31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Resistansi Massa Daerah Pinggiran

KETIKA aspirasi tak kunjung diakomodasi dan perlakuan negara dirasa tidak adil, bukan tidak mungkin perlawanan massa akan timbul. Di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kantor bupati, kantor DPRD, dan bangunan di perusahaan tambang tempat massa menggelar aksi dilaporkan dibakar dan dirusak massa.

Meski 650 personel gabungan Polda Gonrontalo dan Polres Pohuwato telah dikerahkan untuk mengatasi aksi unjuk rasa, tampaknya tidak mampu mencegah ribuan demonstran yang marah.

Aksi amuk massa yang terjadi di Pohuwato adalah peristiwa kesekian kalinya yang terjadi di tanah air. Ketika industrialisasi dan proyek-proyek komersial yang masuk ke sebuah wilayah dirasa menindas dan merugikan penduduk lokal, ketidakpuasan massa sering kali ditunjukkan hingga ke cara-cara yang anarkistis.

Sebelum kasus Pohuwato, kasus Rempang juga pola yang sama. Di Batam, aksi unjuk rasa masyarakat Melayu yang menentang proyek Rempang Eco City akhirnya berujung ricuh.

 

Pinggiran

Dalam pembangunan di sebuah wilayah, perubahan pasti terjadi. Persoalannya bukan pada perubahan itu harus ditolak atau tidak, tetapi lebih pada bagaimana memastikan penduduk setempat tidak menjadi korban dari proses pembangunan yang berlangsung di wilayahnya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan penduduk lokal jika atas nama pembangunan dan kepentingan ekonomi, eksistensi mereka digusur begitu saja.

Pengalaman telah banyak membuktikan, ketika kegiatan industrialisasi yang dikembangkan di sebuah wilayah melibatkan peran serta dan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan penduduk setempat, niscaya invasi kegiatan industri yang terjadi tidak akan memicu munculnya perlawanan.

Tetapi, lain soal bila industrialisasi yang dikembangkan menafikan kepentingan penduduk setempat, dan bahkan mengalienasikan, maka jangan heran jika kemudian menstimulasi munculnya aksi unjuk rasa.

Penduduk setempat yang sudah turun-temurun mendiami sebuah wilayah tentu tidak mudah begitu mereka diminta pindah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki sentimen dan keterikatan kultural dengan tanah kelahirannya. Cuma masalahnya adalah: dalam konteks pembangunan dan industrialisasi, keberadaan penduduk setempat sering kali bukan dianggap potensi dan orang-orang yang memiliki hak atas tanahnya.

Baca Juga :  Umat Merindukan Akhlak Rasulullah SAW

Tidak sekali dua kali, keberadaan penduduk lokal dianggap sebagai gangguan atau penghambat pembangunan. Alih-alih menimbang perasaan dan hak penduduk lokal, dalam banyak kasus yang terjadi adalah proses marginalisasi dan keterpinggiran.

Dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah, sebuah wilayah yang ditempatkan sebagai kawasan pinggiran biasanya akan diposisikan asimetris. Keduanya bukan ditempatkan sebagai dua bagian yang setara dari satu keseluruhan, melainkan dinilai bahwa daerah yang termasuk pinggiran sudah sepantasnya diubah menurut kacamata pusat.

Pembangunan daerah pinggiran menurut pusat, oleh karena itu akan dipahami sebagai suatu proyek hegemoni yang tidak bisa ditolak wilayah pinggiran. Keterpinggiran sebuah wilayah dengan demikian merupakan konsep hubungan yang menyangkut suatu konstruksi sosial, bukan sekadar konstruksi alam dan wilayah yang berbeda (Shields, 1991).

Di Indonesia, kita tahu dalam 50 tahun terakhir, keterlibatan negara di daerah umumnya selalu dikembangkan dalam kerangka dan wacana keterpinggiran dan kebutuhannya akan kelancaran pembangunan ekonomi. Ketidaktertiban dalam hubungan antara penduduk dan basis sumber daya dianggap berasal, setidak-tidaknya sebagian, dari rendahnya kebudayaan dan kepribadian penduduk pedalaman itu sendiri.

Sehingga dalam praktiknya kemudian pusat merasa sah-sah saja melakukan berbagai penetrasi menurut kaidah dan asumsi-asumsi yang serba menguntungkan negara dan kekuatan komersial.

 

Potensi Pergesekan

Harapan masyarakat di daerah pinggiran sesungguhnya adalah peran negara yang bersikap adil, yang mampu menjembatani kepentingan kekuatan komersial dengan kepentingan masyarakat lokal. Ketika negara dirasa lebih mementingkan kekuatan komersial dan mengabaikan kepentingan massa, yang terjadi potensi-potensi pergesekan menjadi lebih mungkin berubah menjadi konflik terbuka.

Baca Juga :  Negara Perlu Waspada, Pengaruh Tren Medsos dan Game Online Berbahaya

Pergesekan, mulai yang elementer hingga yang bersifat ideologis, biasanya akan terjadi bila ada kondisi-kondisi sebagai berikut. Pertama, bila peluang penduduk lokal untuk dapat terserap dalam kegiatan industri dan pembangunan yang sedang dilakukan kecil atau bahkan tidak ada.

Sebuah perusahaan yang hadir di sebuah wilayah terpencil, dan terpaksa hidup menurut tata aturan yang serba kontraktual, impersonal, dan profesional, niscaya akan menyebabkan ia tumbuh eksklusif dan mengalienasikan penduduk setempat yang sudah puluhan tahun terbiasa hidup di bawah pola hubungan yang serbainformal, menonjolkan kedekatan antarorang per orang yang sifatnya personal dan semata hanya mengandalkan loyalitas.

Kedua, bila kegiatan pembangunan dan proses industrialisasi yang berlangsung tidak berusaha mengembangkan mekanisme redistribusi aset atau pembagian kembali sebagian keuntungan untuk kepentingan pengembangan kualitas sumber daya penduduk setempat.

Selama ini, banyak bukti menunjukkan bahwa kegiatan industrialisasi yang semata hanya mementingkan kepentingan produksi dan tujuan komersial tidak saja menyebabkan berkembangnya kecemburuan sosial masyarakat lokal, tetapi juga melahirkan tekanan-tekanan yang sifatnya struktural.

Bisa dibayangkan, apa jadinya jika sebuah dunia usaha dibangun sedemikian gigantik, ternyata di sekitar mereka penduduk lokal masih hidup dengan cara mengais-ngais kemiskinan dan menjadi pesakitan di tanah kelahirannya sendiri.

Aksi unjuk rasa anarkistis yang terjadi di Pohuwato dan Rempang niscaya bukan kasus yang terakhir jika posisi daerah pinggiran masih ditempatkan sebagai wilayah marginal yang tidak tepat bagi kepentingan pembangunan ekonomi dan industrialisasi. (*)

*) Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga Surabaya

KETIKA aspirasi tak kunjung diakomodasi dan perlakuan negara dirasa tidak adil, bukan tidak mungkin perlawanan massa akan timbul. Di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kantor bupati, kantor DPRD, dan bangunan di perusahaan tambang tempat massa menggelar aksi dilaporkan dibakar dan dirusak massa.

Meski 650 personel gabungan Polda Gonrontalo dan Polres Pohuwato telah dikerahkan untuk mengatasi aksi unjuk rasa, tampaknya tidak mampu mencegah ribuan demonstran yang marah.

Aksi amuk massa yang terjadi di Pohuwato adalah peristiwa kesekian kalinya yang terjadi di tanah air. Ketika industrialisasi dan proyek-proyek komersial yang masuk ke sebuah wilayah dirasa menindas dan merugikan penduduk lokal, ketidakpuasan massa sering kali ditunjukkan hingga ke cara-cara yang anarkistis.

Sebelum kasus Pohuwato, kasus Rempang juga pola yang sama. Di Batam, aksi unjuk rasa masyarakat Melayu yang menentang proyek Rempang Eco City akhirnya berujung ricuh.

 

Pinggiran

Dalam pembangunan di sebuah wilayah, perubahan pasti terjadi. Persoalannya bukan pada perubahan itu harus ditolak atau tidak, tetapi lebih pada bagaimana memastikan penduduk setempat tidak menjadi korban dari proses pembangunan yang berlangsung di wilayahnya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan penduduk lokal jika atas nama pembangunan dan kepentingan ekonomi, eksistensi mereka digusur begitu saja.

Pengalaman telah banyak membuktikan, ketika kegiatan industrialisasi yang dikembangkan di sebuah wilayah melibatkan peran serta dan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan penduduk setempat, niscaya invasi kegiatan industri yang terjadi tidak akan memicu munculnya perlawanan.

Tetapi, lain soal bila industrialisasi yang dikembangkan menafikan kepentingan penduduk setempat, dan bahkan mengalienasikan, maka jangan heran jika kemudian menstimulasi munculnya aksi unjuk rasa.

Penduduk setempat yang sudah turun-temurun mendiami sebuah wilayah tentu tidak mudah begitu mereka diminta pindah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki sentimen dan keterikatan kultural dengan tanah kelahirannya. Cuma masalahnya adalah: dalam konteks pembangunan dan industrialisasi, keberadaan penduduk setempat sering kali bukan dianggap potensi dan orang-orang yang memiliki hak atas tanahnya.

Baca Juga :  Umat Merindukan Akhlak Rasulullah SAW

Tidak sekali dua kali, keberadaan penduduk lokal dianggap sebagai gangguan atau penghambat pembangunan. Alih-alih menimbang perasaan dan hak penduduk lokal, dalam banyak kasus yang terjadi adalah proses marginalisasi dan keterpinggiran.

Dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah, sebuah wilayah yang ditempatkan sebagai kawasan pinggiran biasanya akan diposisikan asimetris. Keduanya bukan ditempatkan sebagai dua bagian yang setara dari satu keseluruhan, melainkan dinilai bahwa daerah yang termasuk pinggiran sudah sepantasnya diubah menurut kacamata pusat.

Pembangunan daerah pinggiran menurut pusat, oleh karena itu akan dipahami sebagai suatu proyek hegemoni yang tidak bisa ditolak wilayah pinggiran. Keterpinggiran sebuah wilayah dengan demikian merupakan konsep hubungan yang menyangkut suatu konstruksi sosial, bukan sekadar konstruksi alam dan wilayah yang berbeda (Shields, 1991).

Di Indonesia, kita tahu dalam 50 tahun terakhir, keterlibatan negara di daerah umumnya selalu dikembangkan dalam kerangka dan wacana keterpinggiran dan kebutuhannya akan kelancaran pembangunan ekonomi. Ketidaktertiban dalam hubungan antara penduduk dan basis sumber daya dianggap berasal, setidak-tidaknya sebagian, dari rendahnya kebudayaan dan kepribadian penduduk pedalaman itu sendiri.

Sehingga dalam praktiknya kemudian pusat merasa sah-sah saja melakukan berbagai penetrasi menurut kaidah dan asumsi-asumsi yang serba menguntungkan negara dan kekuatan komersial.

 

Potensi Pergesekan

Harapan masyarakat di daerah pinggiran sesungguhnya adalah peran negara yang bersikap adil, yang mampu menjembatani kepentingan kekuatan komersial dengan kepentingan masyarakat lokal. Ketika negara dirasa lebih mementingkan kekuatan komersial dan mengabaikan kepentingan massa, yang terjadi potensi-potensi pergesekan menjadi lebih mungkin berubah menjadi konflik terbuka.

Baca Juga :  Negara Perlu Waspada, Pengaruh Tren Medsos dan Game Online Berbahaya

Pergesekan, mulai yang elementer hingga yang bersifat ideologis, biasanya akan terjadi bila ada kondisi-kondisi sebagai berikut. Pertama, bila peluang penduduk lokal untuk dapat terserap dalam kegiatan industri dan pembangunan yang sedang dilakukan kecil atau bahkan tidak ada.

Sebuah perusahaan yang hadir di sebuah wilayah terpencil, dan terpaksa hidup menurut tata aturan yang serba kontraktual, impersonal, dan profesional, niscaya akan menyebabkan ia tumbuh eksklusif dan mengalienasikan penduduk setempat yang sudah puluhan tahun terbiasa hidup di bawah pola hubungan yang serbainformal, menonjolkan kedekatan antarorang per orang yang sifatnya personal dan semata hanya mengandalkan loyalitas.

Kedua, bila kegiatan pembangunan dan proses industrialisasi yang berlangsung tidak berusaha mengembangkan mekanisme redistribusi aset atau pembagian kembali sebagian keuntungan untuk kepentingan pengembangan kualitas sumber daya penduduk setempat.

Selama ini, banyak bukti menunjukkan bahwa kegiatan industrialisasi yang semata hanya mementingkan kepentingan produksi dan tujuan komersial tidak saja menyebabkan berkembangnya kecemburuan sosial masyarakat lokal, tetapi juga melahirkan tekanan-tekanan yang sifatnya struktural.

Bisa dibayangkan, apa jadinya jika sebuah dunia usaha dibangun sedemikian gigantik, ternyata di sekitar mereka penduduk lokal masih hidup dengan cara mengais-ngais kemiskinan dan menjadi pesakitan di tanah kelahirannya sendiri.

Aksi unjuk rasa anarkistis yang terjadi di Pohuwato dan Rempang niscaya bukan kasus yang terakhir jika posisi daerah pinggiran masih ditempatkan sebagai wilayah marginal yang tidak tepat bagi kepentingan pembangunan ekonomi dan industrialisasi. (*)

*) Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru