26.4 C
Jakarta
Saturday, October 5, 2024

Mewaspadai Ideologi Komunisme

Film dokumenter Pengkhianatan G 30S PKI rutin diputar setiap malam pada 30 September. Rutinitas itu seakan menjadi ritual pemerintah era Orde Baru. Agenda nonton bareng (nobar) film tersebut baru berhenti sejak era reformasi.

Namun, pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, nobar film tersebut kembali digalakkan. Hingga kini, daya tarik film garapan Arifin C. Noer itu ternyata masih besar. Masyarakat tampak menikmati film dokumenter berdurasi lebih dari 4 jam tersebut.

Pemutaran film Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut bertujuan mengingatkan masyarakat akan bahaya komunisme. Namun, harus diakui, tayangan itu sempat memicu perdebatan.

Sebagian pihak memaknai acara nobar tersebut dengan perspektif politik. Pihak lain, yakni penyelenggara nobar, menyatakan bahwa acara itu murni ditujukan untuk mengingatkan generasi bangsa pada kekejaman PKI.

Terlepas dari perdebatan itu, sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita tidak mudah melupakan sejarah. Mengutip pernyataan Sukarno, ’’Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jasmerah).’’ Semboyan itu diucapkan Sukarno dalam pidato terakhirnya saat perayaan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 1966. Melalui sejarah, suatu bangsa bisa belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan.

Pentingnya belajar dari masa lalu juga ditegaskan filsuf Yunani sekaligus bapak sejarah dunia, Thucydides (456–396 SM). Dia menyatakan, sejarah merupakan filsafat yang mengajar melalui contoh-contoh (history is philosophy teaching by examples).

Melalui sejarah, kita belajar menata masa depan yang lebih baik. Pada konteks itulah seharusnya kita membaca peristiwa G 30S PKI. Pembacaan secara jujur sangat penting agar peristiwa sejarah tidak menjadi komoditas politik.

Sejarah PKI

Sejarah PKI bermula dari perkumpulan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Perkumpulan itu berubah menjadi PKI pada 23 Mei 1920. Para ideolog komunisme dan ISDV kemudian beralih menjadi aktivis politik. Dalam Pemilu Pertama 1955, perolehan suara PKI mencapai 16,36 persen. Mereka menempati posisi empat besar di bawah PNI (22,32 persen); Masyumi (20,92 persen); dan NU (18,41 persen).

Baca Juga :  Mengakhiri Kekerasan pada Anak

Dengan besarnya dukungan politik, PKI mulai menanamkan pengaruh di berbagai segi. Mereka juga menjanjikan kesejahteraan serta keadilan sosial. Faktanya, PKI justru menghadirkan keadaan yang mengerikan. Salah satu buktinya adalah pemberontakan mereka pada 1948 yang disertai pembunuhan terhadap banyak ulama dan santri. PKI juga melakukan pemberontakan yang dikenal dengan G 30S PKI.

Pemberontakan 30 September itu memakan banyak korban. Sejumlah jenderal TNI-AD dibunuh secara keji. Pengalaman sejarah memilukan tersebut tidak boleh terlupakan. Pada konteks inilah pemerintah Orde Baru selalu memperingati G 30S PKI. Pemerintah era reformasi juga berkomitmen menjadikan G 30S PKI sebagai pelajaran berharga.

Ideologi Komunisme

Sebagai organisasi atau partai politik, PKI memang telah dibubarkan pemerintah. Namun, sebagai ideologi, komunisme akan terus tumbuh dan berkembang. Kesadaran itu sangat penting karena memberangus ideologi bukanlah pekerjaan mudah.

Karena berkaitan dengan nilai-nilai yang dipedomani, ideologi pasti bersifat laten. Jika kondisi memungkinkan, ideologi yang bersifat laten tersebut bermanifestasi dalam bentuk gerakan.

Bahaya laten ideologi komunis itulah yang harus diwaspadai. Memang, ada sebagian komponen bangsa yang meragukan kebangkitan neokomunisme. Menurut kelompok itu, di negara kelahirannya, komunisme telah runtuh. Karena itu, tidak mungkin komunisme bangkit kembali.

Namun, fakta menunjukkan adanya semangat anak-anak keturunan PKI untuk bangkit. Mereka menuntut hak dan perlakuan yang sama. Apalagi, realitas kesenjangan sosial ekonomi makin nyata terjadi di negeri tercinta. Kondisi itu berpotensi menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya ideologi komunisme. Pada era reformasi, kebebasan berserikat dan berpendapat yang dijamin undang-undang juga memberikan semangat tersendiri.

Baca Juga :  Loyalitas pada Misi Lampaui Partai Politik

Karena itu, tidak mengherankan jika ada tuntutan pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menjadi dasar pelarangan kegiatan komunisme. Sekelompok eks tahanan politik juga pernah menggugat presiden melalui Pengadilan Negeri Jakarta pada Agustus 2005 silam. Mereka mengklaim ada 20 juta anggota PKI yang menjadi korban tragedi G 30S PKI. Dengan berani mereka menuntut ganti rugi.

Cara Menyikapi

Pertanyaannya, bagaimana menyikapi kebangkitan komunisme era baru (neokomunisme)? Juga, bagaimana bangsa ini harus memperlakukan anak-anak keturunan PKI?

Sebagai bangsa yang besar, sangat penting bagi kita untuk membedakan antara anak-anak keturunan PKI dan orang tua mereka. Terasa tidak adil jika menimpakan kesalahan orang tua pada anak-anak. Jika hal itu dilakukan, pasti akan memicu dendam sejarah yang tak berkesudahan.

Anak-anak keturunan PKI harus diperlakukan sebagai sesama anak bangsa sepanjang menunjukkan kesetiaan pada Pancasila dan NKRI. Rasanya, semua elemen bangsa menyadari bahaya komunisme. Apalagi jika komunisme bermanifestasi menjadi kekuatan politik. Jika itu terjadi, sejarah kekejaman PKI akan terulang.

Karena itu, semua elemen bangsa harus meminimalkan faktor-faktor yang memicu bangkitnya komunisme. Yang terpenting, kewaspadaan terhadap komunisme tidak boleh disertai dendam supaya nilai-nilai kemanusiaan pada sesama anak bangsa tidak tercerabut. (*)

*) BIYANTO, Guru besar UIN Sunan Ampel; sekretaris PW Muhammadiyah Jatim

Film dokumenter Pengkhianatan G 30S PKI rutin diputar setiap malam pada 30 September. Rutinitas itu seakan menjadi ritual pemerintah era Orde Baru. Agenda nonton bareng (nobar) film tersebut baru berhenti sejak era reformasi.

Namun, pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, nobar film tersebut kembali digalakkan. Hingga kini, daya tarik film garapan Arifin C. Noer itu ternyata masih besar. Masyarakat tampak menikmati film dokumenter berdurasi lebih dari 4 jam tersebut.

Pemutaran film Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut bertujuan mengingatkan masyarakat akan bahaya komunisme. Namun, harus diakui, tayangan itu sempat memicu perdebatan.

Sebagian pihak memaknai acara nobar tersebut dengan perspektif politik. Pihak lain, yakni penyelenggara nobar, menyatakan bahwa acara itu murni ditujukan untuk mengingatkan generasi bangsa pada kekejaman PKI.

Terlepas dari perdebatan itu, sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita tidak mudah melupakan sejarah. Mengutip pernyataan Sukarno, ’’Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jasmerah).’’ Semboyan itu diucapkan Sukarno dalam pidato terakhirnya saat perayaan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 1966. Melalui sejarah, suatu bangsa bisa belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan.

Pentingnya belajar dari masa lalu juga ditegaskan filsuf Yunani sekaligus bapak sejarah dunia, Thucydides (456–396 SM). Dia menyatakan, sejarah merupakan filsafat yang mengajar melalui contoh-contoh (history is philosophy teaching by examples).

Melalui sejarah, kita belajar menata masa depan yang lebih baik. Pada konteks itulah seharusnya kita membaca peristiwa G 30S PKI. Pembacaan secara jujur sangat penting agar peristiwa sejarah tidak menjadi komoditas politik.

Sejarah PKI

Sejarah PKI bermula dari perkumpulan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Perkumpulan itu berubah menjadi PKI pada 23 Mei 1920. Para ideolog komunisme dan ISDV kemudian beralih menjadi aktivis politik. Dalam Pemilu Pertama 1955, perolehan suara PKI mencapai 16,36 persen. Mereka menempati posisi empat besar di bawah PNI (22,32 persen); Masyumi (20,92 persen); dan NU (18,41 persen).

Baca Juga :  Mengakhiri Kekerasan pada Anak

Dengan besarnya dukungan politik, PKI mulai menanamkan pengaruh di berbagai segi. Mereka juga menjanjikan kesejahteraan serta keadilan sosial. Faktanya, PKI justru menghadirkan keadaan yang mengerikan. Salah satu buktinya adalah pemberontakan mereka pada 1948 yang disertai pembunuhan terhadap banyak ulama dan santri. PKI juga melakukan pemberontakan yang dikenal dengan G 30S PKI.

Pemberontakan 30 September itu memakan banyak korban. Sejumlah jenderal TNI-AD dibunuh secara keji. Pengalaman sejarah memilukan tersebut tidak boleh terlupakan. Pada konteks inilah pemerintah Orde Baru selalu memperingati G 30S PKI. Pemerintah era reformasi juga berkomitmen menjadikan G 30S PKI sebagai pelajaran berharga.

Ideologi Komunisme

Sebagai organisasi atau partai politik, PKI memang telah dibubarkan pemerintah. Namun, sebagai ideologi, komunisme akan terus tumbuh dan berkembang. Kesadaran itu sangat penting karena memberangus ideologi bukanlah pekerjaan mudah.

Karena berkaitan dengan nilai-nilai yang dipedomani, ideologi pasti bersifat laten. Jika kondisi memungkinkan, ideologi yang bersifat laten tersebut bermanifestasi dalam bentuk gerakan.

Bahaya laten ideologi komunis itulah yang harus diwaspadai. Memang, ada sebagian komponen bangsa yang meragukan kebangkitan neokomunisme. Menurut kelompok itu, di negara kelahirannya, komunisme telah runtuh. Karena itu, tidak mungkin komunisme bangkit kembali.

Namun, fakta menunjukkan adanya semangat anak-anak keturunan PKI untuk bangkit. Mereka menuntut hak dan perlakuan yang sama. Apalagi, realitas kesenjangan sosial ekonomi makin nyata terjadi di negeri tercinta. Kondisi itu berpotensi menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya ideologi komunisme. Pada era reformasi, kebebasan berserikat dan berpendapat yang dijamin undang-undang juga memberikan semangat tersendiri.

Baca Juga :  Loyalitas pada Misi Lampaui Partai Politik

Karena itu, tidak mengherankan jika ada tuntutan pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menjadi dasar pelarangan kegiatan komunisme. Sekelompok eks tahanan politik juga pernah menggugat presiden melalui Pengadilan Negeri Jakarta pada Agustus 2005 silam. Mereka mengklaim ada 20 juta anggota PKI yang menjadi korban tragedi G 30S PKI. Dengan berani mereka menuntut ganti rugi.

Cara Menyikapi

Pertanyaannya, bagaimana menyikapi kebangkitan komunisme era baru (neokomunisme)? Juga, bagaimana bangsa ini harus memperlakukan anak-anak keturunan PKI?

Sebagai bangsa yang besar, sangat penting bagi kita untuk membedakan antara anak-anak keturunan PKI dan orang tua mereka. Terasa tidak adil jika menimpakan kesalahan orang tua pada anak-anak. Jika hal itu dilakukan, pasti akan memicu dendam sejarah yang tak berkesudahan.

Anak-anak keturunan PKI harus diperlakukan sebagai sesama anak bangsa sepanjang menunjukkan kesetiaan pada Pancasila dan NKRI. Rasanya, semua elemen bangsa menyadari bahaya komunisme. Apalagi jika komunisme bermanifestasi menjadi kekuatan politik. Jika itu terjadi, sejarah kekejaman PKI akan terulang.

Karena itu, semua elemen bangsa harus meminimalkan faktor-faktor yang memicu bangkitnya komunisme. Yang terpenting, kewaspadaan terhadap komunisme tidak boleh disertai dendam supaya nilai-nilai kemanusiaan pada sesama anak bangsa tidak tercerabut. (*)

*) BIYANTO, Guru besar UIN Sunan Ampel; sekretaris PW Muhammadiyah Jatim

Terpopuler

Artikel Terbaru