27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Cerita fiktif Tere Liye terlihat ”lebih fakta” daripada fakta-fakta. Tapi, dia agaknya luput memperhatikan tata bahasa dalam kalimat-kalimat yang disusun.

LABEL karya fiksi dalam novel memang membuat novel terkesan karya yang tidak faktual. Namun, dengan label fiksi itulah novel justru mampu mengungkapkan kejujuran tanpa ada ”ketakutan-ketakutan”. Kejujuran inilah yang saya tangkap dari novel mutakhir Tere Liye yang berjudul Tanah Para Bandit.

Tere Liye menghadirkan cerita fiktif yang terlihat ”lebih fakta” daripada fakta-fakta yang telah ada lewat kisah pedagang buku bajakan yang tetap beroperasi hingga buruan negeri yang melenggang aman di Singapura. Di balik kejujuran itu, Tere Liye agaknya luput memperhatikan tata bahasa dalam kalimat-kalimat yang disusun. Beberapa kalimat yang saya temui terkesan tidak logis dan rancu secara sintaksis.

Kejujuran Karya Fiksi

Tanah Para Bandit secara keseluruhan berkisah tentang Padma yang menghabisi kejahatan-kejahatan tingkat tinggi para ”bandit”. Berdasar perspektif sosiologi sastra, kasus-kasus yang dikisahkan Tere Liye sejatinya merupakan semesta ide yang diperoleh berdasar fenomena-fenomena di masyarakat. Beberapa fenomena yang berhasil dipotret Tere Liye adalah keberadaan penjual barang-barang bajakan yang seolah ”mustahil” dimusnahkan dan kehebatan beberapa buruan negeri ini yang sulit ditemukan ketika sudah bersembunyi di Singapura.

Senada dengan yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma (2005) dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara bahwa karya sastra itu tidak seterikat fakta-fakta di dalam jurnalisme yang dijerat dengan berbagai kepentingan. Karya sastra dapat berdiri sendiri dengan bebas untuk mengungkapkan kejujuran tanpa tendensi gegara label fiksi.

Kejujuran karya fiksi dapat dilihat di dalam Tanah Para Bandit saat Padma tak sengaja mengetahui latar belakang di balik keberadaan penjual barang-barang bajakan yang sulit dimusnahkan. Berikut kutipannya.

Baca Juga :  Berantas Mafia Tanah, Hadi Tjahjanto Harapkan Dukungan Masyarakat

”Sudah menyiapkan setoran bulan ini, Bang?”

”Sudah, tapi mereka minta tambah. Bos besar minta tambahan.”

”Buat apa lagi, Bang?”

”Tidak tahu. Tapi jika kita tidak menambah setoran bulan ini, mereka mengancam melakukan razia besar.” (halaman 152)

Sering saya temui buku-buku bajakan yang beredar secara offline maupun online dan dugaan tak berdasar saya adalah karena ”kecerdikan” penjual menjaga barang dagangannya. Namun, Tere Liye menghadirkan ”kebenaran” yang terlihat lebih faktual, yaitu karena para penjual rutin memberikan setoran kepada ”Bos Besar”.

Selain mengungkap misteri penjual barang bajakan, Tere Liye membeberkan dengan gamblang alasan dahulu kala para kriminal sulit ditangkap ketika masuk ke Singapura.

 

”Itu benar, negara kami kadang memasukkan syarat lain, karena itu bagian dari negosiasi. Tapi sesungguhnya, kami sejak lama menginginkan perjanjian ekstradisi itu. Elit pemerintahan kalianlah yang tidak pernah mau menyetujui ekstradisi itu.” (halaman 275–276)

Kerancuan Kalimat

Kekurangan yang cukup mencolok dalam Tanah Para Bandit, menurut kacamata saya sebagai dosen bahasa, adalah kerancuan tata bahasa seperti kalimat yang tidak memiliki fungsi S (subjek) dan kalimat yang cacat secara logika.

Kerancuan fungsi sintaksis yang pertama dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

”Mungkin sama seperti anak perempuan lainnya, setelah dimarahi oleh orang tua, menangis, kabur dari rumah.” (halaman 5)

Membaca kalimat tersebut seperti membaca kalimat yang masih menggantung karena ada bagian yang belum diselesaikan. Penggunaan tanda koma yang berurutan seolah hendak menginformasikan kondisi subjek. Namun, hingga muncul tanda titik, subjek memang tidak disebutkan.

Baca Juga :  Bukan Veteran

Padahal, menurut perspektif sintaksis, sebuah kalimat setidaknya memiliki fungsi SP (subjek dan predikat). Sementara itu, dalam kalimat tersebut tidak dijumpai subjeknya.

Tak jauh berbeda dengan kutipan berikut ini.

”Satu-satunya hiburan yang kumiliki. Membaca buku.” (halaman 24)

Kalimat ”Membaca Buku” sejatinya merupakan jawaban atas ungkapan satu-satunya hiburan. Namun, Tere Liye memisahnya menjadi dua kalimat. Padahal, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa struktur minimal sebuah kalimat adalah SP.

Sementara itu, kalimat ”Membaca Buku” hanya berfungsi PO (predikat dan objek). Simpulannya, ”Membaca Buku” tidak bisa disebut kalimat. Kalimat yang seharusnya ditulis adalah Satu-satunya hiburan yang kumiliki adalah membaca buku.

Kerancuan selanjutnya adalah cacat secara nalar seperti dalam kutipan berikut ini.

”Kalian lihat kakak itu, sudah cantik, pintar lagi. Dia kuliah di kampus bagus, berani merantau sendirian, ke ibu kota. Kalian tidak mau jadi dia nanti kalau besar?” (halaman 140)

Selain penggunaan tanda titik dan koma yang kacau, kalimat terakhir dari kutipan tersebut juga dapat dianggap tidak logis. Ungkapan tidak mau jadi dia adalah hal yang mustahil terjadi. Sebab, dia hanya ada satu di dunia ini. Kecuali, dia memiliki saudara kembar. Agaknya yang dimaksud Tere Liye adalah tidak mau jadi (seperti) dia yang berarti sebatas meniru hal-hal baik yang telah dilakukan dia. Akhir kata, membaca Tanah Para Bandit memang menyelami kebenaran sekaligus kerancuan. (*)

*) AKHMAD IDRIS, Dosen bahasa Indonesia di STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya sekaligus penulis buku Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia

Cerita fiktif Tere Liye terlihat ”lebih fakta” daripada fakta-fakta. Tapi, dia agaknya luput memperhatikan tata bahasa dalam kalimat-kalimat yang disusun.

LABEL karya fiksi dalam novel memang membuat novel terkesan karya yang tidak faktual. Namun, dengan label fiksi itulah novel justru mampu mengungkapkan kejujuran tanpa ada ”ketakutan-ketakutan”. Kejujuran inilah yang saya tangkap dari novel mutakhir Tere Liye yang berjudul Tanah Para Bandit.

Tere Liye menghadirkan cerita fiktif yang terlihat ”lebih fakta” daripada fakta-fakta yang telah ada lewat kisah pedagang buku bajakan yang tetap beroperasi hingga buruan negeri yang melenggang aman di Singapura. Di balik kejujuran itu, Tere Liye agaknya luput memperhatikan tata bahasa dalam kalimat-kalimat yang disusun. Beberapa kalimat yang saya temui terkesan tidak logis dan rancu secara sintaksis.

Kejujuran Karya Fiksi

Tanah Para Bandit secara keseluruhan berkisah tentang Padma yang menghabisi kejahatan-kejahatan tingkat tinggi para ”bandit”. Berdasar perspektif sosiologi sastra, kasus-kasus yang dikisahkan Tere Liye sejatinya merupakan semesta ide yang diperoleh berdasar fenomena-fenomena di masyarakat. Beberapa fenomena yang berhasil dipotret Tere Liye adalah keberadaan penjual barang-barang bajakan yang seolah ”mustahil” dimusnahkan dan kehebatan beberapa buruan negeri ini yang sulit ditemukan ketika sudah bersembunyi di Singapura.

Senada dengan yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma (2005) dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara bahwa karya sastra itu tidak seterikat fakta-fakta di dalam jurnalisme yang dijerat dengan berbagai kepentingan. Karya sastra dapat berdiri sendiri dengan bebas untuk mengungkapkan kejujuran tanpa tendensi gegara label fiksi.

Kejujuran karya fiksi dapat dilihat di dalam Tanah Para Bandit saat Padma tak sengaja mengetahui latar belakang di balik keberadaan penjual barang-barang bajakan yang sulit dimusnahkan. Berikut kutipannya.

Baca Juga :  Berantas Mafia Tanah, Hadi Tjahjanto Harapkan Dukungan Masyarakat

”Sudah menyiapkan setoran bulan ini, Bang?”

”Sudah, tapi mereka minta tambah. Bos besar minta tambahan.”

”Buat apa lagi, Bang?”

”Tidak tahu. Tapi jika kita tidak menambah setoran bulan ini, mereka mengancam melakukan razia besar.” (halaman 152)

Sering saya temui buku-buku bajakan yang beredar secara offline maupun online dan dugaan tak berdasar saya adalah karena ”kecerdikan” penjual menjaga barang dagangannya. Namun, Tere Liye menghadirkan ”kebenaran” yang terlihat lebih faktual, yaitu karena para penjual rutin memberikan setoran kepada ”Bos Besar”.

Selain mengungkap misteri penjual barang bajakan, Tere Liye membeberkan dengan gamblang alasan dahulu kala para kriminal sulit ditangkap ketika masuk ke Singapura.

 

”Itu benar, negara kami kadang memasukkan syarat lain, karena itu bagian dari negosiasi. Tapi sesungguhnya, kami sejak lama menginginkan perjanjian ekstradisi itu. Elit pemerintahan kalianlah yang tidak pernah mau menyetujui ekstradisi itu.” (halaman 275–276)

Kerancuan Kalimat

Kekurangan yang cukup mencolok dalam Tanah Para Bandit, menurut kacamata saya sebagai dosen bahasa, adalah kerancuan tata bahasa seperti kalimat yang tidak memiliki fungsi S (subjek) dan kalimat yang cacat secara logika.

Kerancuan fungsi sintaksis yang pertama dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

”Mungkin sama seperti anak perempuan lainnya, setelah dimarahi oleh orang tua, menangis, kabur dari rumah.” (halaman 5)

Membaca kalimat tersebut seperti membaca kalimat yang masih menggantung karena ada bagian yang belum diselesaikan. Penggunaan tanda koma yang berurutan seolah hendak menginformasikan kondisi subjek. Namun, hingga muncul tanda titik, subjek memang tidak disebutkan.

Baca Juga :  Bukan Veteran

Padahal, menurut perspektif sintaksis, sebuah kalimat setidaknya memiliki fungsi SP (subjek dan predikat). Sementara itu, dalam kalimat tersebut tidak dijumpai subjeknya.

Tak jauh berbeda dengan kutipan berikut ini.

”Satu-satunya hiburan yang kumiliki. Membaca buku.” (halaman 24)

Kalimat ”Membaca Buku” sejatinya merupakan jawaban atas ungkapan satu-satunya hiburan. Namun, Tere Liye memisahnya menjadi dua kalimat. Padahal, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa struktur minimal sebuah kalimat adalah SP.

Sementara itu, kalimat ”Membaca Buku” hanya berfungsi PO (predikat dan objek). Simpulannya, ”Membaca Buku” tidak bisa disebut kalimat. Kalimat yang seharusnya ditulis adalah Satu-satunya hiburan yang kumiliki adalah membaca buku.

Kerancuan selanjutnya adalah cacat secara nalar seperti dalam kutipan berikut ini.

”Kalian lihat kakak itu, sudah cantik, pintar lagi. Dia kuliah di kampus bagus, berani merantau sendirian, ke ibu kota. Kalian tidak mau jadi dia nanti kalau besar?” (halaman 140)

Selain penggunaan tanda titik dan koma yang kacau, kalimat terakhir dari kutipan tersebut juga dapat dianggap tidak logis. Ungkapan tidak mau jadi dia adalah hal yang mustahil terjadi. Sebab, dia hanya ada satu di dunia ini. Kecuali, dia memiliki saudara kembar. Agaknya yang dimaksud Tere Liye adalah tidak mau jadi (seperti) dia yang berarti sebatas meniru hal-hal baik yang telah dilakukan dia. Akhir kata, membaca Tanah Para Bandit memang menyelami kebenaran sekaligus kerancuan. (*)

*) AKHMAD IDRIS, Dosen bahasa Indonesia di STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya sekaligus penulis buku Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru