Nama Yuyung Abdi sudah tidak asing lagi di kalangan
jurnalis foto. Dia adalah panutan, guru, sekaligus kawan yang asyik.
Karya-karyanya luar biasa. Namun, Yuyung harus berpulang akibat Covid-19.
ARIF ADI WIJAYA,
Jawa Pos
—
CANON EOS 1D menjadi
saksi bisu perjuangan Yuyung meraih gelar doktor. Mungkin, dia adalah
satu-satunya fotografer bergelar doktor di Indonesia. Jerih payahnya selama 3,5
tahun berkeliling ke 26 lokalisasi membuahkan hasil manis. Gelar doktor dia
raih dari Universitas Airlangga berkat penelitiannya tentang kehidupan sosial
para pekerja seks komersial (PSK).
Kamera DSLR itulah yang menemaninya berkeliling memotret
sisi lain tempat prostitusi. Mulai keliling Pulau Jawa, Bali, Riau, Sumatera,
hingga Kalimantan.
Selain menjadi bahan disertasi, karyanya diabadikan dalam
bentuk katalog.
Pada 2016, tepat 19 Desember, pria kelahiran 23 Juli 1969
itu menuntaskan studi S-3 di Universitas Airlangga, Surabaya. Dia lulus dengan indeks
prestasi kumulatif (IPK) yang cukup memuaskan.
Kemarin (16/2), tepat pukul 09.00, Yuyung mengembuskan
napas terakhir di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA), Surabaya. Dia
menyerah setelah melawan Covid-19. Banyak kenangan yang nyaris sulit dilupakan.
Termasuk bagi relasi dan koleganya di gedung Graha Pena, kantor Jawa Pos.
Mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono termasuk
orang yang cukup kehilangan. Banyak kenangan selama dia kenal dengan Yuyung.
Memang, Yuyung cukup intens mendampinginya saat mengikuti kontestasi Pemilihan
Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2005 dan 2010. Namun, Bambang sejatinya sudah lama
kenal dengan Yuyung. â€Sejak zaman reformasi,†katanya.
Bambang masih ingat betul peristiwa bentrokan 1996–1998 di
Kota Pahlawan. Saat itu massa dan aparat bersitegang di depan Gedung Negara
Grahadi. Yuyung tidak menjauhi amuk massa. Dia justru mendekat untuk mencari
angle foto terbaik. â€Padahal, itu cukup berbahaya. Beliau cukup totalitas dalam
bekerja,†terangnya.
Sejak saat itulah Bambang mulai tertarik dengan sosok
Yuyung. Komunikasi semakin intens terjalin. Kedekatan emosional pun semakin
erat. ’’Tidak hanya dengan saya. Istri dan anak-anak saya juga cukup akrab
dengan Mas Yuyung,†kata suami anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya Dyah
Katarina itu.
Bambang mengatakan sering meminta tolong Yuyung mengajari
anaknya fotografi. Sebagai seorang fotografer profesional, Yuyung termasuk
orang yang tidak pelit ilmu. Bahkan, dia mau memberikan ilmunya secara
cuma-cuma. ’’Sosoknya ramah dan baik sekali. Kami benar-benar kehilangan,â€
ujarnya.
Bagi Bambang, momen yang paling tidak bisa dilupakan
adalah ketika mengikuti kontestasi pilwali bersama Tri Rismaharini pada 2010.
Saat itu, Yuyung diminta mengatur angle terbaik untuk branding kampanye.
Bambang tidak menyangka bahwa dirinya bersama Risma disuruh nyemplung
gorong-gorong. ’’Pokoknya harus manut. Gak teko mikir aku waktu itu,â€
kenangnya.
Rektor Universitas Airlangga Prof Mohammad Nasih menilai
Yuyung sebagai sosok yang loyal. Pengabdi yang konsisten. Sesuai namanya.
Semangat dan komitmennya tidak pernah luntur. ’’Dari dulu, sejak ketika masih
mahasiswa,†katanya.
Nasih menilai komitmen dan konsistensi Yuyung terhadap
profesinya sangat luar biasa. Dia tidak menyangka. Yuyung yang kuliah di FMIPA
justru memilih jalan sebagai wartawan foto.
Dia benar-benar memahami detail ilmu fotografi. Baik
secara teknis maupun akademis. ’’Tidak banyak wartawan dan fotografer yang
bergelar doktor. Mungkin hanya dia,†ucapnya.
Secara khusus, Nasih mendoakan agar Yuyung mendapat tempat
terbaik di sisi-Nya. Di surga, kata Nasih, akan banyak sekali spot indah yang
layak untuk diabadikan. ’’Selamat jalan Mas Yuyung, karyamu akan selalu abadi,â€
ucapnya.
Kenangan berkesan juga bakal sulit dilupakan rekan
sejawatnya. Guslan Gumilang, pewarta foto Jawa Pos, menganggap Yuyung adalah
sosok guru yang luar biasa. Tidak melulu soal teknis, Yuyung lebih banyak
mengajarkan bagaimana menyampaikan pesan melalui foto.
Bencana tsunami di Aceh pada 2005 merupakan peristiwa
kemanusiaan yang memberikan banyak pelajaran. Saat itu, Guslan yang masih duduk
di bangku kuliah di Universitas Airlangga diajak Yuyung ke Aceh. Kebetulan,
Yuyung merupakan salah seorang pendiri Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fotografi
Unair. ’’Saya masih ingat betul, saat itu sama Mas Yuyung satu bulan tujuh hari
di Aceh,†katanya.
Di tengah warga yang sedang kalut, Guslan diminta
mengabadikan momen kesedihan korban tanpa mengganggu objek yang akan difoto.
Intinya, jangan sampai proses pengambilan gambar membuat orang yang difoto
tersinggung. ’’Saat itu memotret seorang kakek yang sedang melamun di
pengungsian. Matanya terlihat berkaca-kaca,†kenangnya.
Memang, tidak mudah mengabadikan momen seperti itu. Namun,
Yuyung selalu mengajarkan bagaimana mengambil sisi human interest dari sebuah
peristiwa dengan telaten. ’’Memang saat itu saya digembleng jadi pewarta foto.
Pada tahun yang sama baru masuk Jawa Pos,†ujar Guslan.
Guslan mengaku pernah diajak liputan investigasi di
Sarkem, salah satu lokalisasi di Jogja. Itu merupakan momen pertama dia masuk
ke tempat prostitusi. Perasaan waswas bercampur aduk. Sebab, hampir setiap
lokalisasi pasti dijaga preman. ’’Tapi, sudah ada yang menjamin keamanannya
sih,†tuturnya.
Dia ingat betul bagaimana Yuyung menyembunyikan kamera di
dalam tas yang sudah dimodifikasi agar bisa menangkap gambar. Guslan dijadikan
’’umpanâ€. Sasarannya, pekerja seks komersial (PSK) yang sedang asyik mengobrol.
’’Satu pesan beliau yang tidak bisa dilupakan. Momen yang alami tidak bisa
datang dua kali. Jadi, harus benar-benar sabar dan bisa membaca kondisi,â€
ungkapnya.
Koordinator Foto Jawa Pos Dite Surendra juga punya banyak
kenangan bersama almarhum. Mantan fotografer Radar Semarang (Jawa Pos Group)
itu mengaku tahu nama Yuyung sejak 2004. Namun, baru bisa bertemu pada 2006
saat berkunjung ke Graha Pena, kantor Jawa Pos.
Pada 2009, ketika sudah bergabung dengan Jawa Pos, Dite
indekos di rumah Yuyung. Hampir setiap hari setelah deadline, Dite diajak
Yuyung ke Dolly, lokalisasi yang dulu pernah ada di Kota Pahlawan. ’’Cuma
disuruh ngobrol dengan perempuannya. Mas Yuyung yang memotret diam-diam,â€
katanya.
Dite mengaku tidak pernah merasa waswas atau takut
ketahuan. Sebab, Yuyung memang dikenal dekat dengan preman setempat. Jadi,
sudah ada yang menjamin keamanannya. ’’Seminggu bisa empat kali ke Dolly. Bukan
untuk jajan lho. Benar-benar liputan under cover. Memotret Dolly dari dekat,â€
ungkapnya.
Meski sejatinya bisa mengambil gambar tanpa
sembunyi-sembunyi, Yuyung memilih memotret secara diam-diam. Sebab, para
pramuria pasti akan menutup wajahnya ketika difoto. Sama seperti Guslan, Dite
juga mendapat pesan istimewa. ’’Momen yang alami tidak bisa datang dua kali.
Jadi, harus benar-benar sabar dan bisa membaca kondisi,†jelasnya.
Rasa kehilangan juga disampaikan Beky Subechi. Dia adalah
rekan kerja Yuyung di Jawa Pos sejak 1997. Bagi dia, Yuyung Abdi adalah
jurnalis foto yang presisi dalam mengonsep hingga tajam dalam mengeksekusi
sebuah karya foto. Selain itu, almarhum sangat ulet dan berani melakukan apa
saja untuk mendapatkan momen foto terbaik.
Meninggalnya Yuyung Abdi tidak hanya meninggalkan kesan
mendalam bagi kami yang pernah di satu tim foto Jawa Pos. ’’Surabaya telah
kehilangan salah satu fotografer terbaiknya,’’ kata Beky.