27.3 C
Jakarta
Tuesday, April 30, 2024

Gencatan Senjata Gaza: Repetisi Afsel?

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (25/3) akhirnya berhasil meloloskan resolusi yang menyepakati gencatan senjata untuk mengatasi konflik Palestina-Israel yang berlangsung hampir tujuh bulan. Dan menimbulkan puluhan ribu korban jiwa. Salah satu penentu keberhasilan tersebut adalah abstainnya Amerika Serikat (AS).

Sebuah tindakan yang sangat berbeda dibandingkan sebelumnya. Banyak kalangan optimistis atas kemajuan ini yang diharapkan membawa perdamaian di wilayah tersebut. Pertanyaannya, apakah gencatan senjata ini berpengaruh terhadap nasib Palestina, sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan (Afsel) pada 1992?

Persamaan Afrika Selatan dan Palestina

Pada dasarnya Afsel dan Palestina adalah dua entitas politik internasional berbeda. Namun, jika dikaitkan pada konteks sejarah dan dinamika perjuangan mencapai kemerdekaan, keduanya sangatlah dekat. Hal itu bisa dilihat dari beberapa faktor. Pertama, dua kasus tersebut menggambarkan bahwa terdapat upaya perlawanan dari warga lokal terhadap warga pendatang yang membangun pemerintahan yang berdaulat.

Warga asli Afsel adalah warga kulit hitam yang dalam sejarahnya berusaha melepaskan diri dari kolonialisasi bangsa Eropa sejak abad ke-15. Setelah berakhirnya Perang Dunia (PD) II, yang memberikan kesempatan bagi negara baru merdeka, namun itu tidak terjadi pada warga kulit hitam Afsel. Kondisinya, pemerintahan Afsel jatuh pada warga kulit putih peninggalan kolonial Inggris.

Bahkan, politik apartheid, yaitu diskriminasi berdasar rasial, terus terjadi. Termasuk menjadikan Nelson Mandela sebagai tahanan selama 27 tahun hingga dibebaskan pada 1990. Pembebasan Mandela sekaligus merupakan awal dari runtuhnya apartheid dan kedaulatan warga kulit hitam Afsel. Sebab, pada 1994 Mandela berhasil menjadi presiden kulit hitam pertama di Afsel.

Kondisi Palestina pun sama dengan Afsel. Pada akhir PD II, ribuan warga Yahudi Eropa eksodus ke wilayah Palestina, yang waktu itu berada di bawah mandat Inggris, akibat dipersekusi Adolf Hitler. Dengan difasilitasi Inggris, beberapa warga Yahudi yang menganut pemikiran Zionis akhirnya berhasil mendirikan negara Israel di wilayah ”pendudukan baru” tersebut.

Baca Juga :  THR, dari Normatif ke Kesadaran Etis

Itu berarti warga lokal Palestina yang mendiami wilayah tersebut makin tidak memiliki kedaulatan sebagai bangsa merdeka. Tidak terhitung banyaknya peperangan dan konflik terjadi mulai saat itu dan yang terakhir adalah kembali pecah pada 7 Oktober tahun lalu hingga saat ini.

Kedua, AS merupakan faktor penentu dari membaiknya kondisi di Afsel dan (sejauh ini diproyeksikan) Gaza. Pada dasarnya, yang menjadi faktor penentu bukanlah posisi pemerintah AS mutlak. Namun lebih pada keberadaan masyarakat AS yang menjunjung tinggi isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

Pada kasus Afsel, bagaimana peran masyarakat sipil AS, khususnya dari kalangan kulit hitam, sangat besar kontribusinya meruntuhkan apartheid Afsel. Temuan itu ditulis Klotz (1995) di mana kekuatan sipil warga dan komunitas AS begitu sangat besar hingga mampu menekan pemerintah AS agar memberikan dukungan kepada perjuangan warga kulit hitam Afsel yang berjuang melawan apartheid.

Pada kasus Gaza saat ini, kondisinya relatif hampir sama. Para aktivis masyarakat sipil AS dari semua kalangan, termasuk selebriti, memberikan dukungan atas isu gencatan senjata.

Di antaranya Mark Ruffalo, Susan Sarandon, John Cusack, Joaquin Phoenix, Cate Blanchett, Drake, dan Dua Lipa (Economic Times 2023). Hal tersebut menjadi perhatian serius mereka karena jumlah korban jiwa mencapai lebih 32 ribu di mana 70 persennya bayi serta anak-anak.

Angka itu belum mencakup 1,1 juta jiwa yang kelaparan (Oxfam 2024), termasuk di Rafah (perbatasan Mesir-Palestina) yang ditutup Israel dari masuknya bantuan kemanusiaan internasional. Angka tersebut makin meningkat setiap harinya sehingga pejabat Kementerian Pertahanan AS menyatakan bahwa jumlah kematian di Gaza sudah jauh sangat tinggi (Washington Post, 26/3/2024).

Baca Juga :  Makan Gratis dan Pendekatan Andragogi

Peluang Kemerdekaan Palestina: Dejavu Afsel?

Dengan adanya kondisi terbaru di PBB ini, muncul optimisme baru atas peluang tidak hanya gencatan senjata, tapi juga kemerdekaan Palestina. Dukungan yang sekarang muncul atas kemerdekaan Palestina bukan hanya dari kalangan warga AS.

Namun sudah menjadi kampanye kemanusiaan global yang lintas agama, rasial, dan negara. Sejak 7 Oktober 2023, terdapat ribuan kampanye dan rally di seluruh dunia yang menyuarakan gencatan senjata sekaligus kemerdekaan Palestina.

Dibandingkan pada masa kasus Afsel, kekuatan masyarakat global saat ini bisa jadi lebih besar. Beragam bentuk kekuatan mendukung kampanye Gaza, tidak hanya dari rally serta kampanye langsung di jalanan, tapi juga dari berbagai upload media sosial yang dilakukan netizen seluruh dunia, termasuk di Gaza, untuk memberikan update secara real time ke seluruh dunia.

Selain itu, kekuatan masyarakat sipil yang terbesar saat ini digaungkan adalah BDS Movement (Boycott, Divestment, Sanction) yang berupaya memboikot produk-produk yang mendukung genosida Israel.

Tindakan itu ternyata sangat efektif dilakukan warga dunia karena mampu menurunkan laba perusahaan yang dimaksud (Time, 14/2/2024). Strategi tersebut sesungguhnya mengakar pada perjuangan nir kekerasan Mahatma Gandhi ”Satyagraha” yang berhasil melawan kolonial Inggris.

David versus Goliath Abad Ini

Becermin dari kisah Bani Israel atas pertarungan antara David versus Goliath, gambaran itu sepertinya tepat memosisikan konflik antara Palestina-Israel. Palestina mewakili entitas berkapasitas ”seadanya”, bahkan sering tidak didefinisikan sebagai negara merdeka, yang melawan kekuatan negara mapan berkekuatan militer terbesar di Timur Tengah, selevel Israel.

Pada hitungan di atas kertas, jelas Palestina kalah. Tapi, berbekal dukungan dan kekuatan masyarakat sipil global modern, bisa saja semua kondisi akan berbalik. Palestina merepetisi sejarah Afsel. Semoga. (*)

*) SITI R. SUSANTO, Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP Unair

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (25/3) akhirnya berhasil meloloskan resolusi yang menyepakati gencatan senjata untuk mengatasi konflik Palestina-Israel yang berlangsung hampir tujuh bulan. Dan menimbulkan puluhan ribu korban jiwa. Salah satu penentu keberhasilan tersebut adalah abstainnya Amerika Serikat (AS).

Sebuah tindakan yang sangat berbeda dibandingkan sebelumnya. Banyak kalangan optimistis atas kemajuan ini yang diharapkan membawa perdamaian di wilayah tersebut. Pertanyaannya, apakah gencatan senjata ini berpengaruh terhadap nasib Palestina, sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan (Afsel) pada 1992?

Persamaan Afrika Selatan dan Palestina

Pada dasarnya Afsel dan Palestina adalah dua entitas politik internasional berbeda. Namun, jika dikaitkan pada konteks sejarah dan dinamika perjuangan mencapai kemerdekaan, keduanya sangatlah dekat. Hal itu bisa dilihat dari beberapa faktor. Pertama, dua kasus tersebut menggambarkan bahwa terdapat upaya perlawanan dari warga lokal terhadap warga pendatang yang membangun pemerintahan yang berdaulat.

Warga asli Afsel adalah warga kulit hitam yang dalam sejarahnya berusaha melepaskan diri dari kolonialisasi bangsa Eropa sejak abad ke-15. Setelah berakhirnya Perang Dunia (PD) II, yang memberikan kesempatan bagi negara baru merdeka, namun itu tidak terjadi pada warga kulit hitam Afsel. Kondisinya, pemerintahan Afsel jatuh pada warga kulit putih peninggalan kolonial Inggris.

Bahkan, politik apartheid, yaitu diskriminasi berdasar rasial, terus terjadi. Termasuk menjadikan Nelson Mandela sebagai tahanan selama 27 tahun hingga dibebaskan pada 1990. Pembebasan Mandela sekaligus merupakan awal dari runtuhnya apartheid dan kedaulatan warga kulit hitam Afsel. Sebab, pada 1994 Mandela berhasil menjadi presiden kulit hitam pertama di Afsel.

Kondisi Palestina pun sama dengan Afsel. Pada akhir PD II, ribuan warga Yahudi Eropa eksodus ke wilayah Palestina, yang waktu itu berada di bawah mandat Inggris, akibat dipersekusi Adolf Hitler. Dengan difasilitasi Inggris, beberapa warga Yahudi yang menganut pemikiran Zionis akhirnya berhasil mendirikan negara Israel di wilayah ”pendudukan baru” tersebut.

Baca Juga :  THR, dari Normatif ke Kesadaran Etis

Itu berarti warga lokal Palestina yang mendiami wilayah tersebut makin tidak memiliki kedaulatan sebagai bangsa merdeka. Tidak terhitung banyaknya peperangan dan konflik terjadi mulai saat itu dan yang terakhir adalah kembali pecah pada 7 Oktober tahun lalu hingga saat ini.

Kedua, AS merupakan faktor penentu dari membaiknya kondisi di Afsel dan (sejauh ini diproyeksikan) Gaza. Pada dasarnya, yang menjadi faktor penentu bukanlah posisi pemerintah AS mutlak. Namun lebih pada keberadaan masyarakat AS yang menjunjung tinggi isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

Pada kasus Afsel, bagaimana peran masyarakat sipil AS, khususnya dari kalangan kulit hitam, sangat besar kontribusinya meruntuhkan apartheid Afsel. Temuan itu ditulis Klotz (1995) di mana kekuatan sipil warga dan komunitas AS begitu sangat besar hingga mampu menekan pemerintah AS agar memberikan dukungan kepada perjuangan warga kulit hitam Afsel yang berjuang melawan apartheid.

Pada kasus Gaza saat ini, kondisinya relatif hampir sama. Para aktivis masyarakat sipil AS dari semua kalangan, termasuk selebriti, memberikan dukungan atas isu gencatan senjata.

Di antaranya Mark Ruffalo, Susan Sarandon, John Cusack, Joaquin Phoenix, Cate Blanchett, Drake, dan Dua Lipa (Economic Times 2023). Hal tersebut menjadi perhatian serius mereka karena jumlah korban jiwa mencapai lebih 32 ribu di mana 70 persennya bayi serta anak-anak.

Angka itu belum mencakup 1,1 juta jiwa yang kelaparan (Oxfam 2024), termasuk di Rafah (perbatasan Mesir-Palestina) yang ditutup Israel dari masuknya bantuan kemanusiaan internasional. Angka tersebut makin meningkat setiap harinya sehingga pejabat Kementerian Pertahanan AS menyatakan bahwa jumlah kematian di Gaza sudah jauh sangat tinggi (Washington Post, 26/3/2024).

Baca Juga :  Makan Gratis dan Pendekatan Andragogi

Peluang Kemerdekaan Palestina: Dejavu Afsel?

Dengan adanya kondisi terbaru di PBB ini, muncul optimisme baru atas peluang tidak hanya gencatan senjata, tapi juga kemerdekaan Palestina. Dukungan yang sekarang muncul atas kemerdekaan Palestina bukan hanya dari kalangan warga AS.

Namun sudah menjadi kampanye kemanusiaan global yang lintas agama, rasial, dan negara. Sejak 7 Oktober 2023, terdapat ribuan kampanye dan rally di seluruh dunia yang menyuarakan gencatan senjata sekaligus kemerdekaan Palestina.

Dibandingkan pada masa kasus Afsel, kekuatan masyarakat global saat ini bisa jadi lebih besar. Beragam bentuk kekuatan mendukung kampanye Gaza, tidak hanya dari rally serta kampanye langsung di jalanan, tapi juga dari berbagai upload media sosial yang dilakukan netizen seluruh dunia, termasuk di Gaza, untuk memberikan update secara real time ke seluruh dunia.

Selain itu, kekuatan masyarakat sipil yang terbesar saat ini digaungkan adalah BDS Movement (Boycott, Divestment, Sanction) yang berupaya memboikot produk-produk yang mendukung genosida Israel.

Tindakan itu ternyata sangat efektif dilakukan warga dunia karena mampu menurunkan laba perusahaan yang dimaksud (Time, 14/2/2024). Strategi tersebut sesungguhnya mengakar pada perjuangan nir kekerasan Mahatma Gandhi ”Satyagraha” yang berhasil melawan kolonial Inggris.

David versus Goliath Abad Ini

Becermin dari kisah Bani Israel atas pertarungan antara David versus Goliath, gambaran itu sepertinya tepat memosisikan konflik antara Palestina-Israel. Palestina mewakili entitas berkapasitas ”seadanya”, bahkan sering tidak didefinisikan sebagai negara merdeka, yang melawan kekuatan negara mapan berkekuatan militer terbesar di Timur Tengah, selevel Israel.

Pada hitungan di atas kertas, jelas Palestina kalah. Tapi, berbekal dukungan dan kekuatan masyarakat sipil global modern, bisa saja semua kondisi akan berbalik. Palestina merepetisi sejarah Afsel. Semoga. (*)

*) SITI R. SUSANTO, Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP Unair

Terpopuler

Artikel Terbaru