Jagat Rajawali memperlihatkan bahwa susastra punya jangkauan luas, tidak terjebak pada tema tertentu saja.
MUNGKIN susastra terlalu lama berdiam di menara gading. Mungkin susastra terlalu lama semedi sehingga terlalu bertukung lumus untuk cerita dengan tema-tema besar (atau setidaknya menurut anggapan saya besar).
Susastra sudah kadung diamini untuk genre-genre yang besar. Semisal politik, sejarah, dan konflik kemanusiaan lain. Saya membayangkan bila tiba-tiba susastra turun dari menara gading, ia pasti akan gagap dan gegar budaya.
Demikian respons pertama ketika saya berhadapan dengan Jagat Rajawali, novel karya penulis asal Surabaya, Eko Darmoko. Novel yang dilabeli sebagai kisah akil balig ini memberi gambaran baru bahwa susastra seharusnya memang mendedah segala aspek kehidupan. Tidak hanya fokus pada satu persoalan semata. Cerita-cerita remaja putra dengan petualangan dan penemuan yang dialami Toples juga menarik dan berharga untuk diceritakan.
Berawal dari Pertemuan
Toples yang bernama asli Taufan Samudera remaja yang menemukan kesukaan atas karya Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marquez sebab perjumpaannya dengan Paman Bajul. Toples siswa SMP ini kemudian kagum dengan dunia fiksi yang diperkenalkan Paman Bajul. Toples juga menulis sebuah cerita pendek yang sudah mudah diduga tidak diapresiasi dengan baik oleh gurunya.
Cerpen berjudul ”Rajawali Tersesat di Pohon Mangga” itu oleh gurunya bahkan dianggap menjiplak karya Godot. ”Kamu pasti meniru. Pohon mangga karanganmu, karakternya sama dengan pohon dalam drama Waiting for Godot.” (hal 61)
Komentar ini sebenarnya tipikal komentar guru yang selain tidak apresiatif, juga tidak senang dengan kemajuan seorang siswa. Namun, novel ini tidak berlagak sebagai novel penuh motivasi, yang kemudian mengubah Toples sebagai penulis besar.
Meski memang benar Toples berhasrat menjadi penulis. Pertemuannya dengan Paman Bajul, juga Rena, pemicunya. Rena membuatnya kenal dengan Pramoedya Ananta Toer sekaligus meminjaminya Waiting for Godot.
Namun, peran paling penting yang disajikan Rena adalah percik romansa dan pecah balig seorang lelaki SMP. Rena mengajarinya soal tubuh dan gejolak dalam dirinya. Rena digambarkan lebih dewasa dan tentu secara tubuh jauh berbeda. ”Aku tak ingin buah dadaku menjadi perhatian di sekolah. Seragam kedodoran dari para guru juga ayahku.” (hal 29)
Rena dan Toples dipertemukan oleh buku, juga keterasingan. Toples dihindari sebab dia yang berpikiran aneh, bahkan suatu kali merepotkan kelas karena harus juga membahas buku sastra. Dan, Rena dijauhi sebab ya tubuhnya jauh berbeda dengan kebanyakan remaja putri seusianya.
Apakah keduanya akan menjadi sepasang kekasih? Tidak semudah itu novel Jagat Rajawali bergerak. Toples justru belajar jatuh cinta dan mimpi basah di hadapan Tiwi. Bahkan dalam penemuan eksplorasi tubuhnya, bersama Tiwi, Toples berjumpa dengan percikan gelora itu. ”Aku memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Dan Tiwi merespons dengan tindakan yang sama.” (hal 67)
Bukan Cinta Segitiga Remaja
Namun, salah besar bila beranggapan novel ini tipikal novel remaja yang rebutan kekasih di antara cinta segitiga. Ini novel soal perjalanan remaja Toples yang mengisi masa SMP dengan letupan.
Sebagaimana perjalanan, Toples dan Rena dalam sebagian besar alur akan berjumpa dengan nenek misterius dan sebuah sumur yang juga misterius. Seorang nenek yang digambarkan antara nyata dan tidak itu justru diam-diam memberi nasihat kepada Toples, ”Kamu terlalu serius dengan pikiran-pikiranmu. Sesekali pikiranmu harus istirahat. Jangan melulu dipakai untuk bekerja keras.” (hal 143)
Nasihat ini sekaligus nasihat kepada pembaca dan penganut bahwa sastra tidak melulu soal hal-hal besar, hal-hal yang bersifat avant-garde, sejarah yang tidak tersampaikan, duka peperangan, dan seterusnya. Jelas itu tema-tema yang tidak akan lekang. Tapi, bagaimana Toples memaknai kejadian dan runyamnya isi kepala remaja pun penting dan genting disampaikan.
Dalam penjenjangan usia, kebanyakan novel kita melewatkan jenjang coming of age sebagaimana usia Toples dalam Jagat Rajawali ini. Jenjang usia remaja seperti Toples selalu dibenturkan untuk dua polarisasi kebanyakan: cinta-cintaan remaja atau kisah pergulatan mengejar mimpi.
Terlalu simpel rasanya menempatkan anak-anak seusia Toples dalam pergulatan kapitalisme, bahwa tugas mereka hanya mengejar impian demi masa depan berduit melimpah. Tidak adakeseruan berjumpa orang baru di perpustakaan, bersepeda ke sumur tua, atau membayangkan di kepalanya riuh oleh pertarungan lumba-luma, rajawali, dan harimau.
Novel ini memang tidak memberi titik terang apakah Toples ”berubah” dalam pergulatan jiwanya. Seperti sebuah syarat ketika novel disebut sebagai coming of age atau yang mengusung bildungsroman. Tidak terang, tapi bukan berarti tidak ada.
Novel ini harus dibaca pula oleh mereka yang mengamati psikologi perkembangan. Tiga binatang dalam kepala Toples sangat simbolik dan menarik untuk didekati secara teori psikologi, sebuah lapisan baru yang menguatkan fungsi sastra sebagai bor tajam yang mengorek psikologis manusia.
Setelah Olenka dan Ny. Talis karya Budi Darma, sudah cukup lama tidak membaca novel dengan latar Surabaya yang dipotret dari jalan demi jalan, susuran aspal yang cukup detail seperti ini. Kacamata pengamat dan detail seperti denah ini juga menjadi daya tarik petualangan Toples.
Jagat Rajawali memperlihatkan bahwa susastra punya jangkauan luas, menghargai semua cerita, dan tidak terjebak pada pengultusan tema tertentu. Ibarat orang tua, susastra seharusnya sudah mulai ngobrol dengan siapa saja, termasuk Toples remaja SMP yang penuh gejolak dan pemikiran aneh-aneh yang kadang di luar nalar. (*)
Judul: Jagat Rajawali
Penulis: Eko Darmoko
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Terbit: Pertama, Mei 2025
Tebal: v + 247halaman
ISBN: 9786231343727