
“Iya, mungkin mereka terlalu paranoid,” timpal Reno. “Kalau memang ada penunggu gunung, kenapa kita masih baik-baik aja?”
Namun, tawa mereka mendadak terhenti ketika Reno merasakan sesuatu merayap di kakinya. Ia menunduk dan melihat pacet besar menempel di betisnya. Dalam sekejap, mereka menyadari bahwa tubuh mereka dipenuhi pacet yang menggeliat, menempel di leher, tangan, dan kaki mereka. Jaka berusaha mencabutnya, tetapi semakin banyak pacet yang muncul dari dalam tanah dan dedaunan basah.
Mereka berteriak panik, mencoba melepaskan pacet-pacet itu, tetapi semakin mereka bergerak, semakin banyak yang menempel. Rasa gatal bercampur nyeri menjalar ke seluruh tubuh. Reno mulai berlari, mengibaskan tubuhnya dengan liar, sementara Jaka menyusul dengan napas terengah-engah.
“Ren, berhenti dulu.” Mereka berdua duduk di bawah pohon besar sambil membuang sisa pacet yang masih menempel di kaki mereka.
“Gila. Ini lebih serem dari yang aku bayangin.” Reno mencoba mengatur napas. Ia masih merasakan bagaimana menggelikannya pacet-pacet itu menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Ren itu apa?” Mata Jaka berubah melotot sambil menunjuk sesuatu ke arah seberang.
Di salah satu batang pohon besar, tergantung sesuatu yang mengerikan—sebuah tubuh terbungkus kain kafan yang sudah membusuk. Kainnya hitam dan berlubang, memperlihatkan tulang-belulang di dalamnya. Mata tengkorak itu kosong, tetapi seolah-olah menatap langsung ke arah mereka. Reno menutup mulutnya, hampir muntah.
“Jak. Kita harus turun sekarang.”
Dari kejauhan, terdengar suara gemerisik yang semakin mendekat, seperti sesuatu yang besar sedang mengintai mereka. Lalu, suara tawa kecil bergema di antara pepohonan, suara yang tidak manusiawi, lirih, dan menyeramkan.
Jaka dan Reno berlari tanpa arah, hingga tiba-tiba Reno tidak lagi mendengar suara langkah Jaka di belakangnya.
“Jaka?” panggilnya.
Tidak ada jawaban.
Reno menoleh ke belakang dan mendapati jalur yang ia lalui tadi kini hanya berupa kabut pekat. Tidak ada Jaka. Tidak ada suara langkah. Tidak ada apa-apa.
Dengan napas tersengal, Reno mundur beberapa langkah, namun kemudian ia mendengar bisikan di telinganya.
“Kamu akan jadi milik tempat ini…”
Reno menjerit. Ia berlari secepat mungkin, tetapi hutan terasa semakin menutup. Lalu, sesuatu mencengkeram kakinya dari dalam tanah. Reno terjatuh, tubuhnya terseret masuk ke dalam kegelapan, dan seketika hutan kembali sunyi.
Saat rombongan Dini turun, mereka masih menghadapi berbagai gangguan, tetapi akhirnya berhasil selamat. Namun, pencarian Jaka dan Reno berakhir tanpa hasil. Tidak ada jejak mereka, seolah-olah gunung telah menelan mereka hidup-hidup.
Gunung Lumut tetap menjadi misteri yang menelan siapa saja yang mencoba menantang batasannya. (*)
*)Ratna Puja Ningrum, seorang penulis berusia 24 tahun, telah menjadikan kata-kata sebagai rumahnya sejak kecil. Kecintaannya pada dunia kepenulisan tumbuh sejak duduk di bangku sekolah dasar, ketika ia pertama kali jatuh cinta pada kisah-kisah yang menghanyutkan imajinasi. Dari lembaran buku tulis penuh coretan hingga halaman digital yang menggugah hati, Ratna terus menapaki perjalanan panjangnya dalam menulis.