Site icon Prokalteng

Guru, Terang bagi Dunia

THIO HOK LAY

PERINGATAN Hari Guru Sedunia (World Teachers Day), 5 Oktober 2024, mengambil tajuk ”Menghargai Suara Guru: Menuju Kontrak Sosial Baru untuk Pendidikan”. Diharapkan, tema itu mampu menjadi lonceng pengingat bagi masyarakat global perihal peran vital profesi guru. Yaitu, mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban dunia.

Peringatan Hari Guru Sedunia (HGS) akan berdampak dan bermakna apabila masyarakat global, terkhusus penyelenggara dan pengambil kebijakan di bidang pendidikan, berkenan mendengarkan dan memperhatikan aspirasi serta seruan keprihatinan guru. Mereka perlu mempertimbangkan, mengadopsi, dan mengimplementasikan suara guru dalam upaya konkret meningkatkan kualitas pengajaran dan pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara menyatakan, pendidikan merupakan usaha kebudayaan yang berasas keadaban untuk memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Karena itu, guru sesungguhnya merupakan garda terdepan dalam mengawal kelahiran sumber daya manusia (SDM) berkualitas: kompeten, terampil, dan berkarakter.

Ada tiga tantangan utama pendidikan global saat ini. Pertama, isu pemerataan pendidikan. Guru perlu menyuarakan dan menyatakan keberpihakan kepada mereka yang lemah, kecil, miskin, tersisih, dan terpinggirkan yang acap kali terabaikan dalam pendidikan.

Albert Einstein, ilmuwan tersohor sepanjang masa, pernah berpesan, di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perhatian kepada manusia dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis ilmu.

Paralel dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG) yang dicanangkan UNESCO, khususnya pada butir pendidikan berkualitas, pendidikan berkualitas sesungguhnya bertujuan memastikan pendidikan yang inklusif dan merata serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup untuk semua.

Kedua, fenomena krisis literasi. Meliputi, literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, serta literasi budaya dan kewargaan. Secara konsisten dan penuh komitmen, guru perlu mengajarkan sekaligus meneladankan kepada anak-anak murid perihal gaya hidup literat: gemar membaca dan menulis. Pendek kata, krisis literasi yang berpotensi membodohkan dan memiskinkan perlu dilawan dan diperangi.

Merujuk data hasil penelitian UNESCO atas kemampuan dan keterampilan literasi masyarakat Indonesia, dari 61 negara, Indonesia berada pada urutan ke-60. Satu tingkat di bawah Thailand (ke-59) dan satu tingkat di atas Botswana (ke-61). Diungkapkan pula, minat baca masyarakat Indonesia hanyalah 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia yang berkumpul, hanya dijumpai satu orang yang rajin membaca.

Ringkasnya, UNESCO hendak mengatakan bahwa wawasan masyarakat Indonesia relatif masih sempit (ciut) akibat rendahnya minat baca. Hal itu terkonfirmasi melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2022. Mereka mencatat, angka buta aksara di Indonesia usia 15–59 tahun masih 1,5 persen. Artinya, masih terdapat 2.666.859 orang yang belum melek huruf.

Peran Teknologi

Ketiga, pemanfaatan dan penguasaan teknologi dalam dunia pendidikan. Kesibukan guru di sekolah seyogianya tak lagi semata-mata berkutat pada urusan distribusi serta penyampaian materi ajar (transfer of knowledge). Sebab, dengan teknologi internet, informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan bisa diakses secara cepat, mudah, serta murah.

Guru sebagai pengajar dan pendidik perlu beradaptasi dalam menyikapi perubahan dengan mengakrabi perkembangan teknologi sebagai sarana merancang aktivitas belajar secara kreatif dan inovatif. Dengan demikian, proses belajar-mengajar menjadi kontekstual, relevan, serta bermakna bagi peserta didik.

Prinsipnya, perkembangan teknologi hadir sebagai sarana, bukan menggantikan kehadiran dan peran guru. Profesi guru sebagai pengajar dan pendidik senyatanya tak akan pernah bisa tergantikan oleh teknologi secanggih dan semodern apa pun.

Hari-hari ini, anak-anak murid merindukan kehadiran guru-guru yang berkualitas di ruang-ruang kelas supaya mendengarkan dan menenangkan kegelisahan mereka dalam menyongsong masa depan yang sarat ketidakpastian akibat aneka krisis.

Kehadiran guru yang setulus hati mau memberikan pikiran, tenaga, dan waktu untuk menuntun anak-anak murid beranjak ke luar dari lumpur krisis yang membodohkan sangat dinanti. Dengan demikian, anak-anak bisa melangkah menuju terang pengetahuan yang memerdekakan serta memartabatkan.

Dalam Hari Guru Sedunia 2024 dan menyongsong Indonesia Emas 2045, kiranya pesan visioner proklamator bangsa bisa segera mewujud nyata. Bahwa: Indonesia bersinar bukan karena obor di Monas yang menyala, namun karena lilin-lilin yang berpijar di seantero penjuru tanah air.

Dalam pesan tersebut tersirat pemberdayaan peran guru sebagai sang pembawa terang. Selamat berpijar! (*)

*) THIO HOK LAY, Guru di Sekolah Citra Kasih Don Bosco, Pondok Indah, Jakarta Selatan

Exit mobile version