32.7 C
Jakarta
Sunday, June 8, 2025

Bukan Hal-Hal Besar, tapi Berharga untuk Diceritakan

Jagat Rajawali memperlihatkan bahwa susastra punya jangkauan luas, tidak terjebak pada tema tertentu saja.

MUNGKIN susastra terlalu la­ma ber­diam di me­nara ga­ding. Mungkin susastra terlalu lama semedi sehingga terlalu bertukung lumus untuk cerita dengan tema-tema besar (atau setidaknya menurut anggapan saya besar).

Susastra sudah kadung di­amini untuk genre-genre yang besar. Semisal politik, sejarah, dan konflik ke­ma­nusiaan lain. Saya membayangkan bila tiba-tiba susastra turun dari menara gading, ia pasti akan gagap dan gegar budaya.

Demikian respons pertama ketika saya berhadapan de­ngan Jagat Rajawali, novel karya penulis asal Surabaya, Eko Darmoko. Novel yang dilabeli sebagai kisah akil balig ini memberi gambaran baru bahwa susastra se­ha­rus­nya memang mendedah segala aspek kehidupan. Tidak hanya fokus pada satu persoalan semata. Cerita-cerita remaja putra dengan petualangan dan penemuan yang dialami Toples juga menarik dan berharga untuk diceritakan.

Berawal dari Pertemuan

Toples yang bernama asli Tau­fan Samudera remaja yang menemukan kesukaan atas karya Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marquez sebab perjumpaannya dengan Paman Bajul. Toples siswa SMP ini kemudian kagum de­ngan dunia fiksi yang di­per­kenalkan Paman Bajul. To­ples juga me­nulis sebuah ce­rita pendek yang sudah mu­dah diduga tidak diapresiasi dengan baik oleh gurunya.

Cerpen berjudul ”Rajawali Tersesat di Pohon Mangga” itu oleh gurunya bahkan di­anggap menjiplak karya Godot. ”Kamu pasti meniru. Pohon mangga karanganmu, karakternya sama dengan pohon dalam drama Waiting for Godot.” (hal 61)

Komentar ini sebenarnya tipikal komentar guru yang selain tidak apresiatif, juga tidak senang dengan ke­ma­juan seorang siswa. Namun, novel ini tidak berlagak se­ba­gai novel penuh motivasi, yang kemudian mengubah Toples sebagai penulis besar.

Meski memang benar Toples berhasrat menjadi penulis. Pertemuannya dengan Paman Bajul, juga Rena, pemicunya. Rena membuatnya kenal de­ngan Pramoedya Ananta Toer sekaligus meminjaminya Waiting for Godot.

Baca Juga :  Mari Melihat Indonesia dari Pedalaman

Namun, peran paling pen­ting yang disajikan Rena adalah percik romansa dan pe­cah balig seorang lelaki SMP. Rena mengajarinya soal tubuh dan gejolak dalam dirinya. Rena digambarkan lebih dewasa dan tentu secara tubuh jauh berbeda. ”Aku tak ingin buah dadaku men­jadi perhatian di sekolah. Se­ra­gam kedodoran dari para guru juga ayahku.” (hal 29)

Rena dan Toples diperte­mu­kan oleh buku, juga ke­te­r­asingan. Toples dihindari sebab dia yang berpikiran aneh, bah­kan suatu kali merepotkan kelas karena harus juga mem­bahas buku sastra. Dan, Rena dijauhi sebab ya tubuhnya jauh berbeda dengan kebanyakan remaja putri seusianya.

Apakah keduanya akan menjadi sepasang kekasih? Tidak semudah itu novel Jagat Rajawali bergerak. Toples justru belajar jatuh cinta dan mim­pi basah di hadapan Tiwi. Bahkan dalam pe­ne­muan eksplorasi tubuhnya, bersama Tiwi, Toples berjumpa dengan percikan gelora itu. ”Aku memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Dan Tiwi merespons dengan tindakan yang sama.” (hal 67)

Bukan Cinta Segitiga Remaja

Namun, salah besar bila ber­anggapan novel ini tipikal novel remaja yang rebutan kekasih di antara cinta segitiga. Ini novel soal perjalanan re­maja Toples yang mengisi ma­sa SMP dengan letupan.

Sebagaimana perjalanan, Toples dan Rena dalam se­ba­gian besar alur akan ber­jum­pa dengan nenek misterius dan sebuah sumur yang juga misterius. Seorang nenek yang digambarkan antara nyata dan tidak itu justru diam-diam memberi nasihat kepada To­ples, ”Kamu terlalu serius de­ngan pikiran-pikiranmu. Se­sekali pikiranmu harus istirahat. Jangan melulu dipakai untuk bekerja keras.” (hal 143)

Nasihat ini sekaligus nasihat kepada pembaca dan peng­anut bahwa sastra tidak melulu soal hal-hal besar, hal-hal yang bersifat avant-garde, sejarah yang tidak tersampaikan, duka peperangan, dan seterusnya. Jelas itu tema-tema yang tidak akan lekang. Tapi, bagaimana Toples memaknai kejadian dan runyamnya isi kepala remaja pun penting dan gen­ting disampaikan.

Baca Juga :  Tarung Laut

Dalam penjenjangan usia, kebanyakan novel kita me­le­wat­kan jenjang coming of age sebagaimana usia Toples da­lam Jagat Rajawali ini. Jenjang usia remaja seperti Toples selalu dibenturkan untuk dua polarisasi kebanyakan: cinta-cintaan remaja atau kisah pergulatan mengejar mimpi.

Terlalu simpel rasanya me­nempatkan anak-anak seusia Toples dalam pergulatan ka­pitalisme, bahwa tugas me­reka hanya mengejar impian demi masa depan berduit melimpah. Tidak adakeseruan berjumpa orang baru di perpustakaan, ber­se­pe­da ke sumur tua, atau membayangkan di kepalanya riuh oleh pertarungan lumba-luma, rajawali, dan harimau.

Novel ini memang tidak mem­beri titik terang apakah Toples ”berubah” dalam per­gulatan jiwanya. Seperti sebuah syarat ketika novel disebut sebagai coming of age atau yang mengusung bildung­sroman. Tidak terang, tapi bukan berarti tidak ada.

Novel ini harus dibaca pula oleh mereka yang mengamati psikologi perkembangan. Tiga binatang dalam kepala Toples sangat simbolik dan menarik untuk didekati secara teori psikologi, sebuah lapisan baru yang menguatkan fungsi sastra sebagai bor tajam yang mengorek psikologis manusia.

Setelah Olenka dan Ny. Talis karya Budi Darma, sudah cukup lama tidak membaca novel dengan latar Surabaya yang dipotret dari jalan demi jalan, susuran aspal yang cukup detail seperti ini. Kacamata pengamat dan detail seperti denah ini juga menjadi daya tarik pe­tualangan Toples.

Jagat Rajawali mem­per­lihatkan bahwa susastra punya jangkauan luas, menghargai semua cerita, dan tidak terjebak pada pengultusan tema ter­tentu. Ibarat orang tua, susastra seharusnya sudah mulai ngo­brol dengan siapa saja, ter­masuk Toples remaja SMP yang penuh gejolak dan pe­mikiran aneh-aneh yang ka­dang di luar nalar. (*)

Judul: Jagat Rajawali

Penulis: Eko Darmoko

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Terbit: Pertama, Mei 2025

Tebal: v + 247halaman

ISBN: 9786231343727

Jagat Rajawali memperlihatkan bahwa susastra punya jangkauan luas, tidak terjebak pada tema tertentu saja.

MUNGKIN susastra terlalu la­ma ber­diam di me­nara ga­ding. Mungkin susastra terlalu lama semedi sehingga terlalu bertukung lumus untuk cerita dengan tema-tema besar (atau setidaknya menurut anggapan saya besar).

Susastra sudah kadung di­amini untuk genre-genre yang besar. Semisal politik, sejarah, dan konflik ke­ma­nusiaan lain. Saya membayangkan bila tiba-tiba susastra turun dari menara gading, ia pasti akan gagap dan gegar budaya.

Demikian respons pertama ketika saya berhadapan de­ngan Jagat Rajawali, novel karya penulis asal Surabaya, Eko Darmoko. Novel yang dilabeli sebagai kisah akil balig ini memberi gambaran baru bahwa susastra se­ha­rus­nya memang mendedah segala aspek kehidupan. Tidak hanya fokus pada satu persoalan semata. Cerita-cerita remaja putra dengan petualangan dan penemuan yang dialami Toples juga menarik dan berharga untuk diceritakan.

Berawal dari Pertemuan

Toples yang bernama asli Tau­fan Samudera remaja yang menemukan kesukaan atas karya Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marquez sebab perjumpaannya dengan Paman Bajul. Toples siswa SMP ini kemudian kagum de­ngan dunia fiksi yang di­per­kenalkan Paman Bajul. To­ples juga me­nulis sebuah ce­rita pendek yang sudah mu­dah diduga tidak diapresiasi dengan baik oleh gurunya.

Cerpen berjudul ”Rajawali Tersesat di Pohon Mangga” itu oleh gurunya bahkan di­anggap menjiplak karya Godot. ”Kamu pasti meniru. Pohon mangga karanganmu, karakternya sama dengan pohon dalam drama Waiting for Godot.” (hal 61)

Komentar ini sebenarnya tipikal komentar guru yang selain tidak apresiatif, juga tidak senang dengan ke­ma­juan seorang siswa. Namun, novel ini tidak berlagak se­ba­gai novel penuh motivasi, yang kemudian mengubah Toples sebagai penulis besar.

Meski memang benar Toples berhasrat menjadi penulis. Pertemuannya dengan Paman Bajul, juga Rena, pemicunya. Rena membuatnya kenal de­ngan Pramoedya Ananta Toer sekaligus meminjaminya Waiting for Godot.

Baca Juga :  Mari Melihat Indonesia dari Pedalaman

Namun, peran paling pen­ting yang disajikan Rena adalah percik romansa dan pe­cah balig seorang lelaki SMP. Rena mengajarinya soal tubuh dan gejolak dalam dirinya. Rena digambarkan lebih dewasa dan tentu secara tubuh jauh berbeda. ”Aku tak ingin buah dadaku men­jadi perhatian di sekolah. Se­ra­gam kedodoran dari para guru juga ayahku.” (hal 29)

Rena dan Toples diperte­mu­kan oleh buku, juga ke­te­r­asingan. Toples dihindari sebab dia yang berpikiran aneh, bah­kan suatu kali merepotkan kelas karena harus juga mem­bahas buku sastra. Dan, Rena dijauhi sebab ya tubuhnya jauh berbeda dengan kebanyakan remaja putri seusianya.

Apakah keduanya akan menjadi sepasang kekasih? Tidak semudah itu novel Jagat Rajawali bergerak. Toples justru belajar jatuh cinta dan mim­pi basah di hadapan Tiwi. Bahkan dalam pe­ne­muan eksplorasi tubuhnya, bersama Tiwi, Toples berjumpa dengan percikan gelora itu. ”Aku memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Dan Tiwi merespons dengan tindakan yang sama.” (hal 67)

Bukan Cinta Segitiga Remaja

Namun, salah besar bila ber­anggapan novel ini tipikal novel remaja yang rebutan kekasih di antara cinta segitiga. Ini novel soal perjalanan re­maja Toples yang mengisi ma­sa SMP dengan letupan.

Sebagaimana perjalanan, Toples dan Rena dalam se­ba­gian besar alur akan ber­jum­pa dengan nenek misterius dan sebuah sumur yang juga misterius. Seorang nenek yang digambarkan antara nyata dan tidak itu justru diam-diam memberi nasihat kepada To­ples, ”Kamu terlalu serius de­ngan pikiran-pikiranmu. Se­sekali pikiranmu harus istirahat. Jangan melulu dipakai untuk bekerja keras.” (hal 143)

Nasihat ini sekaligus nasihat kepada pembaca dan peng­anut bahwa sastra tidak melulu soal hal-hal besar, hal-hal yang bersifat avant-garde, sejarah yang tidak tersampaikan, duka peperangan, dan seterusnya. Jelas itu tema-tema yang tidak akan lekang. Tapi, bagaimana Toples memaknai kejadian dan runyamnya isi kepala remaja pun penting dan gen­ting disampaikan.

Baca Juga :  Tarung Laut

Dalam penjenjangan usia, kebanyakan novel kita me­le­wat­kan jenjang coming of age sebagaimana usia Toples da­lam Jagat Rajawali ini. Jenjang usia remaja seperti Toples selalu dibenturkan untuk dua polarisasi kebanyakan: cinta-cintaan remaja atau kisah pergulatan mengejar mimpi.

Terlalu simpel rasanya me­nempatkan anak-anak seusia Toples dalam pergulatan ka­pitalisme, bahwa tugas me­reka hanya mengejar impian demi masa depan berduit melimpah. Tidak adakeseruan berjumpa orang baru di perpustakaan, ber­se­pe­da ke sumur tua, atau membayangkan di kepalanya riuh oleh pertarungan lumba-luma, rajawali, dan harimau.

Novel ini memang tidak mem­beri titik terang apakah Toples ”berubah” dalam per­gulatan jiwanya. Seperti sebuah syarat ketika novel disebut sebagai coming of age atau yang mengusung bildung­sroman. Tidak terang, tapi bukan berarti tidak ada.

Novel ini harus dibaca pula oleh mereka yang mengamati psikologi perkembangan. Tiga binatang dalam kepala Toples sangat simbolik dan menarik untuk didekati secara teori psikologi, sebuah lapisan baru yang menguatkan fungsi sastra sebagai bor tajam yang mengorek psikologis manusia.

Setelah Olenka dan Ny. Talis karya Budi Darma, sudah cukup lama tidak membaca novel dengan latar Surabaya yang dipotret dari jalan demi jalan, susuran aspal yang cukup detail seperti ini. Kacamata pengamat dan detail seperti denah ini juga menjadi daya tarik pe­tualangan Toples.

Jagat Rajawali mem­per­lihatkan bahwa susastra punya jangkauan luas, menghargai semua cerita, dan tidak terjebak pada pengultusan tema ter­tentu. Ibarat orang tua, susastra seharusnya sudah mulai ngo­brol dengan siapa saja, ter­masuk Toples remaja SMP yang penuh gejolak dan pe­mikiran aneh-aneh yang ka­dang di luar nalar. (*)

Judul: Jagat Rajawali

Penulis: Eko Darmoko

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Terbit: Pertama, Mei 2025

Tebal: v + 247halaman

ISBN: 9786231343727

Terpopuler

Artikel Terbaru