26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kepelikan Koalisi Parpol di Indonesia

”POLITIK adalah seni mengelola ketidakpastian.” Pernyataan Andreas Schedler itulah kesimpulan yang tepat untuk menggambarkan dinamika politik koalisi parpol belakangan ini. Hampir satu tahun partai politik sibuk mencari koalisi pasti di Pilpres 2024. Namun, hingga saat ini koalisi yang sudah ada selalu dibayang-bayangi wacana pembentukan koalisi besar.

Wacana koalisi besar memang sudah lama diembuskan, sejak pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan para ketua umum parpol pada April 2023. Wacana tersebut kembali mengemuka setelah Ketua Bappilu Partai Golkar Nusron Wahid mengatakan akan mengumumkan capres-cawapres dari koalisi besar.

Diduga, gabungan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Pernyataan Nusron itu seolah menjadi sinyal bahwa konstelasi politik koalisi parpol masih berada di ambang ketidakpastian. Terutama bagi KIB setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDI Perjuangan (PDIP).

Sejauh ini sudah ada tiga poros koalisi yang terbentuk dan masing-masing telah mendeklarasikan capres. Selain PDIP tadi, juga ada Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) gabungan Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS yang sudah sejak awal mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai capres. KKIR yang terdiri dari Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga telah mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai capres.

Sebenarnya bukan hanya KIB, hampir semua koalisi dirundung ketidakpastian di dalam berkoalisi. Ketidakpastian terjadi karena kerumitan koalisi, terutama dalam menentukan siapa cawapres yang akan mendampingi capres yang diusung. Itulah yang mengakibatkan sistem koalisi sejauh ini seolah tidak menentu, selain karena sistem koalisi tidak memiliki roh serupa visi dan misi dan agenda programatik yang hendak dicapai koalisi.

Sebab, praktis pembicaraan koalisi di pemilu hanya soal hitung-hitungan politik siapa dan partai apa yang mendapatkan jatah capres dan cawapres. Bukan wacana program apa dan agenda progresif apa yang akan diselesaikan.

Baca Juga :  La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

Hal itu jauh berbeda dengan koalisi di pemilu Italia, misalnya. Koalisi pengusung Presiden Giorgia Meloni di Pemilu 2022 dibangun atas kesamaan ideologi, pandangan ekonomi, isu dan arah pembangunan antara Partai Bruder Italia, Partai Lega Salvini, dan Partai Sayap Kanan Forza Italia. Aliansi partai pendukung Meloni sama-sama berkampanye dengan jelas mendukung pekerja buruh yang dihantui kehilangan pekerjaan, pelajar, dan pebisnis, dengan janji mengedepankan orang-orang Italia.

Dan itulah yang absen dari diskusi wacana koalisi partai politik di Indonesia. Partai pemenang pemilu maupun partai penantang sama-sama tak terlihat adu argumen politik. Kecuali sibuk bermanuver dan berebut hasil survei popularitas dan elektabilitas.

Barangkali potret koalisi parpol di Indonesia sejauh ini menunjukkan koalisi yang tanpa roh (maksudnya tanpa gagasan ideologis dan program). Sebab, nyaris tak ditemukan wacana programatik yang disampaikan ke masyarakat sebagai bagian pencerahan pendidikan politik. Mulai ideologi ekonomi, agenda progresif pemerintahan, arah pembangunan kebijakan politik (baik dalam maupun luar negeri) Indonesia, pemecahan masalah HAM, lingkungan, hingga utang negara, yang seharusnya menjadi konteks utama Pemilu 2024.

Situasi semacam itu terjadi akibat sistem politik dan watak partai politik. Sistem pencalonan presiden dengan ambang batas 20 persen memang memaksa terjadinya manuver politik dan perilaku zig-zag elite-elite partai politik. Koalisi parpol dibangun semata-mata karena kalkulasi cukup atau tidak cukup ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, bukan didasari oleh keinginan memperkuat kesamaan visi dan misi atau kepentingan ideologi yang seharusnya menjadi roh masing-masing partai di pemilu.

Baca Juga :  Digitalisasi Sektor Pertanian di Kota Palangka Raya

 

Oportunisme Partai Politik

Di tengah dinamika koalisi parpol yang diwarnai manuver elite politik, bayang-bayang ketidakpastian koalisi, dan wacana koalisi besar, sangat mungkin partai politik mengambil sikap oportunisme. Perilaku zig-zag elite-elite parpol yang tergambar belakangan senyatanya sudah sangat dekat dengan sikap oportunisme.

Perilaku oportunisme semacam ini sejatinya harus dihindari. Sebab, dalam oportunisme demokrasi hanya meletakkan sistem koalisi sebagai upaya mendapatkan insentif politik dan cenderung mengaburkan ideologi partai politik. Peluang lebih besar yang dicari dari oportunisme adalah peluang membentuk koalisi baru atau koalisi besar yang menguntungkan secara hitung-hitungan politik di Pemilu 2024.

Sistem Koalisi Menciptakan Kepelikan

Sementara itu, bila dilihat ulang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014) dan Presiden Jokowi (2014–hingga sekarang), sistem koalisi justru menimbulkan kepelikan. Pertama, kepelikan saat distribusi jabatan menteri. Jelas, menentukan menteri dalam sistem koalisi partai politik jauh lebih sulit karena harus mempertimbangkan formasi koalisi parpol di pemilu. Hal itu jelas secara teori bisa memperlemah hak prerogatif presiden yang telah diatur di dalam konstitusi.

Kedua, kepelikan terjadi pada saat pengambilan kebijakan atau keputusan. Menurut catatan Jamie S. Davidson (profesor asal Singapura), sistem koalisi yang dipraktikkan di Indonesia sama sekali tidak memperkuat kekuasaan eksekutif. Tetapi justru mempersulit konsolidasi politik pemerintahan.

Jamie S. Davidson menyebutkan, sistem koalisi menjadi faktor sulitnya kebijakan diambil oleh eksekutif. Kepelikan dalam mengambil kebijakan ini terjadi karena setiap kebijakan harus dinegosiasikan dengan petinggi partai politik koalisi. Alhasil, kekuasaan presiden menjadi lemah karena sangat mudah diintervensi kekuatan parpol koalisi. (*)

*) MOH. KHOIRUL UMAM, Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya

 

 

”POLITIK adalah seni mengelola ketidakpastian.” Pernyataan Andreas Schedler itulah kesimpulan yang tepat untuk menggambarkan dinamika politik koalisi parpol belakangan ini. Hampir satu tahun partai politik sibuk mencari koalisi pasti di Pilpres 2024. Namun, hingga saat ini koalisi yang sudah ada selalu dibayang-bayangi wacana pembentukan koalisi besar.

Wacana koalisi besar memang sudah lama diembuskan, sejak pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan para ketua umum parpol pada April 2023. Wacana tersebut kembali mengemuka setelah Ketua Bappilu Partai Golkar Nusron Wahid mengatakan akan mengumumkan capres-cawapres dari koalisi besar.

Diduga, gabungan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Pernyataan Nusron itu seolah menjadi sinyal bahwa konstelasi politik koalisi parpol masih berada di ambang ketidakpastian. Terutama bagi KIB setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDI Perjuangan (PDIP).

Sejauh ini sudah ada tiga poros koalisi yang terbentuk dan masing-masing telah mendeklarasikan capres. Selain PDIP tadi, juga ada Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) gabungan Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS yang sudah sejak awal mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai capres. KKIR yang terdiri dari Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga telah mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai capres.

Sebenarnya bukan hanya KIB, hampir semua koalisi dirundung ketidakpastian di dalam berkoalisi. Ketidakpastian terjadi karena kerumitan koalisi, terutama dalam menentukan siapa cawapres yang akan mendampingi capres yang diusung. Itulah yang mengakibatkan sistem koalisi sejauh ini seolah tidak menentu, selain karena sistem koalisi tidak memiliki roh serupa visi dan misi dan agenda programatik yang hendak dicapai koalisi.

Sebab, praktis pembicaraan koalisi di pemilu hanya soal hitung-hitungan politik siapa dan partai apa yang mendapatkan jatah capres dan cawapres. Bukan wacana program apa dan agenda progresif apa yang akan diselesaikan.

Baca Juga :  La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

Hal itu jauh berbeda dengan koalisi di pemilu Italia, misalnya. Koalisi pengusung Presiden Giorgia Meloni di Pemilu 2022 dibangun atas kesamaan ideologi, pandangan ekonomi, isu dan arah pembangunan antara Partai Bruder Italia, Partai Lega Salvini, dan Partai Sayap Kanan Forza Italia. Aliansi partai pendukung Meloni sama-sama berkampanye dengan jelas mendukung pekerja buruh yang dihantui kehilangan pekerjaan, pelajar, dan pebisnis, dengan janji mengedepankan orang-orang Italia.

Dan itulah yang absen dari diskusi wacana koalisi partai politik di Indonesia. Partai pemenang pemilu maupun partai penantang sama-sama tak terlihat adu argumen politik. Kecuali sibuk bermanuver dan berebut hasil survei popularitas dan elektabilitas.

Barangkali potret koalisi parpol di Indonesia sejauh ini menunjukkan koalisi yang tanpa roh (maksudnya tanpa gagasan ideologis dan program). Sebab, nyaris tak ditemukan wacana programatik yang disampaikan ke masyarakat sebagai bagian pencerahan pendidikan politik. Mulai ideologi ekonomi, agenda progresif pemerintahan, arah pembangunan kebijakan politik (baik dalam maupun luar negeri) Indonesia, pemecahan masalah HAM, lingkungan, hingga utang negara, yang seharusnya menjadi konteks utama Pemilu 2024.

Situasi semacam itu terjadi akibat sistem politik dan watak partai politik. Sistem pencalonan presiden dengan ambang batas 20 persen memang memaksa terjadinya manuver politik dan perilaku zig-zag elite-elite partai politik. Koalisi parpol dibangun semata-mata karena kalkulasi cukup atau tidak cukup ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, bukan didasari oleh keinginan memperkuat kesamaan visi dan misi atau kepentingan ideologi yang seharusnya menjadi roh masing-masing partai di pemilu.

Baca Juga :  Digitalisasi Sektor Pertanian di Kota Palangka Raya

 

Oportunisme Partai Politik

Di tengah dinamika koalisi parpol yang diwarnai manuver elite politik, bayang-bayang ketidakpastian koalisi, dan wacana koalisi besar, sangat mungkin partai politik mengambil sikap oportunisme. Perilaku zig-zag elite-elite parpol yang tergambar belakangan senyatanya sudah sangat dekat dengan sikap oportunisme.

Perilaku oportunisme semacam ini sejatinya harus dihindari. Sebab, dalam oportunisme demokrasi hanya meletakkan sistem koalisi sebagai upaya mendapatkan insentif politik dan cenderung mengaburkan ideologi partai politik. Peluang lebih besar yang dicari dari oportunisme adalah peluang membentuk koalisi baru atau koalisi besar yang menguntungkan secara hitung-hitungan politik di Pemilu 2024.

Sistem Koalisi Menciptakan Kepelikan

Sementara itu, bila dilihat ulang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014) dan Presiden Jokowi (2014–hingga sekarang), sistem koalisi justru menimbulkan kepelikan. Pertama, kepelikan saat distribusi jabatan menteri. Jelas, menentukan menteri dalam sistem koalisi partai politik jauh lebih sulit karena harus mempertimbangkan formasi koalisi parpol di pemilu. Hal itu jelas secara teori bisa memperlemah hak prerogatif presiden yang telah diatur di dalam konstitusi.

Kedua, kepelikan terjadi pada saat pengambilan kebijakan atau keputusan. Menurut catatan Jamie S. Davidson (profesor asal Singapura), sistem koalisi yang dipraktikkan di Indonesia sama sekali tidak memperkuat kekuasaan eksekutif. Tetapi justru mempersulit konsolidasi politik pemerintahan.

Jamie S. Davidson menyebutkan, sistem koalisi menjadi faktor sulitnya kebijakan diambil oleh eksekutif. Kepelikan dalam mengambil kebijakan ini terjadi karena setiap kebijakan harus dinegosiasikan dengan petinggi partai politik koalisi. Alhasil, kekuasaan presiden menjadi lemah karena sangat mudah diintervensi kekuatan parpol koalisi. (*)

*) MOH. KHOIRUL UMAM, Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya

 

 

Terpopuler

Artikel Terbaru