GELIAT tahun politik mulai menghangat. Semua kandidat, baik legislatif maupun eksekutif, termasuk di dalamnya pemilihan presiden, tengah melakukan persiapan. Termasuk kampanye sebagai pintu masuk para kandidat menyosialisasikan program, gagasan, dan ide-ide yang ingin diperjuangkan. Diharapkan ide, gagasan, program yang mencerdaskan, mempersatukan, dan menyejahterakan bukan lagi sekadar jargon politik, melainkan menjadi ruang produktif dan konstruktif.
Terpenting, isu-isu kampanye, terutama tentang kesejahteraan, hendaknya tidak dijadikan media transaksional semata. Namun sebagai bentuk komitmen para kandidat di semua komponen untuk diperjuangkan menjadi kebijakan dan program untuk mewujudkan kesejahteraan itu sendiri.
Isu ketenagakerjaan, khususnya perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek), menarik untuk diketengahkan. Bukan isu pinggiran yang sekadar menjadi pelengkap dan program kampanye. Perlu didorong agar menjadi isu sentral dari sebuah ruang demokrasi seperti pemilu. Secara bersama-sama kita menggaungkan isu perlindungan sosial menjadi isu politik yang mempersatukan, mencerdaskan, dan memihak kepentingan publik.
Menurut Anderson (Azmy, 2012), kebijakan publik dimulai dari tahap agenda kebijakan sampai tahap evaluasi. Penulis ingin mengatakan, suatu kebijakan berangkat dari masalah publik yang mendapatkan perhatian pemerintah, kemudian dituangkan dalam kebijakan berupa undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan presiden untuk diimplementasikan.
Bicara tentang politik kesejahteraan, secara garis besar bermuara pada dua orientasi. Yakni, welfare society (masyarakat kesejahteraan), usaha kesejahteraan sosial dilaksanakan masyarakat sipil (civil society) dan welfare state (negara kesejahteraan), negara memastikan terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Secara konstitusional, Indonesia menganut welfare state. Namun, realitanya makna kesejahteraan sesungguhnya sesuai dengan konsep awal welfare state semakin bias. Sebab, seluruh undang-undang maupun pasalnya tak jarang sebatas aturan tertulis, tidak sepenuhnya diimplementasikan.
Di sinilah tanggung jawab dan peran negara dituntut untuk mewujudkan negara berkesejahteraan, dengan keterbatasan yang ada dibutuhkan dukungan atau partisipasi dari unsur masyarakat sipil.
Menuju Perlindungan Semesta
Terbitnya Peraturan Presiden 36/2023 tentang Peta Jalan Jaminan Sosial Tahun 2023–2024 semakin menegaskan secara politik negara memiliki strategi pencapaian target semesta yang tertuang dalam strategi jangka pendek dan jangka panjang. Perpres itu menjadi bagian komitmen atas keseriusan negara mewujudkan perlindungan semesta (universal coverage). Peta jalan menjadi acuan pencapaian target, baik itu kepesertaan, program, maupun pengelolaan investasi.
Namun, alangkah baiknya peta jalan itu juga menjabarkan perlindungan bagi pekerja miskin/rentan sebagai skema pemberian jamsostek bagi orang-orang yang kurang beruntung atau rentan. Di sinilah esensi kehadiran negara secara inklusi memberikan perlindungan kepada pekerja, menjadi sebuah kebijakan memiliki kepentingan sosial, moral, dan politik untuk memastikan terwujudnya jamsostek yang inklusif, terbuka, serta tidak memandang golongan dan strata sosial ekonomi.
Dari total 138,6 juta pekerja (Sakernas Februari 2023), pada 2023 tema growth BPJS Ketenagakerjaan menetapkan 99 juta perlindungan semesta, mengakuisisi 36,7 juta (37 persen). Bukan penerima upah (BPU) dari potensi 45 juta tenaga kerja, pada 2023 ditargetkan 11,8 juta tenaga kerja, realisasinya 5,9 juta, terdapat gap 13 persen.
Strategi perluasan kepesertaan BPU sudah diupayakan, tetapi masih perlu diuji efektivitasnya. Dibutuhkan keseriusan langkah penerapannya di lapangan. Fokus pada sasaran prioritas, yakni pekerja miskin/rentan, sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Aturan itu menjadi landasan kuat penyelenggara negara dalam memberikan perlindungan kepada pekerja rentan/miskin melalui program pemberian bantuan iuran (PBI) seperti halnya jaminan kesehatan.
Skema BPU dipandang perlu masuk dalam Perpres 36/2023 yang menjadi peta jalan komprehensif sesuai Inpres 2/2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jamsostek. Dibutuhkan payung hukum atau regulasi untuk mengurai kemiskinan ekstrem melalui skema PBI.
Dalam pidato kenegaraan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 16 Agustus 2023, presiden menyebutkan negara telah menyiapkan anggaran perlindungan sosial Rp 3.212 triliun dari 2015 sampai 2023. Namun, belum spesifik memasukkan skema PBI untuk pekerja miskin/rentan yang akan menjadi legacy kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Konstruksi pemikiran politik kesejahteraan, khususnya politik jamsostek, memberikan ruang dan arah bagi terbangunnya isu, kebijakan, dan program kesejahteraan pekerja sebagai perwujudan dari interes politik yang memihak.
Sudah saatnya isu kesejahteraan lebih kuat lagi didorong menjadi isu sentral dalam tataran percaturan politik nasional yang sedang berlangsung. Momen HUT Ke-78 RI menjadi tonggak mengingatkan para pihak akan spirit nasionalisme dan kebangsaan, serta kepedulian lebih dipertegas.
Selamat berkontestasi secara damai, rasional, dan membawa kesejahteraan bagi seluruh bangsa. Pekerja terlindungi, bangsa sejahtera, Indonesia maju. (*)
*) MUHAMMAD ZUHRI BAHRI, Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan