33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Loyalitas pada Misi Lampaui Partai Politik

PERUBAHAN pilihan politik kian lumrah di Indonesia. Bukan hanya politisinya, para partai politik (parpol) pun sudah biasa mengubah dukungan politiknya. Pada Pemilu 2024 ini fenomena tersebut makin kentara.

Pada level institusi, berbagai koalisi politik pecah karena parpol-parpolnya berubah arah politik. Misalnya, awalnya mesra, Golkar dan PPP pun berpisah. Gerindra dan PKB pun jadi beda koalisi. PSI yang awalnya tegak lurus bersama Ganjar Pranowo berbalik arah lurus mendukung Prabowo Subianto.

Di level individu tak kalah dinamis. Anies Baswedan yang awalnya mesra dengan Gerindra kini erat dengan Nasdem. Lalu, ada Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait yang menyatakan keluar dari PDIP. Juga Jusuf Kalla sebagai tokoh senior di Golkar yang memilih mendukung Anies –ketimbang Prabowo yang total didukung partai beringin tersebut.

Loyalitas Politik

Secara konsep, bertahannya sebuah partai politik sangat bergantung pada loyalitas para kadernya. Dan kesuksesan sebuah negara bergantung pada performa partai-partai politik di dalamnya (Muirhead, 2013).

”Alam” politik umumnya menuntut loyalitas luar biasa bagi para individu maupun institusi (parpol) di dalamnya. Namun, harus diakui, banyak ketidakpastian yang harus dilalui dan dinavigasi. Insentif dan kompensasi di politik tiada ukurannya karena, misalnya, sering kali tak ada gaji tetapnya.

Kadang, dipisuhi iyo, duite ora ono, dimaki iya, tak ada uangnya. Tak ayal, ketahanan mental dan kesetiaan politik menjadi modal penting kesuksesan dalam politik. Kesetiaan Presiden Jokowi bersama PDIP, misalnya, mengantarkannya ”selamat” menjalani dua periode presidensinya.

Jika loyalitas politik adalah kunci dalam mengupayakan perubahan sosial, tentu sikap inkonsisten berbagai parpol, elite politik, dan para capres-cawapres kita adalah kurang bijak. Mereka jelas banyak mengingkari perjanjian dan kesepakatan yang telah mereka setujui sebelumnya.

Redefinisi

Di era sekarang ini, para individu dan instansi politik sepertinya menginginkan fleksibilitas dalam bergerak dan memilih sikap. Karena akses pengetahuan dan informasi yang luas, kepentingan dan misi politik makin berkembang. Berbagai pemikiran dan opsi kebijakan mudah diakses dan dipelajari.

Baca Juga :  Society of Spectacle : Haruskah Kita Pamer di Sosmed?

Karena itu, di Indonesia agaknya menguat pandangan bahwa untuk siapa pun yang bermimpi membangun Indonesia, parpolnya bisa apa saja. Kondisi itu memungkinkan bagi individu, misalnya, jadi wali kota lewat partai A, lalu jadi gubernur lewat partai B dan kemudian maju jadi capres lewat partai C tanpa gejolak publik yang signifikan. Proses itu erat dengan yang dilalui, contohnya Gibran Rakabuming Raka dan Anies.

Beda kasusnya di belahan bumi lainnya. Misalnya, kepindahan Ronald Reagan pada 1962 dan Condoleezza Rice pada 1982 dari Partai Demokrat ke Partai Republik menjadi diskusi panas politik di Amerika Serikat.

Tudingan atas pengkhianatan menjadi headline di mana-mana. Perdebatannya berlarut-larut. Sebab, Reagan dan Rice berubah bukan hanya partainya, tapi juga arah ideologinya, yang awalnya liberal menjadi konservatif.

Di Indonesia, perubahan sikap PKB yang memilih bergabung dengan PKS tentu menjadi obrolan publik sebagaimana pindahnya dukungan PSI dari Ganjar ke Prabowo. Tapi, itu semua cepat mereda. Mungkin publik sudah malas berdebat karena terlalu sering berulangnya zigzag-zigzag politik di atas.

Lagi pula, meski kita punya banyak parpol, nyatanya semua adalah Pancasila dan nasionalis-religius. Dengan ideologi partai yang 11-12, berbagai perubahan sikap di atas adalah keniscayaan. Ketika menandatangani sebuah komitmen politik, mereka sudah saling tahu bahwa semua akan berubah.

Menjadi pertanyaan, apakah sebenarnya tak ada loyalitas politik di Indonesia? Jawabannya, mungkin loyalitas politik harus diredefinisikan. Jika loyalitas pada parpol dan arah politik tertentu tak bisa menjadi dorongan untuk menciptakan stabilitas dan kemajuan bangsa, kesetiaan pada misi politik menjadi lebih utama.

Kelegawaan Prabowo untuk menjadi menteri di bawah Jokowi demi persatuan dan perdamaian negara adalah contohnya. Loyalitas pada sebuah misi dan kepentingan yang lebih besar bagi bangsa menjadi jauh lebih penting daripada sekadar keukeuh menjadi oposisi.

Baca Juga :  Resistansi Massa Daerah Pinggiran

Fleksibilitas arah perjuangan politik ini nyatanya juga bisa diamati di organisasi nonpolitik seperti Nahdlatul Ulama (NU). Menjadi perdebatan publik misalnya apakah khitah NU ”menghalalkan” endorsement kepada para capres-cawapres. Terlepas dari itu, napas perjuangan NU pun menghadapi tantangan atas perlu tidaknya perbaruan tafsir ataupun redefinisi.

Harus Berbenah

Ada benarnya bahwa sistem politik dan kepartaian kita seperti industri rental mobil (Samirin, 2013). Para pemilik ”partai rental” pada dasarnya sama kepentingannya satu sama lain dan berlomba mencari ”klien”, yakni tokoh untuk menjadi ikonnya. Di sisi lain, para tokoh juga memerlukan partai ”rental” untuk ia menjalankan misinya.

Perspektif tersebut beresonansi dengan fenomena makin menguatnya misi politik dan melemahnya parpol sebagaimana dibahas di atas. Tentu ini ada baik-buruknya. Baiknya, tentu misi apa pun itu akan lebih mudah didiskusikan dan lebih cepat proses pengambilan keputusannya. Sebab, arah kebijakan dan aktornya mudah diidentifikasi dan dikonsolidasikan.

Akan tetapi, buruknya, keberlanjutan misi ini relatif tak terjamin. Konsep dan kebijakan untuk kemajuan negara harus dinegosiasikan berulang-ulang. Sebab, setiap pemilu, konstelasi aktor dan kepentingannya berubah.

Kondisi ini jelas kurang baik untuk upaya membangun kemajuan bangsa yang perlu jangka panjang dan keberlanjutan. Para parpol dan elite politik perlu berbenah terkait positioning dan daya tawar mereka dalam berbagai proses kebijakan dan pengambilan keputusan di negara ini. Sebab, pada dasarnya, konsistensi para individu dan lembaga politik adalah motor kemajuan yang berkelanjutan bagi negara. (*)

*) MUHAMAD ROSYID JAZULI, Peneliti kebijakan public dari Paramadina Public Policy Institute, kandidat doktor dari University College London

PERUBAHAN pilihan politik kian lumrah di Indonesia. Bukan hanya politisinya, para partai politik (parpol) pun sudah biasa mengubah dukungan politiknya. Pada Pemilu 2024 ini fenomena tersebut makin kentara.

Pada level institusi, berbagai koalisi politik pecah karena parpol-parpolnya berubah arah politik. Misalnya, awalnya mesra, Golkar dan PPP pun berpisah. Gerindra dan PKB pun jadi beda koalisi. PSI yang awalnya tegak lurus bersama Ganjar Pranowo berbalik arah lurus mendukung Prabowo Subianto.

Di level individu tak kalah dinamis. Anies Baswedan yang awalnya mesra dengan Gerindra kini erat dengan Nasdem. Lalu, ada Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait yang menyatakan keluar dari PDIP. Juga Jusuf Kalla sebagai tokoh senior di Golkar yang memilih mendukung Anies –ketimbang Prabowo yang total didukung partai beringin tersebut.

Loyalitas Politik

Secara konsep, bertahannya sebuah partai politik sangat bergantung pada loyalitas para kadernya. Dan kesuksesan sebuah negara bergantung pada performa partai-partai politik di dalamnya (Muirhead, 2013).

”Alam” politik umumnya menuntut loyalitas luar biasa bagi para individu maupun institusi (parpol) di dalamnya. Namun, harus diakui, banyak ketidakpastian yang harus dilalui dan dinavigasi. Insentif dan kompensasi di politik tiada ukurannya karena, misalnya, sering kali tak ada gaji tetapnya.

Kadang, dipisuhi iyo, duite ora ono, dimaki iya, tak ada uangnya. Tak ayal, ketahanan mental dan kesetiaan politik menjadi modal penting kesuksesan dalam politik. Kesetiaan Presiden Jokowi bersama PDIP, misalnya, mengantarkannya ”selamat” menjalani dua periode presidensinya.

Jika loyalitas politik adalah kunci dalam mengupayakan perubahan sosial, tentu sikap inkonsisten berbagai parpol, elite politik, dan para capres-cawapres kita adalah kurang bijak. Mereka jelas banyak mengingkari perjanjian dan kesepakatan yang telah mereka setujui sebelumnya.

Redefinisi

Di era sekarang ini, para individu dan instansi politik sepertinya menginginkan fleksibilitas dalam bergerak dan memilih sikap. Karena akses pengetahuan dan informasi yang luas, kepentingan dan misi politik makin berkembang. Berbagai pemikiran dan opsi kebijakan mudah diakses dan dipelajari.

Baca Juga :  Society of Spectacle : Haruskah Kita Pamer di Sosmed?

Karena itu, di Indonesia agaknya menguat pandangan bahwa untuk siapa pun yang bermimpi membangun Indonesia, parpolnya bisa apa saja. Kondisi itu memungkinkan bagi individu, misalnya, jadi wali kota lewat partai A, lalu jadi gubernur lewat partai B dan kemudian maju jadi capres lewat partai C tanpa gejolak publik yang signifikan. Proses itu erat dengan yang dilalui, contohnya Gibran Rakabuming Raka dan Anies.

Beda kasusnya di belahan bumi lainnya. Misalnya, kepindahan Ronald Reagan pada 1962 dan Condoleezza Rice pada 1982 dari Partai Demokrat ke Partai Republik menjadi diskusi panas politik di Amerika Serikat.

Tudingan atas pengkhianatan menjadi headline di mana-mana. Perdebatannya berlarut-larut. Sebab, Reagan dan Rice berubah bukan hanya partainya, tapi juga arah ideologinya, yang awalnya liberal menjadi konservatif.

Di Indonesia, perubahan sikap PKB yang memilih bergabung dengan PKS tentu menjadi obrolan publik sebagaimana pindahnya dukungan PSI dari Ganjar ke Prabowo. Tapi, itu semua cepat mereda. Mungkin publik sudah malas berdebat karena terlalu sering berulangnya zigzag-zigzag politik di atas.

Lagi pula, meski kita punya banyak parpol, nyatanya semua adalah Pancasila dan nasionalis-religius. Dengan ideologi partai yang 11-12, berbagai perubahan sikap di atas adalah keniscayaan. Ketika menandatangani sebuah komitmen politik, mereka sudah saling tahu bahwa semua akan berubah.

Menjadi pertanyaan, apakah sebenarnya tak ada loyalitas politik di Indonesia? Jawabannya, mungkin loyalitas politik harus diredefinisikan. Jika loyalitas pada parpol dan arah politik tertentu tak bisa menjadi dorongan untuk menciptakan stabilitas dan kemajuan bangsa, kesetiaan pada misi politik menjadi lebih utama.

Kelegawaan Prabowo untuk menjadi menteri di bawah Jokowi demi persatuan dan perdamaian negara adalah contohnya. Loyalitas pada sebuah misi dan kepentingan yang lebih besar bagi bangsa menjadi jauh lebih penting daripada sekadar keukeuh menjadi oposisi.

Baca Juga :  Resistansi Massa Daerah Pinggiran

Fleksibilitas arah perjuangan politik ini nyatanya juga bisa diamati di organisasi nonpolitik seperti Nahdlatul Ulama (NU). Menjadi perdebatan publik misalnya apakah khitah NU ”menghalalkan” endorsement kepada para capres-cawapres. Terlepas dari itu, napas perjuangan NU pun menghadapi tantangan atas perlu tidaknya perbaruan tafsir ataupun redefinisi.

Harus Berbenah

Ada benarnya bahwa sistem politik dan kepartaian kita seperti industri rental mobil (Samirin, 2013). Para pemilik ”partai rental” pada dasarnya sama kepentingannya satu sama lain dan berlomba mencari ”klien”, yakni tokoh untuk menjadi ikonnya. Di sisi lain, para tokoh juga memerlukan partai ”rental” untuk ia menjalankan misinya.

Perspektif tersebut beresonansi dengan fenomena makin menguatnya misi politik dan melemahnya parpol sebagaimana dibahas di atas. Tentu ini ada baik-buruknya. Baiknya, tentu misi apa pun itu akan lebih mudah didiskusikan dan lebih cepat proses pengambilan keputusannya. Sebab, arah kebijakan dan aktornya mudah diidentifikasi dan dikonsolidasikan.

Akan tetapi, buruknya, keberlanjutan misi ini relatif tak terjamin. Konsep dan kebijakan untuk kemajuan negara harus dinegosiasikan berulang-ulang. Sebab, setiap pemilu, konstelasi aktor dan kepentingannya berubah.

Kondisi ini jelas kurang baik untuk upaya membangun kemajuan bangsa yang perlu jangka panjang dan keberlanjutan. Para parpol dan elite politik perlu berbenah terkait positioning dan daya tawar mereka dalam berbagai proses kebijakan dan pengambilan keputusan di negara ini. Sebab, pada dasarnya, konsistensi para individu dan lembaga politik adalah motor kemajuan yang berkelanjutan bagi negara. (*)

*) MUHAMAD ROSYID JAZULI, Peneliti kebijakan public dari Paramadina Public Policy Institute, kandidat doktor dari University College London

Terpopuler

Artikel Terbaru