30 C
Jakarta
Thursday, March 28, 2024

dr Djono : Dahulu Pengobatan Dibayar Kayu Ulin, Rotan, dan Sayuran

Dokter Djono Koesanto
memiliki pengabdian yang luar biasa pada bidang kesehatan di Bumi Tambun
Bungai—sebutan Kalteng. Mengawali tugas di Desa Pendahara tahun 1978
. Terakhir
menjabat sebagai pucuk pimpinan tertinggi di Dinas Keseahatan (Dinkes) Kalteng
sebelum pensiun pada 2008
lalu. Berikut cerita dokter
Djono Koesanto selama bertugas di tanah Borneo.

—————————————

 

LAHIR dari
keluarga kurang mampu tidak menjadi penghalang
bagi dokter Djono
Koesanto memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, khususnya di
Provinsi Kalteng. Semangat pengabdian tak kenal lelah
. Tidak
mengeluh
.
Menjalani
pekerjaan dengan penuh tanggung
jawab. Patut
dicontoh dokter
-dokter muda masa kini.

“Saya lahir dan besar
di Jakarta dan berasal dari keluarga yang tidak mampu,” kata dr Djono Koesanto
mengawali perbincangan dengan Kalteng Pos
di kediamannya Jalan Garuda
Nomor 89, Palangka Raya,
Jumat (23/10).

Kondisi ekonomi
keluarga
membuat dokter Djono kecil sudah ditempa dan terbiasa
bekerja tanpa kenal lelah mencari rupiah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Sejak SMP saya sudah bekerja sebagai guru privat, mengajar anak SD di
rumah
masing-masing,” lanjut alumn
us SMP Don Bosco Jakarta
tahun 1961-1967 ini.
Ia menyelesaikan pendidikan tingkat SLTA di SMA
Budi Mulia Jakarta tahun 1970.

Meski dari
keluarga kurang mampu, Djono Koesanto yang kala lulus SLTA masih berusia 18
tahun berhasil membuktikan bisa bersaing masuk perguruan ternama di Indonesia.
Ia dinyatakan lulus dan diter
ima masuk Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Kelulusan masuk UI pada tahun 1971, kata
Djono Koesanto, merupakan pengalaman yang sangat berkesan dan mu
kjizat baginya, karena saat
itu ia
hanya
ikut-ikutan bersama
teman-temannya.

“Ternyata ada nama saya
sebagai
salah satu calon mahasiswa yang lulus tes. Pengumuman kelulusan diterima
seminggu
sebelum Natal.
Saya anggap itu sebagai
hadiah Natal untuk orang tua saya,” cerita suami dari Ni Nyoman Ari Utami ini.

Ketika kuliah, cerita
dokter Djono, dirinya mendapat
beasiswa dengan
bermodalkan
kartu
mahasiswa yang dimiliki
nya. Seiring berjalannya waktu, akhirnya
dr
Djono
berhasil menuntaskan studinya
pada tahun 1976.

Saat mendebarkan pun datang
kala pemerintah
melalui lembaga Departemen Kesehatan (Depkes) mengeluarkan penempatan tugas
untuk
para dokter. Pilihannya hanya ada
tiga tempat,
yakni
Papua, Ambon
, atau Kalteng.

Baca Juga :  Wardian Klaim Sepihak, Warga Pemilik Lahan Melawan

“Saat penempatan oleh
Depkes, saya kepingin ke NTT
, tetapi tidak dibolehkan.
Hanya dibolehkan ke Papua, Ambon
, dan Kalteng. Dengan
berbagai pertimbangan, saya kemudian memberanikan diri untuk memilih Kalteng
sebagai tempat tugas saya. Karena memang tenaga dokter
di
Kalteng
masih
sangat minim saat itu,” terang bapak tiga anak ini.

Ia pun mendapat
tugas di Desa Pendahara, Katingan.
Menjadi dokter
pertama yang bertugas di Pendahara. Dokter Djono saat masih berusia 26 tahun
menjadi kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Administrasi Katingan merangkap
Direktur Rumah Sakit Kasongan, Kepala Puskemas Kasongan pada 1979–1984
, serta
menjadi tenaga pengajar di desa yang sekarang masuk Kecamatan Tewang Sangalang
Garing, Kabupaten Katingan.

“Awal tahun 1984 saya
sudah berada di Palangka Raya setelah mengabdi selama 5 tahun di Kasongan saat
itu,” terang lulusan Master of Public Health, Mahidol University
, Bangkok
tahun 1990.

Dokter Djono yang sudah
pensiun sejak 13 tahun lalu ini
menuturkan bahwa hal yang
membedakan dokter zaman dahulu dan kini adalah biaya pengobatan. Dahulu
, kata dr Djono,
biaya pengobatan warga hanya dibayar menggunakan kayu ulin, rotan, sayuran
, dan
lainnya.

“Biaya hidup dari hasil
pemberian warga yang sangat murah hati kepada saya,” kenang
dr Djono yang
merayakan ulang tahun setiap tanggal 23 Juni ini.

Dahulu, lanjut dr Djono, peralatan
medis
dan
lainnya bel
um selengkap sekarang
ini
.
Sumber daya
manusia juga masih sangat minim. Meski
demikian ia
sangat
menikmati pekerjaan
.
Dengan
tanggung
jawab dan kerendahan
hati melayani masyarakat
.

“Apa yang bisa
dilakukan selalu kami kerjakan dengan baik dan apa adanya. Tidak ditunjang
dengan sarana infrastruktur yang memadai serta peralatan lainnya.
Kami kerjakan
dengan tuntas,” ungkapnya.

Pengalaman hiduplah yang mematangkan
dirinya
dalam menjalani kariernya sebagai seorang dokter. Termasuk melayani
operasi,
menolong proses persalinan, dan tindakan lainnya.

“Karena masyarakat
telah menyerahkan hidup atau mati. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka
harus dikerjakan. Kalau sekarang gampang karena hanya dirujuk saja,”
tutur.

Menurut dr Djono,
penerimaan kedokteran dahulu
dan sekarang berbeda. Dahulu tak
ada pem
bedaan
status dan lainnya
. Sementara saat ini hanya yang mampu yang
dapat menyekolahkan anak ke
sekolah kedokteran.

Baca Juga :  Bikin Merinding, Suara Menggeram Muncul dari Mediator

Karena berasal dari
keluarga miskin, kendati ditugaskan di Kasongan dengan segala keterbatasan alat
transportasi, alat komunikasi
, dan lainnya, ia
tetap
mampu menjalankan
tugas dan kewajibannya dengan baik. Perbedaan situasi
kehidupan
Jakarta
d
engan Kasongan
tak membuatnya

menyerah untuk bertugas sebagai tenaga medis.

“Kalau di Jakarta,
dengan tetangga saja mungkin tidak saling kenal
, tapi
di
sini sangat menikmati. Orang
sekampung mengenal kita dengan baik, karena setiap saat berkomunikasi dan
berinteraksi dengan mereka,” akunya.

Dokter Djono pensiun pada
2008
silam dengan jabatan sebagai
Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Kalteng.
Sebelum itu ia pernah menjalankan
tugas sebagai kepala
puskesmas.

Dari pengalaman
yang dimiliki
saat mengenyam pendidikan
di
luar negeri, dr Djono menegaskan
bahwa
sebenarnya dokter-dokter di
Indonesia
memiliki kemampuan. Kepintaran
t
ak
kalah dengan dokter
-dokter di luar negeri.

Yang membedakan adalah program
yang dijalankan di luar negeri sangat konsisten
. Pemberlakuannya
untuk berluluh-puluh tahun ke
depan. Berbeda
dengan Indonesia
. Berganti menteri berganti pula programnya.

“Dahulu ada
program posyandu
,
tapi kemudian mulai kurang terlihat aktivitasnya. Belakangan
barulah tampak
lagi,” ujarnya.

Ia berharap Indonesia
memiliki
program
jangka panjang
bidang kesehatan yang konsisten
dijalankan
.
Tidak boleh menghilangkan program ya
ng sudah ada, tetapi harus ditambah
dengan program.yang lebih baik mulai dari tingkat pusat, provinsi, hingga
kabupaten
/kota.

Menurutnya yang harus dipertahankan
adalah jumlah orang sehat. Kalau bisa ditingkatkan menjadi 90 persen bahkan 100
persen.

Program yang paling baik
adalah program yang membuat orang tetap sehat
melalui upaya
preventif (menjaga orang tidak jatuh sakit), promotif (bagaimana mengupayakan
orang sehat bisa lebih sehat dan bugar), kuratif (cepat merawat orang sakit),
rehabilitatif (merehab agar anggota tubuhnya tetap berfungsi).

“Ini yang harus diupayakan dengan baik. Kalau
hanya diupayakan hanya di rumah sakit, maka tentu tidak akan maksimal. Tetapi
jika fokus kepada program.menjaga orang tetap sehat, maka akan lebih maksimal
nanti,” katanya sembari berharap agar ada dokter-dokter yang mau mendalami ilmu
public healt (
ilmu kesehatan masyarakat). Tidak hanya fokus pada bidang spesialis saja. Harus ada
yang mengurus masyarakat yang sehat agar tetap bugar.
Bukan hanya mengurus yang sakit.

Dokter Djono Koesanto
memiliki pengabdian yang luar biasa pada bidang kesehatan di Bumi Tambun
Bungai—sebutan Kalteng. Mengawali tugas di Desa Pendahara tahun 1978
. Terakhir
menjabat sebagai pucuk pimpinan tertinggi di Dinas Keseahatan (Dinkes) Kalteng
sebelum pensiun pada 2008
lalu. Berikut cerita dokter
Djono Koesanto selama bertugas di tanah Borneo.

—————————————

 

LAHIR dari
keluarga kurang mampu tidak menjadi penghalang
bagi dokter Djono
Koesanto memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, khususnya di
Provinsi Kalteng. Semangat pengabdian tak kenal lelah
. Tidak
mengeluh
.
Menjalani
pekerjaan dengan penuh tanggung
jawab. Patut
dicontoh dokter
-dokter muda masa kini.

“Saya lahir dan besar
di Jakarta dan berasal dari keluarga yang tidak mampu,” kata dr Djono Koesanto
mengawali perbincangan dengan Kalteng Pos
di kediamannya Jalan Garuda
Nomor 89, Palangka Raya,
Jumat (23/10).

Kondisi ekonomi
keluarga
membuat dokter Djono kecil sudah ditempa dan terbiasa
bekerja tanpa kenal lelah mencari rupiah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Sejak SMP saya sudah bekerja sebagai guru privat, mengajar anak SD di
rumah
masing-masing,” lanjut alumn
us SMP Don Bosco Jakarta
tahun 1961-1967 ini.
Ia menyelesaikan pendidikan tingkat SLTA di SMA
Budi Mulia Jakarta tahun 1970.

Meski dari
keluarga kurang mampu, Djono Koesanto yang kala lulus SLTA masih berusia 18
tahun berhasil membuktikan bisa bersaing masuk perguruan ternama di Indonesia.
Ia dinyatakan lulus dan diter
ima masuk Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Kelulusan masuk UI pada tahun 1971, kata
Djono Koesanto, merupakan pengalaman yang sangat berkesan dan mu
kjizat baginya, karena saat
itu ia
hanya
ikut-ikutan bersama
teman-temannya.

“Ternyata ada nama saya
sebagai
salah satu calon mahasiswa yang lulus tes. Pengumuman kelulusan diterima
seminggu
sebelum Natal.
Saya anggap itu sebagai
hadiah Natal untuk orang tua saya,” cerita suami dari Ni Nyoman Ari Utami ini.

Ketika kuliah, cerita
dokter Djono, dirinya mendapat
beasiswa dengan
bermodalkan
kartu
mahasiswa yang dimiliki
nya. Seiring berjalannya waktu, akhirnya
dr
Djono
berhasil menuntaskan studinya
pada tahun 1976.

Saat mendebarkan pun datang
kala pemerintah
melalui lembaga Departemen Kesehatan (Depkes) mengeluarkan penempatan tugas
untuk
para dokter. Pilihannya hanya ada
tiga tempat,
yakni
Papua, Ambon
, atau Kalteng.

Baca Juga :  Wardian Klaim Sepihak, Warga Pemilik Lahan Melawan

“Saat penempatan oleh
Depkes, saya kepingin ke NTT
, tetapi tidak dibolehkan.
Hanya dibolehkan ke Papua, Ambon
, dan Kalteng. Dengan
berbagai pertimbangan, saya kemudian memberanikan diri untuk memilih Kalteng
sebagai tempat tugas saya. Karena memang tenaga dokter
di
Kalteng
masih
sangat minim saat itu,” terang bapak tiga anak ini.

Ia pun mendapat
tugas di Desa Pendahara, Katingan.
Menjadi dokter
pertama yang bertugas di Pendahara. Dokter Djono saat masih berusia 26 tahun
menjadi kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Administrasi Katingan merangkap
Direktur Rumah Sakit Kasongan, Kepala Puskemas Kasongan pada 1979–1984
, serta
menjadi tenaga pengajar di desa yang sekarang masuk Kecamatan Tewang Sangalang
Garing, Kabupaten Katingan.

“Awal tahun 1984 saya
sudah berada di Palangka Raya setelah mengabdi selama 5 tahun di Kasongan saat
itu,” terang lulusan Master of Public Health, Mahidol University
, Bangkok
tahun 1990.

Dokter Djono yang sudah
pensiun sejak 13 tahun lalu ini
menuturkan bahwa hal yang
membedakan dokter zaman dahulu dan kini adalah biaya pengobatan. Dahulu
, kata dr Djono,
biaya pengobatan warga hanya dibayar menggunakan kayu ulin, rotan, sayuran
, dan
lainnya.

“Biaya hidup dari hasil
pemberian warga yang sangat murah hati kepada saya,” kenang
dr Djono yang
merayakan ulang tahun setiap tanggal 23 Juni ini.

Dahulu, lanjut dr Djono, peralatan
medis
dan
lainnya bel
um selengkap sekarang
ini
.
Sumber daya
manusia juga masih sangat minim. Meski
demikian ia
sangat
menikmati pekerjaan
.
Dengan
tanggung
jawab dan kerendahan
hati melayani masyarakat
.

“Apa yang bisa
dilakukan selalu kami kerjakan dengan baik dan apa adanya. Tidak ditunjang
dengan sarana infrastruktur yang memadai serta peralatan lainnya.
Kami kerjakan
dengan tuntas,” ungkapnya.

Pengalaman hiduplah yang mematangkan
dirinya
dalam menjalani kariernya sebagai seorang dokter. Termasuk melayani
operasi,
menolong proses persalinan, dan tindakan lainnya.

“Karena masyarakat
telah menyerahkan hidup atau mati. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka
harus dikerjakan. Kalau sekarang gampang karena hanya dirujuk saja,”
tutur.

Menurut dr Djono,
penerimaan kedokteran dahulu
dan sekarang berbeda. Dahulu tak
ada pem
bedaan
status dan lainnya
. Sementara saat ini hanya yang mampu yang
dapat menyekolahkan anak ke
sekolah kedokteran.

Baca Juga :  Bikin Merinding, Suara Menggeram Muncul dari Mediator

Karena berasal dari
keluarga miskin, kendati ditugaskan di Kasongan dengan segala keterbatasan alat
transportasi, alat komunikasi
, dan lainnya, ia
tetap
mampu menjalankan
tugas dan kewajibannya dengan baik. Perbedaan situasi
kehidupan
Jakarta
d
engan Kasongan
tak membuatnya

menyerah untuk bertugas sebagai tenaga medis.

“Kalau di Jakarta,
dengan tetangga saja mungkin tidak saling kenal
, tapi
di
sini sangat menikmati. Orang
sekampung mengenal kita dengan baik, karena setiap saat berkomunikasi dan
berinteraksi dengan mereka,” akunya.

Dokter Djono pensiun pada
2008
silam dengan jabatan sebagai
Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Kalteng.
Sebelum itu ia pernah menjalankan
tugas sebagai kepala
puskesmas.

Dari pengalaman
yang dimiliki
saat mengenyam pendidikan
di
luar negeri, dr Djono menegaskan
bahwa
sebenarnya dokter-dokter di
Indonesia
memiliki kemampuan. Kepintaran
t
ak
kalah dengan dokter
-dokter di luar negeri.

Yang membedakan adalah program
yang dijalankan di luar negeri sangat konsisten
. Pemberlakuannya
untuk berluluh-puluh tahun ke
depan. Berbeda
dengan Indonesia
. Berganti menteri berganti pula programnya.

“Dahulu ada
program posyandu
,
tapi kemudian mulai kurang terlihat aktivitasnya. Belakangan
barulah tampak
lagi,” ujarnya.

Ia berharap Indonesia
memiliki
program
jangka panjang
bidang kesehatan yang konsisten
dijalankan
.
Tidak boleh menghilangkan program ya
ng sudah ada, tetapi harus ditambah
dengan program.yang lebih baik mulai dari tingkat pusat, provinsi, hingga
kabupaten
/kota.

Menurutnya yang harus dipertahankan
adalah jumlah orang sehat. Kalau bisa ditingkatkan menjadi 90 persen bahkan 100
persen.

Program yang paling baik
adalah program yang membuat orang tetap sehat
melalui upaya
preventif (menjaga orang tidak jatuh sakit), promotif (bagaimana mengupayakan
orang sehat bisa lebih sehat dan bugar), kuratif (cepat merawat orang sakit),
rehabilitatif (merehab agar anggota tubuhnya tetap berfungsi).

“Ini yang harus diupayakan dengan baik. Kalau
hanya diupayakan hanya di rumah sakit, maka tentu tidak akan maksimal. Tetapi
jika fokus kepada program.menjaga orang tetap sehat, maka akan lebih maksimal
nanti,” katanya sembari berharap agar ada dokter-dokter yang mau mendalami ilmu
public healt (
ilmu kesehatan masyarakat). Tidak hanya fokus pada bidang spesialis saja. Harus ada
yang mengurus masyarakat yang sehat agar tetap bugar.
Bukan hanya mengurus yang sakit.

Terpopuler

Artikel Terbaru