Ardiles Robinson Rohi Laga berbagi kisah tentang bagaimana dirinya berusaha untuk bisa mewujudkan harapan orang tua. Setelah citacitanya terwujud, kini ia terjun dalam dunia medis dan akan sepenuhnya mengabdi kepada masyarakat hingga akhir hayat.
___________________________________Â FITRI SHAFA KAMILA, Palangka Raya
SEWAKTU masih berusia 4 tahun, kejadian tak mengenakan menimpa Robinson. Mengharuskannya untuk rawat inap di sebuah puskesmas. Penyakit yang dideritanya adalah demam berdarah dengue (DBD). Tidak ada pilihan lain selain menerima kondisi dan harus segera pulih dengan menuruti arahan tenaga medis. Robinson pun tak jemu meminum obat dengan harapan kondisi segera pulih seperti sedia kala.
Dalam pikiran anak kecil yang masih sangat belia itu, ia kagum terhadap seseorang yang mengenakan jas putih dan telah membantu menyembuhkan penyakit banyak orang. Perasaan kuat muncul sejak saat itu.
Dalam hatinya ia berharap suatu saat bisa menjadi dokter seperti yang dilihatnya itu. Robinson tumbuh besar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi pemilik kepulauan dengan pesona alam yang indah. Meski begitu, daerah itu masih memerlukan banyak tenaga medis. Akses kesehatan belum merata sebagaimana di wilayah lain yang lebih modern dan maju.
Pria yang akrab disapa Robinson ini pun membeberkan keputusannya untuk menggapai cita-cita hingga ia berhasil mendapatkan gelar dokter dengan predikat cum laude dan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,80, saat prosesi sumpah dokter di Aula Jayang Tingang beberapa waktu lalu.
Bukan disebabkan oleh keberuntungan atau karena pintar. Semua itu ia dapatkan dari hasil jerih payah belajar, ketekunan, keseriusan, dan keteguhan selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Palangka Raya (UPR).
“Sebenarnya tidak ada tips atau trik khusus untuk meraih IPK bagus selama menempuh pendidikan. Tergantung pribadi masingmasing,” tuturnya kepada Kalteng Pos, Selasa (6/5). Menjadi mahasiswa kedokteran memang terkesan berat. Waktu pendidikan yang diperlukan cukup panjang, sekitar 4-5 tahun. Bahkan bisa lebih jika ingin melanjutkan pendidikan spesialisasi. Robin tidak menyangka namanya termasuk dalam deretan peraih predikat cum laude.
“Banyak hal yang harus dilewati, baik selama proses preklinik (S1) maupun masa klinik (koass). Puji Tuhan atas izin-Nya saya bisa meraih cita-cita ini dengan predikat cum laude,” ungkapnya.
Bagi Robin, keberhasilan tidak bisa diukur dari nilai yang kita raih, tetapi tentang bagaimana tetap tekun, rajin, dan pantang menyerah atas apa yang kita kerjakan. Sepanjang proses belajar, Robinson telah meluangkan waktu setidaknya hingga dua jam untuk membaca materi kedokteran, mulai dari e-book atau textbook hingga jurnal. Membaca dan mengulang bahan belajar serta mempelajari studi kasus untuk persiapan ujian telah menjadi rutinitas hidupnya.
Di samping itu, ia harus mengerjakan tugas ilmiah kedokteran yang super banyak. Terlebih sewaktu memasuki masa koass, dinas atau jaga di rumah sakit selama kurang lebih 24 jam nonstop, dengan tetap mempersiapkan diri untuk ujian akhir tiap stase koass. Namun, Robin tidak hanya menghabiskan waktu untuk belajar. Selalu ada waktu untuk kegiatan lain, seperti menjalani hobi ngegym, lari, dan bersepeda.
Dalam sepekan, ia selalu menyisihkan waktu untuk berolahraga. Sebagai dokter, menjaga kesehatan adalah kunci utama agar badan tetap fit, di samping menjaga pola makan dan tidur yang cukup.
“Sebagai penghilang stres, saya berolahraga 3 sampai 4 kali dalam seminggu untuk merelaksasi pikiran dari hirukpikuk menjadi mahasiswa kedokteran,” ungkapnya.
Tinggal seorang diri di tanah Kalimantan sebagai perantau demi menempuh pendidikan, bagi Robinson memang berat. Belum lagi, ia harus kehilangan banyak momen indah bisa berkumpul bersama keluarga di tempat asal. Kerinduan terhadap orang tua dan saudara-saudaranya makin menumpuk.
Namun, ia meyakini bahwa doa dan harapan orang tua selalu menyertainya dari jauh. Bahkan pada hari bahagianya, mengucapkan sumpah dokter dan menerima penghargaan tidak bisa disaksikan langsung oleh kedua orang tua. Mereka hanya dapat menyaksikan momen sakral itu melalui siaran langsung pada kanal YouTube kampus.
“Bahkan saat nama saya dipanggil karena dapat cum laude, bukan hanya orang tua yang kaget, tetapi saya juga merasa tidak percaya, tidak menyangka dikasih hadiah oleh Tuhan,” bebernya.
Momen haru itu tentu jadi memori yang berkesan bagi Robinson dan keluarga. Sudah barang tentu, orang tuanya bangga atas prestasi yang ditorehkannya. Ia teringat tentang perjuanganya untuk bisa menjadi mahasiswa kedokteran. Segala upaya dan usaha dilakukan. Mulai dari tes SNMPTN pada 2017 untuk menjadi mahasiswa kedokteran Univesitas Udayana, Bali dan lolos sebagai mahasiswa kedokteran hewan.
Namun ia memilih untuk tidak mengambil, karena bukan jurusan itu yang diharapkannya. Kemudian, ia ikut tes di beberapa kampus. Lagi-lagi lolos. Namun karena kampus swasta yang menerimanya, ia pun mengurungkan niat. Bahkan ia sempat mencoba mendaftar beasiswa daerah, tetapi nihil.
“Kalau mengingat masa berat itu, orang lain mungkin akan memilih untuk menyerah, tetapi api di dalam hati saya tidak pernah padam dan tekad kuat saya untuk menjadi dokter sudah teramat bulat,” kata Robinson.
Selama masa persiapan itu, bukan tidak mungkin ada perasaan sedih dan jenuh dengan apa yang dialaminya. Tapi keyakinan dan tekadnya mengalahkan rasa sedih. Tahun 2019, ia mencoba lagi untuk mendaftar ke tiga kampus berbeda. Ia harus berangkat ke Padang untuk mengikuti tes masuk. Dua minggu kemudian, pengumuman kelulusan pun keluar. Robinson berhasil masuk ke Fakultas Kedokteran UPR.
“Bersyukur bisa mewujudkan mimpi jadi dokter telah di depan mata dan melanjutkan perjuangan untuk membantu banyak orang makin dekat,” terangnya.
Ia ingat betul bagaimana sulitnya perjuangan orang tua dalam membiayai pendidikannya tanpa mengeluh dan senantiasa memberikan dukungan penuh. Sudah ratusan juta yang digelontorkan untuk biaya sekolahnya, dari awal pendaftaran masuk kampus hingga menyelesaikan pendidikan.
Ayahnya merupakan sebagai seorang pegawai negeri sipil, sedangkan ibunya merupakan ibu rumah tangga yang membantu ekonomi keluarga dengan berjualan makanan di dekat Rumah Sakit Siloam Kupang. Keduanya berjuang membiayai seluruh kebutuhan pendidikan Robinson dan saudara lainnya. Ekonomi keluarga tidak selalu stabil. Ada waktunya merosot.
Moment terberat yang dialami adalah saat pandemi Covid-19. Kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik-baik saja. Sedangkan, ia memiliki saudara yang juga membutuhkan biaya pendidikan sekolah menegah atas (SMA). Sempat khawatir akan biaya pendidikan. Namun, dengan teguh orang tua menguatkannya. Mereka justru memintanya tetap fokus belajar.
“Saya masih ingat bagaimana mereka minta saya tetap giat belajar, sementara situasi ekonomi saat itu sedang terpuruk. Belum lagi biaya pendidikan untuk adik saya yang duduk di bangku SMA,” ungkapnya.
Saat ini, Robinson dan rekan-rekannya menunggu pemberkasan untuk melanjukan program pengabdian dokter ke daerah-daerah. Sembari menunggu, ia menyiapkan diri dan dana untuk melanjutkan pendidikan spesialisasi yang diminatinya, yaitu dokter spesialis orthopedi (Sp.Ot).
Bukan tanpa alasan ia memilih itu. Menurutnya sangat penting dan diperlukan di daerah asalnya, Kupang. Selain karena masih langka tenaga dokter bidang itu, angka kasus trauma tulang seperti cedera atau patah tulang di tempat asalnya masih cukup tinggi.
“Sambil menunggu program pengabdian di daerah, saya bekerja sambil mengumpulkan uang untuk bisa lanjut ambil spesialisasi, saya tidak mau merepotkan lagi orang tua,” ungkapnya.
Bagi Robinson, selama kita memiliki tekad yang kuat mau berusaha, hasil yang diperoleh mungkin akan bisa selalu menyenangkan hati. Ia selalu percaya bahwa hasil terbaik akan didapatkan mereka yang selalu berupaya dan tidak mudah menyerah.(*)