AKHIR-akhir ini sering terdengar teriakan, ”Covid naik lagi. Covid naik lagi…!” Nadanya mengandung kepanikan mendalam, seolah-olah sebuah hal unpredictable sementara terjadi. Padahal dengan dominasi Omicron yang transmisinya sporadis, sangat jelas jumlah kasus akan meroket. Fenomena ini sudah diprediksi dan dialami banyak negara.
Bukan sesuatu yang unpredictable. Salah satu alasannya, doubling-time Omicron adalah 2–3 hari. Artinya, setiap 2–3 hari jumlah kasus meningkat dua kali lipat. Nilai ini jauh lebih tinggi daripada doubling-time varian Delta yang berkisar 11–14 hari. Jadi, sebenarnya tidak ada yang aneh kalau jumlah kasus meroket. Justru yang aneh kalau di tengah badai Omicron ini jumlah kasus menurun.
Bila kasus meroket, apakah akan terjadi peningkatan kefatalan atau kematian? Jawabannya jelas iya. Ending-point dari semua penyakit adalah kematian. Maka, setiap pertambahan kasus penyakit berpotensi menambah kematian. Artinya, ada hubungan antara kasus dan kematian. Yang menjadi isu: apakah hubungan ini linier proporsional atau tidak? Apakah derajat peningkatan kasus sama dengan derajat peningkatan kematian? Pada fenomena Omicron, jawabannya ternyata tidak.
Omicron pertama dideteksi di Indonesia pertengahan Desember lalu. Dalam periode dua bulan, telah terjadi peningkatan laju kasus dari 0,67 menjadi 201,5 per 1 juta penduduk. Peningkatannya lebih dari 300 kali lipat. Pada saat yang sama, angka kematian (death rate) juga meningkat dari 0,03 menjadi 0,61 per 1 juta penduduk. Peningkatannya 20 kali lipat.
Artinya, laju pertambahan kematian berkali-kali lipat lebih rendah dibanding laju pertambahan kasus. Menariknya, proporsi kasus positif yang meninggal (case fatality rate) justru menurun dari 3,4 persen menjadi 0,47 persen. Ini penurunan kefatalan yang signifikan. Pesan yang disampaikan jelas: transmisi Omicron memang luas, namun kefatalannya relatif rendah (widespread but mild). Setidaknya hingga saat ini.
Bila fenomena Omicron bersifat widespread but mild, apakah tidak perlu serius menghadapinya? Tentu saja harus serius. Tingkat transmisi Omicron yang tinggi tentu berkorelasi dengan tingkat kesakitan. Semakin banyak kasus, semakin banyak pula pasien yang bergejala, membutuhkan obat dan perawatan rumah sakit. Kebutuhan logistik dan sumber daya meningkat. Bila tidak diantisipasi, akan terjadi overload yang mengancam kestabilan pelayanan.
Pelayanan bahkan bisa kolaps. Artinya, meski tingkat kefatalan Omicron relatif tidak tinggi, persebarannya yang sporadis berpotensi menguras sumber daya kesehatan. Selain itu, kematian tetaplah kematian. Ia merupakan efek tragis dan tragedi kesehatan, seberapa kecil pun jumlahnya. Artinya, jangan tidak serius berhadapan dengan Omicron. Perlawanan terhadap Omicron adalah perang dan semua perang harus dilakoni dengan serius.
Dalam perang melawan Omicron, senjata apa yang harus digunakan? Penatalaksanaan pandemi patronnya sudah jelas: pembatasan kegiatan, 3M, 3T, vaksinasi, dan obat. Senjata paling awal adalah 3M dan 3T. Ini kunci proteksi individu dan semua masyarakat harus disiplin serta konsisten melakukannya. Sesuai kebutuhan, pemerintah dapat melakukan pembatasan kegiatan sesuai stratifikasi risiko. Senjata berikutnya adalah vaksinasi.
Vaksin punya multifungsi: mencegah terinfeksi, mengurangi keluhan klinis, serta mencegah pemberatan penyakit dan kematian. Bila semua penatalaksanaan telah dilakukan dan tetap saja terinfeksi serta menderita sakit, senjata terakhir adalah obat. Kini telah banyak obat yang muncul meski yang disetujui WHO baru empat macam. Kombinasi penatalaksanaan ini menjadi multi-weapons melawan Omicron.
Didasari oleh fenomena Omicron yang terkesan widespread but mild serta telah tersedianya multi-weapons, sebagian ahli memprediksi Omicron akan menjadi end-game pandemi. Omicron dianggap sebuah faedah terselubung; menginfeksi sporadis namun menjadi pintu keluar pandemi.
Bahkan, beberapa senior WHO beropini bahwa fase akut pandemi akan berakhir tahun ini dan dunia segera masuk ke fase endemi. Artinya, Covid-19 akan terus ada, hilang-timbul, scattered, namun tidak lagi menimbulkan lonjakan kasus dan kematian yang signifikan. Syaratnya, paling tidak 70 persen penduduk bumi harus telah mendapat vaksin Covid-19. Apakah prediksi ini benar dapat tercapai?
Saat ini lebih dari 62 persen penduduk bumi telah mendapat vaksinasi. Sayangnya, persebarannya tidak merata. Di negara-negara maju, hampir 75 persen penduduknya telah mendapat vaksinasi, sementara di negara-negara berkembang penduduk yang tervaksin kurang dari itu. Karena beragam kendala, per Januari 2022, 123 negara yang terdaftar di WHO belum berhasil memvaksin 40 persen penduduknya dan 36 negara bahkan tidak mampu mencapai cakupan 10 persen.
Ketimpangan besar ini membuat sebagian negara bisa mengendalikan tingkat kasus dan kematian, sementara sebagian lainnya harus terus berjibaku dengan angka infeksi, kesakitan, dan kematian yang terus tinggi. Ketidakseimbangan ini menjadi barrier serius tercapainya target WHO.
Maka, sebagian ahli masih ragu bila Omicron ini benar-benar bisa menjadi end-game pandemi. Apalagi bila hal itu terjadi tahun ini. Menariknya, di tengah beragam pro-kontra opini, banyak negara yang buru-buru merelaksasi penatalaksanaannya. Mereka sangat yakin bahwa Omicron bisa mengantar mereka keluar pandemi.
Tentu ada alasan lain, termasuk kejenuhan terhadap pandemi plus munculnya beragam turbulensi ekonomi, sosial, dan politik. Multi-reasons. Mereka ingin segera memasuki hidup seperti dulu. Mereka lebih memilih mengambil keputusan berisiko daripada melanjutkan kehidupan dengan beragam restriksi. (*)
*) IQBAL MOCHTAR, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah