Sebagaimana lazimnya daerah tepian, dua kecamatan ini mungkin menjadi daerah yang “paling sedikit” menikmati manisnya kue pembangunan. Infrastruktur yang ada tidak jarang merupakan swadaya masyarakat karena keterpaksaan keadaan. Sungai Hantipan adalah hadiah terakhir pemerintahan orde baru untuk masyarakar Katingan Kuala dan Mendawai. Memang bisa saja untuk mencapai Sampit, masyarakat melalui pesisir pantai. Namun risikonya tentu akan jauh lebih besar.
Terusan Hantipan lah satu-satunya akses yang paling aman dan singkat untuk keluar dari keterisolasian. Aman, karena dapat menghindari tingginya gelombang Laut Jawa pada saat cuaca tidak bersahabat. Singkat, karena memotong waktu perjalanan dari beberapa hari jika melewati laut, menjadi hanya hitungan jam. Semuanya sama. Tak ada pilihan yang lebih mudah dan nyaman.
Deskripsi di atas baru menggambarkan bagaimana sulitnya untuk menembus Sungai Hantipan.
Lalu bagaimana dengan biaya yang harus dikeluarkan?
“Untuk menyusuri Sungai Hantipan istilah “semakin mahal, semakin nyaman pelayanan” tidak berlaku. Malah sebaliknya, semakin mahal semakin melelahkan. Prinsip ekonomi menjadi tak berlaku di tempat kami. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau, suka-tidak suka harus kami lalui. Kami bergantung dengan cuaca untuk dapat menikmati indahnya perjalanan dengan moda transportasi air.” Demikian tulis Anis Romzi.
Pada musim kemarau, warga Mendawai dan Katingan Kuala sering menyebutnya dengan “Perjalanan Perjuangan”. Disebut demikian karena dalam perjalanan ini harus menyiapkan dua hal yang lebih banyak.
Pertama adalah biaya yang lebih mahal. Kedua adalah tenaga yang lebih kuat pula.