27.8 C
Jakarta
Tuesday, May 7, 2024

Sungai Hantipan dan Janji yang Tak Pernah Tuntas

Kembali ke tulisan tentang Sungai Hantipan, melalui perbincangan di WhatsApp, saya pun meminta izin untuk mencoba menuliskan ulang tulisan tersebut. Terlebih setelah melihat beberapa foto yang dikirimkan. Rasanya sangat sulit untuk bisa membayangkan “perjuangan” atau mungkin tepatnya “penderitaan” masyarakat untuk bisa melintasi terusan itu.

Hantipan sungai atau terusan, atau masyarakat lokal biasa menyebutnya kerukan, yang dibuat pemerintah sekitar tahun 90-an. Hingga saat ini, sungai itu menjadi satu-satunya penghubung perjalanan air antara dua kabupaten, yakni Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan.

Terusan sepanjang 26 kilometer itu juga menjadi penghubung dua sungai besar, Sungai Mentaya dan Sungai Katingan. Pada bagian muara, lebar terusan memang mencapai sekitar 10 meter. Akan tetapi saat kita mulai memasuki ke bagian dalam, maka secara perlahan terusan semakin menyempit. Pada bagian tengah mengalami penyempitan akibat longsor. Bahkan ada satu titik pada sisi tengah sungai yang lebarnya kurang dari 1 meter.

Baca Juga :  Kodim 1014 Merajut Asa Masyarakat Untuk Kehidupan Lebih Baik Melalui T

Kondisi itu menyebabkan lalu lintas perjalanan di terusan pasti agak terhambat. Di saat kondisi air normal saja, kelotok (perahu mesin) yang digunakan masyarakat lokal harus berhenti di salah satu sisinya untuk mengantre, jika berselisihan.

Kembali ke muara. Kedalaman sungai diperkirakan hanya sekitar 1,5 meter dalam kondisi air normal. Namun ketika beberapa kilometer memasuki bagian tengah, pendangkalan-pendangkalan akan mulai terasa. Bahkan di beberapa titik, tinggi air hanya semata kaki orang dewasa.

Bisa dibayangkan, jika musim kemarau seperti saat ini. Tinggi air tak lagi hanya semata kaki, tetapi bahkan kering sama sekali. Bagian tengah terusan hanya menjadi tumpukan lumpur dan sampah berserakan. Jangankan kelotok besar, kelotok kecil pun tak akan bisa melaluinya, kecuali harus didorong secara manual melalui bagian sungai yang kering.

Baca Juga :  Melayani Masyarakat, Pemprov Berikan Bantuan ke Kotim Rp300 Miliar Leb

Kondisi-kondisi itu rupanya semakin parah saat kemarau panjang tahun ini. Tak lagi hanya sekadar sungai yang kering. Kebakaran hutan yang terjadi di kanan kiri sungai, membuat kondisi semakin parah. Pohon-pohon dengan berbagai ukuran tumbang ke tengah sungai, tak ubah seperti semak belukar yang membuatnya sama sekali tak bisa dilewati.

Di dalam tulisannya, Moh. Anis Romzi seakan mencoba menggambarkan bagaimana selama puluhan tahun berlalu, masyarakat dua kecamatan di ujung selatan Kabupaten Katingan yang berdampingan langsung dengan Laut Jawa itu tak ubahnya seperti menjadi “orang pedalaman” yang terputus akses dengan dunia luar.

Kembali ke tulisan tentang Sungai Hantipan, melalui perbincangan di WhatsApp, saya pun meminta izin untuk mencoba menuliskan ulang tulisan tersebut. Terlebih setelah melihat beberapa foto yang dikirimkan. Rasanya sangat sulit untuk bisa membayangkan “perjuangan” atau mungkin tepatnya “penderitaan” masyarakat untuk bisa melintasi terusan itu.

Hantipan sungai atau terusan, atau masyarakat lokal biasa menyebutnya kerukan, yang dibuat pemerintah sekitar tahun 90-an. Hingga saat ini, sungai itu menjadi satu-satunya penghubung perjalanan air antara dua kabupaten, yakni Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan.

Terusan sepanjang 26 kilometer itu juga menjadi penghubung dua sungai besar, Sungai Mentaya dan Sungai Katingan. Pada bagian muara, lebar terusan memang mencapai sekitar 10 meter. Akan tetapi saat kita mulai memasuki ke bagian dalam, maka secara perlahan terusan semakin menyempit. Pada bagian tengah mengalami penyempitan akibat longsor. Bahkan ada satu titik pada sisi tengah sungai yang lebarnya kurang dari 1 meter.

Baca Juga :  Kodim 1014 Merajut Asa Masyarakat Untuk Kehidupan Lebih Baik Melalui T

Kondisi itu menyebabkan lalu lintas perjalanan di terusan pasti agak terhambat. Di saat kondisi air normal saja, kelotok (perahu mesin) yang digunakan masyarakat lokal harus berhenti di salah satu sisinya untuk mengantre, jika berselisihan.

Kembali ke muara. Kedalaman sungai diperkirakan hanya sekitar 1,5 meter dalam kondisi air normal. Namun ketika beberapa kilometer memasuki bagian tengah, pendangkalan-pendangkalan akan mulai terasa. Bahkan di beberapa titik, tinggi air hanya semata kaki orang dewasa.

Bisa dibayangkan, jika musim kemarau seperti saat ini. Tinggi air tak lagi hanya semata kaki, tetapi bahkan kering sama sekali. Bagian tengah terusan hanya menjadi tumpukan lumpur dan sampah berserakan. Jangankan kelotok besar, kelotok kecil pun tak akan bisa melaluinya, kecuali harus didorong secara manual melalui bagian sungai yang kering.

Baca Juga :  Melayani Masyarakat, Pemprov Berikan Bantuan ke Kotim Rp300 Miliar Leb

Kondisi-kondisi itu rupanya semakin parah saat kemarau panjang tahun ini. Tak lagi hanya sekadar sungai yang kering. Kebakaran hutan yang terjadi di kanan kiri sungai, membuat kondisi semakin parah. Pohon-pohon dengan berbagai ukuran tumbang ke tengah sungai, tak ubah seperti semak belukar yang membuatnya sama sekali tak bisa dilewati.

Di dalam tulisannya, Moh. Anis Romzi seakan mencoba menggambarkan bagaimana selama puluhan tahun berlalu, masyarakat dua kecamatan di ujung selatan Kabupaten Katingan yang berdampingan langsung dengan Laut Jawa itu tak ubahnya seperti menjadi “orang pedalaman” yang terputus akses dengan dunia luar.

Terpopuler

Artikel Terbaru