Site icon Prokalteng

Selepas Buhaji Pergi

ILUSTRASI/JPC

ILUSTRASI/JPC

Aku dilarang menangis. Katanya, kepergian adalah hal yang niscaya. Namun, bagaimana mungkin? Akulah yang selama belasan tahun tidur bersamanya, meletakkan jari telunjuk dan tengahku di antara hidung dan mulutnya, memastikan dia masih bernapas.

KUDENGAR suara ibuku mendorong keluar lendir lengket dari rongga hidungnya. Aku tahu dia belum berhenti menangis sejak Buhaji tak lagi mampu bicara. Saat aku datang, ibu buru-buru menyeka kedua mata, memelukku dan berkata lirih, ”Buhaji sudah tiada.”

Dia mengakhiri kata terakhirnya sambil menumpahkan lagi rasa kehilangannya. Aku mengelus-elus punggungnya yang naik turun, apakah mengalir juga perasaan lega di dadanya?

Aku dilarang menangis, tapi ternyata bedakku jadi luntur karena duka itu terus mengalir tanpa bisa kuminta berhenti.

”Buka sebentar saja, cium keningnya. Kalau anak dan cucu tidak apa-apa, masih sedarah,” anak tertuanya membuka kafan bagian wajah dan menyilakan adik serta keponakannya yang baru sampai untuk melihat jenazah Buhaji.

Duka itu kembali menderas dan berhasil meruntuhkan pertahananku saat sekilas kulihat wajah Buhaji. Aku tak bisa menyentuhnya, aku bahkan tidak diajak untuk mendekat demi memperhatikan wajahnya untuk kali terakhir. Sekilas, kulihat tulang pipinya yang menonjol dan warna kulitnya yang pucat. Itu membuat reka ulang kebersamaanku dengannya berputar cepat di kepala.

Cahaya berkilatan dari ponsel orang-orang yang mengelilingi keranda Buhaji. Aku tahu mereka ingin mengabadikan momen ini. Namun, itu tetap terasa menjengkelkan sekali, mengapa mereka sampai hati?

”Ke mana si Amir?”

”Menemani tamu.”

”Sudah ada Hamzah, jangan fafifu terus. Minta dia siap-siap, sebentar lagi kita antar jenazah ibu.”

Amir yang mendengar namanya dipanggil oleh kakak tertua segera bangkit dan pamit pada tamu di hadapannya. Pria berusia 60 tahun itu adalah anak bungsu. Matanya sedikit merah dan agak sembap, mungkin menangis karena akan kehilangan bantuan Buhaji yang selama ini ikut menyokong kehidupannya bersama istri baru dan anak-anaknya.

”Aku ikut Mbak Tin di mobil Cipta ya?”

”Motoran aja, mobilnya enggak cukup. Aku aja nyempil kok sama Mbak Nur.” Anak kedua, perempuan satu-satunya di keluarga itu, menolak dengan judes.

Hampir semua orang tidak menyukai si anak bungsu yang menyusahkan. Beberapa mungkin sekadar memaklumi atau belum mengetahui tabiat si bungsu yang sulit mandiri walau sudah beranak-istri.

Meski tinggal berbeda kota, jarak rumahnya paling dekat dengan Buhaji. Namun, dia justru jadi yang paling jarang mengunjungi ibunya sendiri.

”Datang kalau ada perlunya aja,” begitu ungkap anak ketiga Buhaji tiap kali jadwal kunjungan mereka berbarengan.

Tak hanya itu, dia adalah anak yang, menurut keempat saudaranya, paling dimanja oleh Buhaji. Rumah diberi, sembako tak pernah absen dia ambil sendiri. Pernah dia mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Buhaji menjual tanah dan emas untuk dipinjamkan kepada putranya, tapi tak ada hasil yang didapat.

Utang itu kabarnya tak pernah lunas, toh dimakan anak sendiri, katanya.

Selain si anak bungsu ini, anak pertama hingga keempat memiliki sikap yang biasa saja. Biasa menggerutu karena Buhaji dianggap pilih kasih, biasa merepotkan Buhaji dan bhareng1-nya setiap kali datang, dan biasa menyuruh-nyuruh anak angkat untuk menuruti keinginan mereka.

”Aku ingin makan ini.”

”Aku ingin makan itu.”

”Aku ingin makan ini dan itu, banyak sekali.” Tak kenal musim, tak peduli kalau harus dicari atau dipesan jauh-jauh hari. Semua harus ada saat itu, persis yang seperti itu.

Mereka tidak akan memaksa, tapi setiap beberapa jam mereka akan kembali bertanya, ”Kalau ini ada? Kalau itu saja bagaimana? Tidak mau yang ini, harus yang itu. Tidak ada ya? Kalau begitu tidak usah, tapi dulu ada yang seperti ini. Masih belum nemu juga ya?”

 

***

Para cucu dan orang sekitar memanggilnya Buhaji. Sehari setelah Buhaji pergi, sikap ibu pada kami mulai terlihat berbeda. Frekuensi pertengkaran antara ibu dan adik bungsu kami lebih jauh berkurang. Bahkan ibu tak lagi banyak mengomentari caraku mengasuh anak atau membahas kenapa berat badan anak pertama kakak perempuanku jadi turun banyak.

Padahal, topik-topik itu biasanya jadi bahan bakar adu mulut kami dengan ibu. Dengan adik kami, ibu jadi tak terlalu sering menyemburkan amarah akibat kelalaian adik pada kebutuhannya sendiri. Begitu pun pada ayah, usahanya ikut membereskan rumah setelah pensiun juga semakin jarang dikomentari.

Tentu saja ini adalah kabar baik untuk kami. Ibu juga jadi punya lebih banyak waktu untuk beristirahat dan memikirkan diri sendiri. Sayangnya, kabar baik ini juga melahirkan kekhawatiran lantaran ibu lebih sering menangis, entah karena merasa lega atau sedih?

Selepas Buhaji pergi, tak ada lagi yang menelepon ibu belasan kali sehari. Selepas Buhaji pergi, tak perlu lagi ibu mondar-mandir dari rumah kami ke rumah Buhaji sehari tiga kali. Mungkinkah ini juga yang dialami oleh anak-anak angkat lainnya selepas Buhaji pergi?

Anak-anak angkat itu sangat terikat padanya, lebih dari anak-anak Buhaji sendiri. Mereka tidak akan dibayar sebagaimana Buhaji membayar bhareng.

Anak-anak angkat itu, yang selamanya merasa berutang budi pada Buhaji, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tidak, Buhaji maupun lima anaknya itu tidak bersikap buruk pada mereka.

Dari kecil mereka diberi pakaian layak, disekolahkan, diajari cara mencuci dan memasak. Bila beruntung dan sangat cekatan, mereka akan dapat lahan dekat rumah Buhaji secara percuma untuk membangun rumah sendiri. Semua tidak lain akan kembali pada Buhaji dan anak-anaknya. Anak-anak angkat itu tidak pernah memiliki diri mereka sendiri.

Sementara semua anak kandung Buhaji tinggal merantau. Anak pertama, kedua, dan ketiga tinggal di kota S, anak keempat di kota D, dan anak bungsunya di kota P. Mereka menjalani kehidupan bersama anak dan suami atau istri dengan tenang. Setiap bulan akan mengirim uang yang tak seberapa pada Buhaji, untuk biaya sehari-hari dan upah bhareng yang menginap di rumah Buhaji.

”Rumah ini nanti aku saja yang tempati,” si anak bungsu unjuk gigi.

”Enak saja. Lebih baik dibiarkan kosong. Siapa saja dari kita yang datang berkunjung boleh menginap di sini,” ujar anak pertama yang rutin menengok sebulan sekali.

”Tapi kalau rumah ini terlalu lama kosong, nanti dihuni jin,” anak ketiga menolak usul itu dengan hati-hati.

”Nanti kan ada Atun sama Tutik yang bisa ke sini setiap hari, buat buka jendela waktu pagi dan ditutup menjelang magrib. Disapu seminggu dua kali juga sudah cukup.” Si anak keempat yang tinggal paling jauh di kota D adalah anak yang paling banyak mengirim uang bulanan kepada Buhaji. Semua permintaan Buhaji hampir selalu dituruti oleh anak keempat ini.

Aku mendengarkan sambil mengernyit, menghentikan bunyi centong dan gelas yang berbenturan karena menuang es kelapa. Anak kedua tak banyak bicara. Pernah dia berkata pada ibuku bahwa sebagai sesama perempuan, dia tahu rasanya kelelahan mengurus Buhaji.

Dia juga pernah mencoba membawa Buhaji tinggal di kota S bersamanya. Rasa lelahnya bertambah jadi tiga kali lipat karena dia juga harus berusaha membuat Buhaji betah dan bekerja sepanjang hari. Tanpa bantuan pekerja rumah tangga dan anak-anak angkat yang selama ini menuruti setiap perintah Buhaji, dia merasa tak sanggup.

Meskipun santer terdengar ungkapan ”satu ibu sanggup mengurus sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu sanggup mengurus satu ibu”, untuk kasus Buhaji aku bisa menjamin semua anak kandung dan angkatnya pasti tetap akan merasa kelimpungan mengurus Buhaji.

Aku tahu. Akulah yang selalu menemaninya sepulang sekolah dan tidur di sampingnya hingga usiaku 17 tahun. Namun, aku juga yang akan jadi sasaran omelan ibuku jika di hari-hari besar aku duduk bersama cucu-cucu kandung Buhaji, ikut makan dari meja utama, atau tidak segera membantu mencuci piring-piring bekas makan mereka.

”Semua sudah dianggap seperti anak dan cucu sendiri. Walau ibu sudah tidak ada, kami akan tetap datang ke rumah ini. Dua-tiga bulan sekali, yang pasti pas Lebaran ke sini,” begitu penjelasan anak-anak Buhaji di depan tamu-tamu yang melayat beberapa hari kemudian.

Aku memandangi ibu. Dia masih bergeming, terlihat sedikit melamun, kemudian membuang napas pelan begitu anak pertama Buhaji mengakhiri kalimatnya.

”Ayo pulang.”

”Sekarang?” tanyaku bingung, tamu-tamu jauh belum juga pulang.

”Kalau kamu masih mau di sini, ibu bisa pulang sendiri.”

Aku segera bangkit dan meninggalkan rumah Buhaji bersama ibu yang membonceng di motor.

Di rumah, ibu menyetel ponselnya ke mode hening. Kulihat belasan telepon tidak terjawab dan beberapa pesan WhatsApp juga tidak dibaca.

Ibu hanya nyengir dan duduk memandangi TV yang menyala, terlihat tidak benar-benar menonton iklan yang sedang tayang. Lalu, kulihat sekilas ibu menyeka hidung dengan baju di bagian lehernya. Aku hanya bisa menebak-nebak isi kepalanya.

Selepas Buhaji pergi, bagaimana ibu akan menghadapi anak-anak kandung itu?

Ibu menghampiri cucu-cucunya, mengusap kedua tangan dengan cairan pembersih, lantas menyuapi mereka dengan es buah segar buatannya. (*)

1Bhareng: pekerja rumah tangga (bahasa Madura)

DWI RATIH RAMADHANY, Bekerja sebagai editor dan penulis Silsilah Duka (Basabasi/2019)

Exit mobile version