Dulu orang tua kita berkata, kalau punya rezeki lebih, belilah tanah. Itu investasi paling aman. Harganya naik terus, kata mereka. Jarang sekali ada harga tanah yang turun. Kalau pun ada, pasti karena bencana atau sengketa. Tapi itu cerita dulu.
Eko Supriadi, Palangka Raya
CERITA masa ketika anak-anak belum kenal ponsel dan sawah masih dihitung dalam patok, bukan meter persegi.
Sekarang, coba saja jual tanah. Terutama tanah di pinggiran kota. Jangan-jangan malah dapat lelahnya saja. Apalagi kalau Anda mematok harga tinggi. Bisa sebulan, dua bulan, bahkan bertahun-tahun menunggu. Itu pun belum tentu laku.
Kalau pun ada yang tertarik, urusannya belum selesai. Masih harus berhadapan dengan notaris, kantor pertanahan, pajak jual beli, kadang tetangga yang merasa terganggu. Kadang juga saudara sendiri, yang tiba-tiba merasa punya hak atas tanah itu. Banyak pintu yang harus diketuk. Banyak energi yang habis untuk urusan birokrasi.
Bandingkan dengan emas. Hari ini beli, sore bisa jual. Gampang. Tidak perlu saksi, tidak perlu notaris. Tidak perlu izin tetangga. Tidak perlu menunggu pembeli yang menawar-nawar. Bahkan sekarang, emas tidak perlu lagi disimpan di brankas atau dibungkus plastik di balik lemari. Cukup dalam genggaman tangan. Di layar smartphone.
Saya menemui Hermin Pongtuluran, SE di Palangka Raya. Ia bukan orang sembarangan. Ia Kepala Cabang Pegadaian Palangka Raya. Tapi gaya bicaranya bukan seperti pejabat. Lebih seperti sales visioner yang sedang menjual masa depan. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk masyarakat.
“Orang tua kita dulu mungkin tidak salah,” katanya membuka obrolan. “Tapi sekarang, emas jauh lebih relevan untuk investasi. Harga emas naik terus setiap tahun. Dan yang paling penting zero inflasi,” ujar Hermin dengan suara bersemangat, Selasa (24/6).
Zero inflasi? Saya mengernyitkan dahi. Maksudnya?
“Nilai emas tidak tergerus inflasi. Itu sebabnya masyarakat kini lebih nyaman menabung dalam bentuk emas. Nilainya terjaga. Dan sangat likuid. Mau jual bisa kapan saja. Mau digadai juga gampang. Semua bisa dilakukan tanpa ribet,” jawabnya tenang.
Dan Pegadaian, katanya, tidak hanya diam melihat perubahan zaman. Mereka justru menjemput perubahan itu. Menyambutnya dengan tangan terbuka. Mereka tidak lagi sekadar jadi tempat gadai saat terdesak, tapi mulai berubah menjadi tempat orang menyusun masa depan. Bentuk nyatanya. Tabungan Emas Digital.
Pegadaian meluncurkan satu fitur baru. Setor fisik emas. Inovasi ini mengubah cara orang menyimpan emas. Dulu, kalau punya emas batangan, orang akan menyimpannya di rumah. Di bawah bantal, di laci, kadang di lemari dapur.
Sekarang, cukup bawa ke Pegadaian. Emas itu akan dikonversi menjadi saldo dalam aplikasi. Dalam bentuk gram, bukan uang. Dan saldo itu bisa dicairkan kapan saja. Bisa tunai. Bisa juga dicetak ulang menjadi emas fisik.
“Ini jauh lebih aman,” kata Hermin. “Tidak ada lagi kekhawatiran kehilangan emas karena kebakaran, pencurian, atau bahkan lupa naruh di mana,” tambahnya.
Yang lebih menarik. Modal awal hanya Rp10.000. Pembelian bisa dimulai dari 0,01 gram. Ringan. Terjangkau. Dan terasa nyata. Biaya tahunannya? Hanya Rp30.000. Saat pertama kali buka, dikenai Rp10.000 untuk buku dan Rp10.000 untuk materai. Jadi total Rp50.000.
Misalnya Anda menyetor Rp150.000 saat membuka rekening. Maka Rp100.000 langsung dikonversi menjadi emas digital. Sisanya, untuk biaya administrasi.
Dan ini bagian yang paling futuristik. Saldo tabungan emas itu bisa digadaikan. Bahkan kalau sudah mencapai minimal 5 gram, bisa didepositokan. Artinya, Anda dapat bunga (dalam bentuk emas juga), di luar kenaikan harga emas itu sendiri. Dua keuntungan dalam satu genggaman.
Pegadaian hari ini bukan lagi Pegadaian tempo dulu. Yang identik dengan antrean dan wajah-wajah kepepet. Tidak lagi identik dengan emak-emak yang datang tergesa membawa kalung, lalu pulang dengan uang pinjaman.
Sekarang, hampir semua layanan bisa dilakukan via aplikasi Pegadaian Digital. Dari beli emas, jual, setor fisik, hingga transfer emas ke sesama nasabah.
Ya, transfer emas, bukan uang. Pegadaian telah menciptakan semacam bank emas. Satu sistem yang memungkinkan emas dipindah-tangankan, digadaikan, bahkan diwariskan. Tanpa emas itu pernah berpindah tempat secara fisik.
Transformasi Pegadaian bukan hanya soal digitalisasi. Tapi soal inklusi. Soal keadilan finansial. Soal bagaimana orang kecil bisa ikut merasa memiliki masa depan. Bagaimana uang Rp10.000 yang dulu mungkin hanya cukup untuk dua bungkus gorengan dan teh hangat di warung, kini bisa berubah menjadi emas. Menjadi aset. Menjadi cadangan masa depan.
Banyak anak muda hari ini bingung mau investasi apa. Reksadana terlalu rumit. Saham terlalu berisiko. Crypto? Masih terlalu misterius. Tapi emas? Semua orang paham. Dan lewat Pegadaian, emas bisa dimiliki siapa saja. Bahkan anak sekolah pun bisa menabung emas dari sisa uang jajannya.
Saya suka dua kata yang selalu diulang oleh Hermin. Mulia dan liquid. Mulia karena emas itu bernilai universal. Dari zaman Nabi hingga zaman Elon Musk, emas tetap jadi tolok ukur kekayaan. Dan liquid karena emas bisa dicairkan kapan saja. Tidak seperti tanah, yang bisa menunggu tahun berganti baru laku.
“Kalau tanah butuh waktu lama dijual, emas tidak. Hari ini butuh, hari ini juga bisa cair. Bahkan bisa digadai tanpa kehilangan emasnya,” beberya.
Itu sebabnya, kata Hermin, emas bukan hanya aset. Tapi penyelamat. Di saat mendesak, Anda tidak perlu menjual seluruh kepemilikan emas. Cukup digadaikan. Uangnya cair. Tapi emasnya masih milik Anda. Setelah lunas, bisa kembali dipegang.
Melalui Pegadaian, emas menjadi inklusif. Tidak eksklusif lagi milik orang kaya atau konglomerat. Kini, siapa pun bisa mulai menabung emas. Bahkan dengan uang receh. Bahkan sambil duduk di angkot. Atau sambil menunggu anak pulang sekolah.
Pegadaian tidak lagi sekadar institusi tua berusia lebih dari 100 tahun. Ia kini menjadi lembaga keuangan modern yang sangat relevan dengan zaman. Ia menjembatani dua dunia. Dunia lama yang mengandalkan fisik dan dunia baru yang serba digital.
Ia membawa emas dari dalam brankas ke dalam genggaman. Dari batangan fisik ke angka digital yang bisa dipantau setiap hari.
Dan ketika semua itu bisa dimulai hanya dengan Rp10.000, maka sebenarnya kita sudah tidak punya alasan untuk menunda investasi. Tidak ada alasan lagi untuk berkata “nanti saja”. Karena masa depan sedang menunggu. Dan masa depan itu bisa dibeli. Sedikit demi sedikit. Gram demi gram.
Hermin tidak sedang menjual layanan. Ia sedang menjual keyakinan. Bahwa rakyat kecil juga berhak punya pegangan. Punya rasa aman. Dan Pegadaian, pelan-pelan, menjadi jembatan menuju masa depan itu. Jembatan yang terbuat dari emas. (*)