Oleh KUKUH BASUKI RAHMAT, Alumnus Magister Psikologi UGM dan anggota komunitas Radio Buku
—
Dalam buku Sukacita Sains, Jim Al-Khalili menjelaskan mengapa sains memberikan banyak manfaat, tapi di sisi lain masih banyak orang menolak keberadaannya. Bagaimana sains menjadi pilihan jitu dalam mengatasi segala masalah dalam hidup, namun di sisi lain masih ada yang meragukannya.
SEIRING perkembangan zaman, kebutuhan kita akan asupan sains semakin meningkat dan mendesak. Hampir seluruh aspek kehidupan kita menggunakan campur tangan sains di dalamnya. Dengan kacamata sains, kita menjadi lebih memahami segalanya dengan lebih baik dan objektif sehingga kita dapat memilih solusi dari permasalahan yang terjadi dengan lebih efektif dan efisien.
Contoh yang paling mutakhir adalah ketika pandemi Covid-19 melanda dunia. Negara-negara di dunia sangat menggantungkan hasil penelitian dari ahli virolog untuk memahami apa sebenarnya penyebab dari pandemi tersebut.
Tim epidemiologi berkontribusi besar membantu negara untuk membuat strategi menekan angka persebaran epidemi dengan menekankan social distancing dan penggunaan masker. Dalam harap-harap cemas, masyarakat juga sangat menunggu tim ahli vaksin untuk segera membuat formula vaksin terbaik untuk segera diinjeksikan.
Namun, hal itu tetap tidak serta-merta membuat sains menjadi pilihan utama dalam pola pikir masyarakat, bahkan petinggi negara, dalam mengambil keputusan. Adanya disinformasi dan kesalahpahaman membuat sains terbengkalai dan tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Hal itu bisa kita lihat dari masih banyaknya masyarakat yang enggan menggunakan masker, menjaga jarak, bahkan antivaksin.
Dalam buku Sukacita Sains, Jim AlKhalili menjelaskan mengapa sains memberikan banyak manfaat, tapi di sisi lain masih banyak orang menolak keberadaannya. Bagaimana sains menjadi pilihan jitu dalam mengatasi segala masalah dalam hidup, namun di sisi lain masih ada yang meragukannya.
Kesalahpahaman sains tidak melulu karena kurangnya pemahaman dari masyarakat awam. Perdebatan bagaimana posisi sains juga terjadi dalam debat para akademisi.
Beberapa ahli sosiolog, misalnya, menganggap para saintis terlalu naif jika melakukan metode sains tanpa konteks budaya, sejarah, ekonomi, maupun politik. Memang tidak sepenuhnya ilmuwan bebas nilai, namun jika ada kesalahan karena pengaruh nilai dan sentimen yang dianut, ilmuwan lainnya akan mengoreksinya dengan bukti-bukti yang lebih melimpah.
Jikalau seseorang bersikeras bahwa sains itu adalah sebuah ideologi, Jim memberikan perbedaan mendasar antara sains dan ideologi lainnya. Sains selalu mempunyai kemungkinan falsifikasi (falsifiability), keterulangan (repeatability), pentingnya ketidakpastian (importance of uncertainty), serta nilai dari mengakui kesalahan (value of admitting mistakes).
Jim juga mengakui bahwa sains memang tidak pernah sepenuhnya ”bebas nilai”. Ada prinsip etika, moral, dan sosial yang harus dimiliki saintis selain kejujuran, integritas, dan objektivitas.
Perbedaan lainnya yang sangat mencolok antara sains dan metode berpikir lain seperti agama, ideologi politik, dan klenik adalah bukti. Proses perumusan dalam sains hanya bisa diverifikasi dengan adanya bukti pengamatan. Semakin banyak bukti yang terkumpul, posisi teori dalam sains tersebut semakin kuat. Bukti harus lebih penting ketimbang opini.
Dalam menyikapi teori dalam sains, Jim sangat menentang simplifikasi pisau Ockham untuk segala situasi. Teori yang lebih baik mempunyai daya guna yang lebih tinggi dibandingkan teori yang kurang baik.
Teori itu bekerja terlepas bentuknya sederhana ataupun kompleks. Dalam sains tidak ada penyederhanaan secara sembrono. Jika teori itu rumit namun berfungsi, tidak perlu susah-susah merevisinya menjadi lebih sederhana.
Bias Konfirmasi
Menjadi seorang saintis tidak sertamerta menjadikan seseorang terbebas dari bias konfirmasi. Saintis juga manusia biasa yang tidak pernah lepas dari rasa bangga, cemburu, dan ambisi. Namun, setidaknya pola pikir sains memberikan filter yang rapat terhadap bias yang dihasilkan dari emosi-emosi tersebut.
Fenomena superioritas ilusi (illusory superiority) adalah salah satu bentuk bias konfirmasi yang paling umum, yaitu seseorang yang mempunyai kepercayaan diri berlebih dari kompetensinya, tanpa menyadari kelemahan yang dimilikinya. Bias konfirmasi ini biasa dinamakan sebagai efek Dunning-Kruger, diambil dari psikolog penemunya, David Dunning dan Justin Kruger.
Di era serbadigital ini, pengidap Dunning-Kruger menjadi pribadi yang paling berisik dan tersebar luas di media sosial. Keberadaan mereka sangatlah merepotkan karena mereka mempunyai pengikut yang banyak.
Contoh lain dari bias konfirmasi adalah sangat bergantung pada budaya. Kegagalan dalam satu tugas bagi warga AS sangat berpengaruh pada meningkatnya keengganan untuk menyelesaikan tugas berikutnya. Namun, sebaliknya orang Jepang akan berusaha lebih keras lagi setelah mereka mengalami kegagalan.
Dalam situasi seperti inilah metode berpikir sains sangat dibutuhkan. Bias konfirmasi akan sangat menjauhkan kita dari fakta yang objektif dan apa adanya. Dalam kadar yang lebih parah adalah ketika beberapa influencer pengidap Dunning-Kruger menjelaskan sesuatu yang salah dengan meyakinkan kepada semua pengikutnya dan menjadikannya viral.
Hal itulah yang dulu membuat masyarakat enggan menjalankan protokol kesehatan saat pandemi sehingga tim medis merasa putus asa dan memunculkan tagar #Indonesiaterserah saking frustrasinya.
Dua Petuah
Dalam dua bab terakhir, Jim memberi pesan yang patut dihayati bagi pencinta sains dan orang-orang yang khidmat menghayati sains, yaitu agar tidak takut berubah pikiran dan tetap setia membela realitas. Sains tidak mengejar kebenaran absolut. Karena sifat bisa dibantah seperti itulah sains selalu membuka pintu untuk kritik dan revisi.
Hal itulah justru yang menjadi pembeda sains dari dogma dan pseudosains yang tidak akan bisa menerima fakta yang bertentangan dengan apa yang mereka yakini.
Memahami realitas adalah tujuan dari sains. Ketika realitas bisa dipahami dengan sebaik-baiknya, kita akan lebih mudah mendapatkan solusi dari permasalahan-permasalahan pelik dalam kehidupan.
Dalam hal ini, Jim satu barisan dengan Carl Sagan, Richard Dawkins, dan Matt Ridley tentang masa depan cerah sains yang akan membawa harapan, kedalaman makna hidup, dan sukacita. (*)
Judul: Sukacita Sains
Penulis: Jim Al-Khalili
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun: September 2023
Jumlah: 126 halaman
ISBN: 978-623-134-076-4
*) KUKUH BASUKI RAHMAT, Alumnus Magister Psikologi UGM dan anggota komunitas Radio Buku