32.7 C
Jakarta
Wednesday, October 9, 2024

Dinasti Politik atau Gen Politik?

Ketika seseorang berkonsultasi kepada dokter tentang penyakit alerginya, ada pertanyaan yang pasti akan diajukan. Apakah terdapat juga riwayat alergi pada kedua orang tuanya? Pertanyaan itu belum cukup. Selanjutnya ditanyakan pola penyakit yang sama pada saudara kandungnya. Bila penyandang alergi itu sudah berkeluarga, profil anak-anaknya menjadi sasaran pertanyaan yang sama.

Konsep bahwa alergi adalah penyakit keturunan telah diyakini dan terbukti secara ilmiah. Persoalan pedigree atau ’’silsilah’’ keluarga diterapkan pula pada banyak penyakit lain. Sebut saja diabetes, hipertensi, talasemia, jenis kanker tertentu, dan bahkan gangguan mental. Masih ada lagi deretan penyakit lain yang bisa ’’diwariskan’’ dari orang tua.

Ilmu genetika telah banyak menjelaskan peran gen seseorang (genotipe) dalam membentuk tampilan (fenotipe) keturunannya. Secara sederhana, fenotipe seseorang merupakan hasil interaksi antara struktur gen yang dimiliki dan pengaruh lingkungan.

Ada contoh yang mudah dipahami, langkah kaki seorang anak hampir tidak bisa dibedakan dengan ayahnya. Cara berbicara, hobi, hingga model rambutnya pun sangat mirip. Kata orang bagaikan pinang dibelah dua. Atau peribahasa: Buah kalau jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.

Lumrah kiranya apabila seorang artis atau seniman berpotensi menghasilkan keturunan profesi yang sama pada anak-anak mereka. Tidak diragukan lagi, fenomena yang sama jamak terjadi pada politikus. Saat inilah kita bisa menyaksikan banyak anak muda yang menjadi anggota DPR. Beberapa pihak mengasumsikannya dengan ’’dinasti politik’’ (Jawa Pos, 7 Oktober 2024).

Trah

Apa yang terjadi pada sebagian tokoh politik di Indonesia bisa menjadi contoh tersirat penelitian para ahli genetika. Misalnya, Puan Maharani sebagai ketua DPR dan DPP suatu partai bisa mewakili ’’trah’’ politik kedua orang tua dan kakeknya. Demikian pula Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) serta Ibas, adik kandungnya, yang membawa ’’genetika politik’’ ayah mereka yang tak lain adalah presiden keenam RI.

Baca Juga :  Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar

Masih ada beberapa contoh tokoh politik lain di tanah air yang telah mewariskan ’’bakat politik’’ pada generasi mereka berikutnya. Para penerus itu diprediksi melanjutkan estafet kepemimpinan orang tua masing-masing membawa misi pandangan politiknya ke depan. Alhasil, Gibran Rakabuming Raka bisa dikatakan telah membawa gen dan misi ayahnya, Presiden Jokowi.

Pewarisan ’’bakat politik’’ seseorang kepada generasi penerusnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat memiliki ’’trah’’ Kennedy dan keluarga Bush yang dikenal luas malang melintang mewarnai politik Negara Paman Sam. Di Thailand ada keluarga Shinawatra.

Filipina terkenal dengan Marcos family dan dinasti Aquino-nya. Negara tetangga kita Singapura juga mempunyai pola yang tidak jauh berbeda. Lee Hsien Loong, mantan perdana menteri (PM), merupakan putra sulung Lee Kuan Yew yang juga mantan PM.

Genopolitik

Setiap manusia diperkirakan memiliki 20 ribu–25 ribu gen. Semua tersimpan dalam suatu untaian molekul panjang yang disebut DNA (deoxyribonucleic acid). Unsur-unsur kimiawi dalam DNA mengandung informasi genetik.

Ibarat kita membaca suatu kalimat yang tertera dalam suatu halaman buku, di situ tersirat adanya pesan tertentu. DNA menggunakan ’’bahasa’’ yang disebut kode genetik. Itu dapat ’’dibaca’’ oleh sel-sel hidup untuk menghasilkan sifat-sifat tertentu.

Baca Juga :  Sepak Bola, atau Olahraga, Bebas Politik?

Banyak gen pengendali unsur-unsur kimiawi dan protein pada sel-sel tubuh seorang politikus yang ternyata merupakan pewarisan orang tua. Memang, pengaruhnya tidak seratus persen. Bentuk perannya melalui interaksi dengan pola asuh keluarga serta faktor sosial-lingkungan selama individu tersebut dibesarkan.

Perilaku dan sikap politik seseorang, termasuk sifat radikal, dapat dipelajari melalui dasar-dasar genetikanya. Hal itu melingkupi genetika perilaku, psikologi, dan ilmu politik.

Dalam beberapa riset, para peneliti mengaitkannya secara spesifik dengan neuropolitik. Beberapa neurotransmitter (senyawa organik endogen yang membawa sinyal antar sel-sel saraf) di otak sangat memengaruhi pandangan dan perilaku politiknya.

Unsur kimiawi itu, antara lain, monoamin oxidase A (MAO-A), serotonin, dan dopamin. Misalnya, soal persahabatan dan ideologi politik, ada korelasi yang kuat dengan gen reseptor dopamin. Termasuk kecenderungannya untuk berafiliasi pada partai politik tertentu.

Menurut pendapat Avi Tuschman (penulis buku Our Political Nature), pandangan politik seseorang bersifat ’’warisan’’ dari orang tuanya. Persentasenya bisa 40–60 persen. Bagian otak yang dapat menerjemahkan sinyal genopolitik terletak pada cingulate anterior/depan dan amigdala kanan.

Dua bagian itu dikenal sebagai bagian dari sistem limbik yang merupakan sirkuit saraf penting. Perannya sangat krusial dalam pemrosesan emosi, memori, serta perilaku seseorang. (*)

*) ARI BASKORO, Pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD dr Soetomo

Ketika seseorang berkonsultasi kepada dokter tentang penyakit alerginya, ada pertanyaan yang pasti akan diajukan. Apakah terdapat juga riwayat alergi pada kedua orang tuanya? Pertanyaan itu belum cukup. Selanjutnya ditanyakan pola penyakit yang sama pada saudara kandungnya. Bila penyandang alergi itu sudah berkeluarga, profil anak-anaknya menjadi sasaran pertanyaan yang sama.

Konsep bahwa alergi adalah penyakit keturunan telah diyakini dan terbukti secara ilmiah. Persoalan pedigree atau ’’silsilah’’ keluarga diterapkan pula pada banyak penyakit lain. Sebut saja diabetes, hipertensi, talasemia, jenis kanker tertentu, dan bahkan gangguan mental. Masih ada lagi deretan penyakit lain yang bisa ’’diwariskan’’ dari orang tua.

Ilmu genetika telah banyak menjelaskan peran gen seseorang (genotipe) dalam membentuk tampilan (fenotipe) keturunannya. Secara sederhana, fenotipe seseorang merupakan hasil interaksi antara struktur gen yang dimiliki dan pengaruh lingkungan.

Ada contoh yang mudah dipahami, langkah kaki seorang anak hampir tidak bisa dibedakan dengan ayahnya. Cara berbicara, hobi, hingga model rambutnya pun sangat mirip. Kata orang bagaikan pinang dibelah dua. Atau peribahasa: Buah kalau jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.

Lumrah kiranya apabila seorang artis atau seniman berpotensi menghasilkan keturunan profesi yang sama pada anak-anak mereka. Tidak diragukan lagi, fenomena yang sama jamak terjadi pada politikus. Saat inilah kita bisa menyaksikan banyak anak muda yang menjadi anggota DPR. Beberapa pihak mengasumsikannya dengan ’’dinasti politik’’ (Jawa Pos, 7 Oktober 2024).

Trah

Apa yang terjadi pada sebagian tokoh politik di Indonesia bisa menjadi contoh tersirat penelitian para ahli genetika. Misalnya, Puan Maharani sebagai ketua DPR dan DPP suatu partai bisa mewakili ’’trah’’ politik kedua orang tua dan kakeknya. Demikian pula Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) serta Ibas, adik kandungnya, yang membawa ’’genetika politik’’ ayah mereka yang tak lain adalah presiden keenam RI.

Baca Juga :  Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar

Masih ada beberapa contoh tokoh politik lain di tanah air yang telah mewariskan ’’bakat politik’’ pada generasi mereka berikutnya. Para penerus itu diprediksi melanjutkan estafet kepemimpinan orang tua masing-masing membawa misi pandangan politiknya ke depan. Alhasil, Gibran Rakabuming Raka bisa dikatakan telah membawa gen dan misi ayahnya, Presiden Jokowi.

Pewarisan ’’bakat politik’’ seseorang kepada generasi penerusnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat memiliki ’’trah’’ Kennedy dan keluarga Bush yang dikenal luas malang melintang mewarnai politik Negara Paman Sam. Di Thailand ada keluarga Shinawatra.

Filipina terkenal dengan Marcos family dan dinasti Aquino-nya. Negara tetangga kita Singapura juga mempunyai pola yang tidak jauh berbeda. Lee Hsien Loong, mantan perdana menteri (PM), merupakan putra sulung Lee Kuan Yew yang juga mantan PM.

Genopolitik

Setiap manusia diperkirakan memiliki 20 ribu–25 ribu gen. Semua tersimpan dalam suatu untaian molekul panjang yang disebut DNA (deoxyribonucleic acid). Unsur-unsur kimiawi dalam DNA mengandung informasi genetik.

Ibarat kita membaca suatu kalimat yang tertera dalam suatu halaman buku, di situ tersirat adanya pesan tertentu. DNA menggunakan ’’bahasa’’ yang disebut kode genetik. Itu dapat ’’dibaca’’ oleh sel-sel hidup untuk menghasilkan sifat-sifat tertentu.

Baca Juga :  Sepak Bola, atau Olahraga, Bebas Politik?

Banyak gen pengendali unsur-unsur kimiawi dan protein pada sel-sel tubuh seorang politikus yang ternyata merupakan pewarisan orang tua. Memang, pengaruhnya tidak seratus persen. Bentuk perannya melalui interaksi dengan pola asuh keluarga serta faktor sosial-lingkungan selama individu tersebut dibesarkan.

Perilaku dan sikap politik seseorang, termasuk sifat radikal, dapat dipelajari melalui dasar-dasar genetikanya. Hal itu melingkupi genetika perilaku, psikologi, dan ilmu politik.

Dalam beberapa riset, para peneliti mengaitkannya secara spesifik dengan neuropolitik. Beberapa neurotransmitter (senyawa organik endogen yang membawa sinyal antar sel-sel saraf) di otak sangat memengaruhi pandangan dan perilaku politiknya.

Unsur kimiawi itu, antara lain, monoamin oxidase A (MAO-A), serotonin, dan dopamin. Misalnya, soal persahabatan dan ideologi politik, ada korelasi yang kuat dengan gen reseptor dopamin. Termasuk kecenderungannya untuk berafiliasi pada partai politik tertentu.

Menurut pendapat Avi Tuschman (penulis buku Our Political Nature), pandangan politik seseorang bersifat ’’warisan’’ dari orang tuanya. Persentasenya bisa 40–60 persen. Bagian otak yang dapat menerjemahkan sinyal genopolitik terletak pada cingulate anterior/depan dan amigdala kanan.

Dua bagian itu dikenal sebagai bagian dari sistem limbik yang merupakan sirkuit saraf penting. Perannya sangat krusial dalam pemrosesan emosi, memori, serta perilaku seseorang. (*)

*) ARI BASKORO, Pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD dr Soetomo

Terpopuler

Artikel Terbaru

/