Oleh: Oscar Motuloh*
Dua pekan sudah banjir bandang maha dahsyat menghantam tiga provinsi di Pulau Emas, Andalas.
Berseliweran pula kabar dan berita kontroversial yang kebanyakan menyoroti kekecewaan warga terdampak dan masyarakat luas atas cara penanganan pemerintah dan pejabat terasnya dalam menanggulangi bencana.
Namun di antara kisruh itu menyelinap satu berita yang juga tak kalah kontroversialnya, khususnya di kalangan koki, dapur, dan pabrik beritanya.
Siklon itu berhembus dari proses dan mekanisme serta transparansi pemilihan penerima Anugerah Dewan Pers (ADP) 2025 yang dipertanyakan sejumlah konstituennya.
Penghargaan tahunan dewan independen di bidang pers yang terdiri dari unsur wartawan, pimpinan perusahaan pers serta tokoh masyarakat/ahli di bidang pers itu mulai digelar tahun 2021.
Pada penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya, ADP memilih komite juri yang dianggap kompeten untuk menentukan penghargaan kepada jurnalis, perusahaan pers/media, lembaga yang mendukung pers maupun pada tokoh perorangan yang memiliki dedikasi kepada perkembangan pers secara nasional.
ADP sejatinya ditujukan untuk menjadi wadah bergengsi bagi insan pers.
Berbeda dengan pemilihan ADP 2025, sistem dan mekanisme yang sebelumnya lazim dilaksanakan secara terbuka, dan melibatkan partisipasi konstituennya, tahun ini tampaknya dilakukan (maaf) di belakang layar tertutup.
Anggota Dewan Pers sendiri nan mengambil alih pemilihan tersebut dan sekonyong-konyong menetapkan tokoh nasional di luar bidang pers yang terpilih. Nama Jusuf Kalla (JK) ditetapkan sebagai satu-satunya calon yang tampil dalam pemilihan tahun ini.
Dengan segala hormat kepada pengusaha nasional, serta Wapres dua presiden tersebut, kiprah JK dalam blantika pers di tanah air tentu tak berkilau seperti dalam porsi dan jabatan lain yang pernah diembannya.
Itu sebabnya dapat dimaklumi jika sejumlah konstituen Dewan Pers menolak ADP 2025, terutama karena buramnya proses dan mekanisme serta transparansi dalam pelaksanaannya.
Praktek demikian menyurutkan citra independen yang harusnya diperjuangkan eksistensinya oleh Dewan Pers yang terhormat, sama seperti kita mempertahankan keberadaan pers bebas di seantero wilayah Indonesia.
Preseden ini juga semoga tak ditafsir masyarakat luas sebagai anugerah yang punya aroma politis di dalamnya. Jika ADP 2025, toh tetap akan dilaksanakan dengan kontroversi seperti itu, saya mendoakan kiranya, bapak JK berkenan menolaknya.
Sebagai penutup baiklah saya kutipkan sebuah quotes dari seorang pemimpin negara besar yang telah bubar, untuk di kontemplasi oleh sahabat-sahabat terhormat di Dewan Pers.
“Politisi di mana pun sama saja. Mereka berjanji akan membangun jembatan bahkan di tempat yang tidak ada sungainya.”
– Nikita Khrushchev (1894-1971) –
*) Oscar Motuloh: Pewarta foto, pernah bekerja di Kantor Berita Antara dan Anggota Komite Etik Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pusat


