27.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Sajak Angga Trio Sanjaya

Sepanjang Garis Tugu

/1/

Setiap perjalanan membawa hati

Kembali pada kalah

Waktu seakan badai yang tak usai

Di antara rapal tapal

Dan derau lokomotif.

Kau tanya apa yang berbeda

Dari kayuh yang menghafal peta

Mencari alamat rindu

Pintu hati buntu?

Waktu tersungkur dalam kabung

Dalam gerbong luncur jauh dari
arah timur

Tampangmu kecut, kau ingat padang
Kuruksetra

Sewaktu bheda dan danda menjadi
isyarat

Bagi lakon pandawa-korawa dikutuk
waktu

”Tapi ini Mataram, tak kenal
kutukan,”

Ucapmu bimbang. Berjalan ke utara

Meninggalkan gerbang yang kekal

Di simpang seorang melepas diri

Memanjat tugu

Mencongkel golong-gilik

”Barangkali ia dikirim waktu,”
tebakmu lugu.

Di antara gardu kaki lima,
barang-barang tua

Patung-patung gerabah juga
prasasti-pusaka.

”Tampaknya, dia masa lalu yang
dihardik waktu,”

Saat itu wajahmu tegak

Tapi langit tinggal corak.

/2/

Di antara hiruk dan hari-hari
pugar

Ada yang tak usai bagi kehilangan

Bangku-bangku kosong, rembulan
mati

Dan sepi pada lampu-lampu hati

Maka setiap memetik kembang

Di Malioboro suatu era.

Ada hati patah di pangkuannya.

Mengenang kekasih

Menghafal nama gang, nama
persimpangan

Baca Juga :  Teruntuk yang Paling, Namun Tidak Menjadi Saling

Dengan lidah hanacaraka mencari
alamat

Menjejali toko, pasar, terminal

Meraba-raba etalase,
gambar-gambar grafiti

Mencari yang tak diketahui, yang
lama mati.

”Waktu adalah serangkai babak
pada arloji

Dan sesekali seorang kehilangan
sepi,” gumammu abadi

Ketika stasiun risau melepasmu

Ketika Laut, Keraton, dan Merapi
terbelah

Oleh gerbong-gerbong waktu.

Jejak Imaji, 2020

—

Ngobaran

Ingin kudengar suaramu lewat
gelombang. Ingin kudengar suaramu

Ketika angin berembus menggiring
tongkang waktu ke tepian.

Sepertimu, Ngobaran menyeret
siapa pun pada kefanaan

Ketika waktu bagaikan jarak
merentangkan gaduh

dan kehampaan pada hidup yang
kalah

Mungkin seseorang pernah tergerus
di sini. Sepanjang hamparan pasir

Yang tak lagi menyimpan apa-apa.
Mungkin bertahun silam

Ada yang dipatahkan kelam, raga
yang menjelma bayang

dan lenyap dalam arus

Maka ingin kudengar arus itu,
sebab kutahu gairah takkan tenggelam

Ingin kudengar arah angin dan kebajikan.
Ingin kudengar namamu

Yang berkali-kali dilabuhkan
sunyi. Ketika seseorang mematikkan

Nyala kobar dan membakar jiwa
dengan api

Pantai Ngobaran, 2015–2020

—

Ongkowijoyo

Sunyi menderu dalam kerasnya
rindu

Menjejaki tanah batu meniti
kesementaraan waktu

Baca Juga :  Kota Rantau

Sepanjang pendakian mengusung
hati yang gelisah dilecut musim

Keletihan inikah yang menggiring
duka pada kesepian purba

Memaknai langkah-langkah gunung,
lembah-lembah agung

Di sini deru berlalu ke arah
telaga wungu

Di mana ribuan wahyu bersemedi,
di mana tangan-tangan sunyi

Menjelma bidadari, mengusap jiwa
dan panas ubun-ubun bumi

Di sinikah namamu bersembunyi,
menjelma kubur prasasti

Perlahan kusibak kabut, kulucuti
dendam dan benci

Dari lengkung dadaku yang kelam
dan kemarau

Kurenangi sendang, kuilhami makna
comberan

Berteguk-teguk mimpi mengalir ke
ceruk sanubari

O, betapa luas padangmu
Ongkowijoyo

Berhektare-hektare riwayat
tenggelam dalam bokor kencono

Menarik diri, menyapa biru
semesta

Bila namamu kusebut di sini,
langit sebentar luruh

Laut mendadak tumpah, bumi jiwamu
tiba bergetar dan patah

Dengan jiwa tengadah dan hati
tunduk pasrah

Kugenggam erat tanganmu yang
menjulur dari lorong waktu

Kurasakan kebekuan, kurasakan
dinginnya pertemuan

Betapa musim memisahkan bumi dan
anak-anak zaman.

Nglanggeran, 2015–2020

—

(ANGGA TRIO SANJAYA. Lahir di
Wonosari, Gunungkidul, pada 7 Juni 1991. Bergiat di komunitas ”Jejak Imaji”
Jogjakarta. Mengajar di SMP Muhammadiyah 1 Gamping)

Sepanjang Garis Tugu

/1/

Setiap perjalanan membawa hati

Kembali pada kalah

Waktu seakan badai yang tak usai

Di antara rapal tapal

Dan derau lokomotif.

Kau tanya apa yang berbeda

Dari kayuh yang menghafal peta

Mencari alamat rindu

Pintu hati buntu?

Waktu tersungkur dalam kabung

Dalam gerbong luncur jauh dari
arah timur

Tampangmu kecut, kau ingat padang
Kuruksetra

Sewaktu bheda dan danda menjadi
isyarat

Bagi lakon pandawa-korawa dikutuk
waktu

”Tapi ini Mataram, tak kenal
kutukan,”

Ucapmu bimbang. Berjalan ke utara

Meninggalkan gerbang yang kekal

Di simpang seorang melepas diri

Memanjat tugu

Mencongkel golong-gilik

”Barangkali ia dikirim waktu,”
tebakmu lugu.

Di antara gardu kaki lima,
barang-barang tua

Patung-patung gerabah juga
prasasti-pusaka.

”Tampaknya, dia masa lalu yang
dihardik waktu,”

Saat itu wajahmu tegak

Tapi langit tinggal corak.

/2/

Di antara hiruk dan hari-hari
pugar

Ada yang tak usai bagi kehilangan

Bangku-bangku kosong, rembulan
mati

Dan sepi pada lampu-lampu hati

Maka setiap memetik kembang

Di Malioboro suatu era.

Ada hati patah di pangkuannya.

Mengenang kekasih

Menghafal nama gang, nama
persimpangan

Baca Juga :  Teruntuk yang Paling, Namun Tidak Menjadi Saling

Dengan lidah hanacaraka mencari
alamat

Menjejali toko, pasar, terminal

Meraba-raba etalase,
gambar-gambar grafiti

Mencari yang tak diketahui, yang
lama mati.

”Waktu adalah serangkai babak
pada arloji

Dan sesekali seorang kehilangan
sepi,” gumammu abadi

Ketika stasiun risau melepasmu

Ketika Laut, Keraton, dan Merapi
terbelah

Oleh gerbong-gerbong waktu.

Jejak Imaji, 2020

—

Ngobaran

Ingin kudengar suaramu lewat
gelombang. Ingin kudengar suaramu

Ketika angin berembus menggiring
tongkang waktu ke tepian.

Sepertimu, Ngobaran menyeret
siapa pun pada kefanaan

Ketika waktu bagaikan jarak
merentangkan gaduh

dan kehampaan pada hidup yang
kalah

Mungkin seseorang pernah tergerus
di sini. Sepanjang hamparan pasir

Yang tak lagi menyimpan apa-apa.
Mungkin bertahun silam

Ada yang dipatahkan kelam, raga
yang menjelma bayang

dan lenyap dalam arus

Maka ingin kudengar arus itu,
sebab kutahu gairah takkan tenggelam

Ingin kudengar arah angin dan kebajikan.
Ingin kudengar namamu

Yang berkali-kali dilabuhkan
sunyi. Ketika seseorang mematikkan

Nyala kobar dan membakar jiwa
dengan api

Pantai Ngobaran, 2015–2020

—

Ongkowijoyo

Sunyi menderu dalam kerasnya
rindu

Menjejaki tanah batu meniti
kesementaraan waktu

Baca Juga :  Kota Rantau

Sepanjang pendakian mengusung
hati yang gelisah dilecut musim

Keletihan inikah yang menggiring
duka pada kesepian purba

Memaknai langkah-langkah gunung,
lembah-lembah agung

Di sini deru berlalu ke arah
telaga wungu

Di mana ribuan wahyu bersemedi,
di mana tangan-tangan sunyi

Menjelma bidadari, mengusap jiwa
dan panas ubun-ubun bumi

Di sinikah namamu bersembunyi,
menjelma kubur prasasti

Perlahan kusibak kabut, kulucuti
dendam dan benci

Dari lengkung dadaku yang kelam
dan kemarau

Kurenangi sendang, kuilhami makna
comberan

Berteguk-teguk mimpi mengalir ke
ceruk sanubari

O, betapa luas padangmu
Ongkowijoyo

Berhektare-hektare riwayat
tenggelam dalam bokor kencono

Menarik diri, menyapa biru
semesta

Bila namamu kusebut di sini,
langit sebentar luruh

Laut mendadak tumpah, bumi jiwamu
tiba bergetar dan patah

Dengan jiwa tengadah dan hati
tunduk pasrah

Kugenggam erat tanganmu yang
menjulur dari lorong waktu

Kurasakan kebekuan, kurasakan
dinginnya pertemuan

Betapa musim memisahkan bumi dan
anak-anak zaman.

Nglanggeran, 2015–2020

—

(ANGGA TRIO SANJAYA. Lahir di
Wonosari, Gunungkidul, pada 7 Juni 1991. Bergiat di komunitas ”Jejak Imaji”
Jogjakarta. Mengajar di SMP Muhammadiyah 1 Gamping)

Terpopuler

Artikel Terbaru