MENGIRINGI Erick Thohir bertemu Gianni Infantino di Doha, Qatar, untuk merundingkan peluang Indonesia tetap menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melemparkan pernyataan bahwa urusan olahraga jangan dicampuradukkan dengan politik.
Pernyataan tersebut mungkin bermaksud untuk menormalisasi penolakan Ganjar Pranowo dan Wayan Koster atas rencana kedatangan timnas Israel ke Piala Dunia U-20 yang digelar di Indonesia dan menegaskan komitmen pemerintah sebagai tuan rumah. Namun, pada akhirnya kita semua tahu, pada 29 Maret 2023 FIFA membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Lima hari setelahnya, Dito Ariotedjo dilantik Presiden Jokowi sebagai menteri pemuda dan olahraga (Menpora) menggantikan Menko PMK Muhadjir Effendy selaku Plt Menpora. Tugas berat menanti Menpora baru tersebut. Bukan hanya harus mewujudkan arahan presiden untuk selektif dalam mengirim cabang olahraga ke SEA Games dan Asian Games; penggalakan olahraga di sekolah, kampus, sampai kampung; dan memajukan industri olahraga.
Menpora Dito juga harus mempersiapkan ajang Piala Dunia Bola Basket FIBA 2023 di Jakarta dan World Beach Games di Bali dengan dihantui pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Oleh karena itu, dalam mengemban tiga arahan presiden dan mempersiapkan ajang-ajang olahraga dunia di Indonesia, Menpora Dito menggemakan kembali pernyataan Presiden Jokowi. Dia bertekad memisahkan olahraga dengan politik meskipun sangat sulit.
Hantu pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tampaknya telah melahirkan mantra bahwa olahraga harus bebas dari politik. Apakah FIFA, yang menghidupkan hantu itu dengan menyatakan bahwa pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 karena adanya intervensi politik (istilah FIFA ”current circumstances”), mengelola sepak bola dunia tanpa politik?
Tahun 2015 FIFA tampak memperlihatkan wajah apolitisnya, melalui presidennya saat itu, Sepp Blatter, mereka mengajukan proposal laga perdamaian antara Israel dan Palestina. Namun, wajah apolitis FIFA tersebut baru diperlihatkan ketika Palestina mengajukan tuntutan kepada FIFA untuk menjatuhkan sanksi kepada Israel karena menghalangi timnas Palestina untuk berlatih, melakukan perjalanan, dan berkompetisi.
Wajah apolitis FIFA itu, tidak lain, adalah upaya untuk menghadang tuntutan Palestina agar Israel diberi ”kartu merah”. Sebab, sudah pasti Palestina menolak proposal laga perdamaian tersebut. ”Kami memilih kebebasan dan kesetaraan di atas tontonan public relation yang tidak membawa perubahan esensial,” kata pemain timnas Palestina Iyad Abu Gharqoud.
Dua tahun setelah usul Sepp Blatter, Presiden Israeli Football Association (IFA, PSSI-nya Israel) menunjukkan wajah apolitis yang sama, menawarkan laga perdamaian untuk menghadang tuntutan Palestina yang meminta FIFA menjatuhkan hukuman kepada enam klub sepak bola Israel.
Menurut Palestinian Football Association (PFA, PSSI-nya Palestina), enam klub tersebut melanggar Statuta FIFA Pasal 83 yang melarang setiap klub sepak bola anggota FIFA bermain di wilayah kedaulatan anggota FIFA lainnya sebelum ada persetujuan. Enam klub anggota IFA tersebut berkandang dan bermain sepak bola di wilayah Palestina yang dirampas Israel, West Bank. Terang saja Palestina menolak usul laga perdamaian.
Bagi PFA, laga perdamaian itu dapat dilaksanakan jika memenuhi kondisi dan persyaratan-persyaratan yang tak lain adalah pengakuan atas kebebasan dan kesetaraan Palestina, baik di dalam maupun di luar sepak bola. Tapi, FIFA berkata lain berkat campur tangan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kepada Gianni Infantino dan manuver kelompok penekan Israel di sidang FIFA yang memainkan sentimen holokaus.
Jika saja hari ini IFA atau FIFA mengajukan lagi proposal laga perdamaian antara Israel dan Palestina, dapat dipastikan akan ditolak Palestina. Penerobosan kendaraan militer Israel dan penembakan gas air mata di Stadion Faisal Al Husseini pada laga final Abu Ammar Cup tanggal 30 Maret 2023 lalu cukup memberikan bukti bahwa kesetaraan dan kebebasan tidak ada bagi orang Palestina.
Di Indonesia, kelahiran PSSI yang dibidani Ir Soeratin Sosrosoegondo pada 1930 tidak bebas politik. Jiwa zaman yang mendorong Ir Soeratin keluar dari perusahaan konstruksi Belanda Sizten en Lausada juga menjadi tenaga pendorong kelahiran PSSI. PSSI tidak hanya dibentuk untuk mewadahi kesebelasan-kesebelasan yang ada saat itu, tetapi juga untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pemuda Indonesia.
Apakah sepak bola, atau olahraga secara umum, terpisah dari politik? Olahraga menjadi murni olahraga jika olahraga secara total diacu sebagai ”permainan bebas”. Olahraga sebagai permainan bebas artinya olahraga hanya tunduk pada konvensinya sendiri yang didasarkan pada dorongan bermain universal (dorongan bermain dimiliki oleh setiap dan semua orang) dan ditujukan untuk memperoleh kenikmatan bermain serta kenikmatan menonton permainan.
Tetapi, olahraga tidak menjadi olahraga tanpa menjadi bukan olahraga. Olahraga menjadi olahraga mungkin dalam relasinya dengan identitas yang merupakan suatu ekspresi politis, atau mungkin dalam relasinya dengan ekonomi, atau mungkin dalam relasinya dengan politik sekaligus ekonomi.
Menpora Dito tidak perlu susah payah melepaskan olahraga dari politik, bukan karena sangat rumit. Tetapi karena tidak mungkin. Menpora Dito hanya mungkin mengelola olahraga dalam hubungannya dengan politik sebagai police atau politis (pinjam istilah Jacques Rancière).
Pengelolaan politik olahraga atau olahraga politik sebagai police berarti olahraga dikelola untuk memelihara status quo tatanan olahraga –dunia maupun nasional–, bahkan tatanan kehidupan dunia secara umum, yang timpang. Pengelolaannya sebagai politis berarti melakukan disensus terhadap tatanan kehidupan yang timpang tersebut. (*)
*) DWI PRANOTO, Esais dan penikmat sepak bola, tinggal di Jember