26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Konsistensi Merawat Literasi dan Keberagaman

Di
Tobucil & Klabs, buku-buku bertemu dengan pernik hobi kerajinan, kelas
menulis, dan diskusi filsafat. Memilih untuk tetap jadi kecil, tanpa sokongan
perusahaan besar dan donatur.

AGAS
PUTRA HARTANTO, Bandung

TAK
ada Meg Ryan dan Tom Hanks di sana. Juga, sisi-sisi glamor kawasan elite ala
Manhattan.

Yang
ada di bangunan lawas di Jalan Panaitan 18, Kebon Pisang, Bandung, itu adalah
kehangatan sebuah toko buku. Kecil memang, tapi tenang dan bersahabat.

Seperti
The Shop Around The Corner, toko buku kecil di film You’ve Got Mail yang
dikelola Kathleen Kelly. Tempat yang, mengutip Kelly yang diperankan Ryan, “tak
perlu menawarkan diskon dan latte hanya karena mayoritas pekerjanya tak pernah
membaca buku.”

“Yang
kami tawarkan di sini sebenarnya literasi beyond books,” ucap Tarlen Handayani,
pendiri Tobucil & Klabs, nama toko buku dengan hanya dua ruang berukuran
sekitar 7 x 5 meter sebagai tempat berjualan buku itu.

Tobucil,
akronim dari toko buku kecil, memang bukan sekadar tempat berjualan buku. Ada
juga pernak-pernik hobi kerajinan. Serta wadah berkumpulnya komunitas kreatif
di ibu kota Jawa Barat itu.

Sesuai
namanya, klabs, yang berarti kegiatan obrolan santai, tempat tersebut menjadi
tempat workshop dan menggelar berbagai kelas. Mulai kelas menulis, public
speaking, diskusi filsafat, hingga merajut.

Sejak
mendirikannya pada 2 Mei 2001, Tarlen memang mengusung misi untuk meningkatkan
literasi dan membentuk kemandirian. Menurut Tarlen, literasi tidak melulu soal
membaca buku, literatur, maupun kajian. Tapi, lebih pada menyadari potensi diri
untuk mengembangkan keterampilan yang dimiliki.

Dan,
di usianya yang sudah 18 tahun sekarang ini, idealisme itu tetap dijaga.
Tobucil bertahan tanpa dukungan perusahaan besar maupun donatur yang
mengucurkan dana. Meski jaringan toko buku besar seperti milik Joe Fox yang
diperankan Tom Hanks dalam You’ve Got Mail terus menggurita.

Baca Juga :  Sajikan Ratusan Porsi Makanan, 150 Anak Serentak Mainkan Kecapi

Tobucil
menggaji karyawan dengan berjualan buku, alat tulis, kerajinan, serta pernak-pernik
karya komunitas yang dititipkan ke toko. Penyewaan tempat untuk workshop juga
menjadi pemasukan. Meski sedikit. Sebab, uang bayaran tersebut 80 persen untuk
pengajar, sedangkan hanya 20 persen yang masuk ke kantong Tobucil. Sekadar
biaya administrasi pinjam tempat.

“Jadi,
guru yang mengajar di sini juga mendapat kompensasi. Ya, pembagiannya adil
aja,” terang Tarlen pada awal April lalu.

Tarlen
sosok yang sangat mencintai buku. Alumnus ilmu komunikasi jurnalistik
Universitas Islam Bandung itu sampai mengambil kursus intensif belajar menjilid
buku hingga ke luar negeri. Itu berawal dari pengalamannya di Amerika Serikat
tahun 2008.

Saat
itu Tarlen mendapat beasiswa pertukaran kebudayaan dari Asian Cultural Council.
Selama empat bulan dia menetap di New York. Salah satu kelas yang diajarkan
adalah menjilid buku.

Sepulang
ke Indonesia, Tarlen terus mencoba bereksperimen dan mengasah keterampilannya
itu. Hingga pada 2018, dia bertolak ke Kanada untuk kembali mendalami
penjilidan buku. “Di Amerika itu ilmu dasar. Nah, mastering-nya di Kanada,”
jelasnya.

Dari
awal dibentuk, Tobucil digunakan sebagai tempat untuk bisa merawat keberagaman.
Terbuka untuk siapa pun. Siapa saja yang punya niat menghargai toleransi bisa
berkegiatan di sana. “Seumpama ada klien yang ingin menggunakan tempat kami,
bicarakan aja materinya. Kira-kira cocok apa nggak,” katanya.

Ya,
meski terbuka untuk siapa saja, demi komitmen menjaga idealisme, Tarlen harus
selektif. Ada tiga hal yang dihindari dan tidak bisa dilakukan di tokonya.
Yakni, kegiatan multilevel marketing, politik praktis, dan kampanye keagamaan.

Andiani
Cincy, seorang warga Bandung, mengaku lebih mengenal Tobucil sebagai toko
pernak-pernik hobi kerajinan yang menyediakan bahan rajut. Saat
ditemui Jawa Pos pada suatu sore di awal April lalu itu, dia tampak
asyik mengamati bahan rajut.

Baca Juga :  Kreativitas Peserta Pawai di Sampit, Gunakan Busana Berbahan Koran Bek

Banyak
pilihan memang. Benang warnawarni, jarum, dan bahan rajut lainnya tersusun rapi
dalam beberapa rak yang disusun bertingkat di depan kasir. “Paling oke sih di
sini. Ada juga toko lain, tapi nggak bagus bahannya,” katanya.

Deretan
bukunya pun demikian. Sangat beragam. Di antaranya, sosial, politik, sastra,
dan budaya. Sebagian koleksinya sulit dicari, baik di toko buku fisik maupun
daring. Salah satu yang dibeli Jawa Pos adalah Memberi Suara pada
yang Bisu, buku karya Dede Oetomo terbitan 2001 yang tak gampang dicari saat
ini.

Kesetiaan
meniti jalan idealisme itu tentu mendatangkan berbagai konsekuensi. Tapi, toh
Tobucil tetap hidup sampai sekarang. Tetap didatangi mereka yang mencintai
buku, menggemari rajutan, atau menyukai diskusi yang menjunjung toleransi.

Barang
dagangan laku, baik yang datang langsung maupun melalui pesanan. Tobucil juga
tidak akan membuka cabang di Bandung atau kota mana pun di tanah air.

Dengan
penuh kesadaran, Tobucil & Klabs memilih untuk tetap kecil seperti ini.
Tarlen ingin mengirim pesan kepada semua orang bahwa selama konsisten dan
istiqamah menjalani kebaikan, walaupun kecil, tetap akan ada dampaknya.

Sebab,
bagi dia, kesuksesan sebuah usaha tidak selalu harus diukur dari besar
kecilnya. “Siapa yang mengharuskan (memakai ukuran kesuksesan besar kecil, Red)
itu? Tidak ada. Kecuali tuntutan orang lain,” katanya.

Sebab,
yang menjadi tujuannya adalah merawat ruang keberagaman itu. “Kami ingin
membuktikan bahwa kemandirian, sekecil apa pun itu, bisa dilakukan. Bisa
mempunyai dampak jika dilakukan terusmenerus,” katanya.

Dalam
You’ve Got Mail, The Shop Around the Corner memang akhirnya harus sampai ke
garis finis. Tapi, Tarlen yakin Tobucil akan terus hidup. Dia sudah
membuktikannya selama 18 tahun ini. Tanpa harus menawarkan diskon dan latte. (*/c10/ttg/ilh/JPC)

Di
Tobucil & Klabs, buku-buku bertemu dengan pernik hobi kerajinan, kelas
menulis, dan diskusi filsafat. Memilih untuk tetap jadi kecil, tanpa sokongan
perusahaan besar dan donatur.

AGAS
PUTRA HARTANTO, Bandung

TAK
ada Meg Ryan dan Tom Hanks di sana. Juga, sisi-sisi glamor kawasan elite ala
Manhattan.

Yang
ada di bangunan lawas di Jalan Panaitan 18, Kebon Pisang, Bandung, itu adalah
kehangatan sebuah toko buku. Kecil memang, tapi tenang dan bersahabat.

Seperti
The Shop Around The Corner, toko buku kecil di film You’ve Got Mail yang
dikelola Kathleen Kelly. Tempat yang, mengutip Kelly yang diperankan Ryan, “tak
perlu menawarkan diskon dan latte hanya karena mayoritas pekerjanya tak pernah
membaca buku.”

“Yang
kami tawarkan di sini sebenarnya literasi beyond books,” ucap Tarlen Handayani,
pendiri Tobucil & Klabs, nama toko buku dengan hanya dua ruang berukuran
sekitar 7 x 5 meter sebagai tempat berjualan buku itu.

Tobucil,
akronim dari toko buku kecil, memang bukan sekadar tempat berjualan buku. Ada
juga pernak-pernik hobi kerajinan. Serta wadah berkumpulnya komunitas kreatif
di ibu kota Jawa Barat itu.

Sesuai
namanya, klabs, yang berarti kegiatan obrolan santai, tempat tersebut menjadi
tempat workshop dan menggelar berbagai kelas. Mulai kelas menulis, public
speaking, diskusi filsafat, hingga merajut.

Sejak
mendirikannya pada 2 Mei 2001, Tarlen memang mengusung misi untuk meningkatkan
literasi dan membentuk kemandirian. Menurut Tarlen, literasi tidak melulu soal
membaca buku, literatur, maupun kajian. Tapi, lebih pada menyadari potensi diri
untuk mengembangkan keterampilan yang dimiliki.

Dan,
di usianya yang sudah 18 tahun sekarang ini, idealisme itu tetap dijaga.
Tobucil bertahan tanpa dukungan perusahaan besar maupun donatur yang
mengucurkan dana. Meski jaringan toko buku besar seperti milik Joe Fox yang
diperankan Tom Hanks dalam You’ve Got Mail terus menggurita.

Baca Juga :  Sajikan Ratusan Porsi Makanan, 150 Anak Serentak Mainkan Kecapi

Tobucil
menggaji karyawan dengan berjualan buku, alat tulis, kerajinan, serta pernak-pernik
karya komunitas yang dititipkan ke toko. Penyewaan tempat untuk workshop juga
menjadi pemasukan. Meski sedikit. Sebab, uang bayaran tersebut 80 persen untuk
pengajar, sedangkan hanya 20 persen yang masuk ke kantong Tobucil. Sekadar
biaya administrasi pinjam tempat.

“Jadi,
guru yang mengajar di sini juga mendapat kompensasi. Ya, pembagiannya adil
aja,” terang Tarlen pada awal April lalu.

Tarlen
sosok yang sangat mencintai buku. Alumnus ilmu komunikasi jurnalistik
Universitas Islam Bandung itu sampai mengambil kursus intensif belajar menjilid
buku hingga ke luar negeri. Itu berawal dari pengalamannya di Amerika Serikat
tahun 2008.

Saat
itu Tarlen mendapat beasiswa pertukaran kebudayaan dari Asian Cultural Council.
Selama empat bulan dia menetap di New York. Salah satu kelas yang diajarkan
adalah menjilid buku.

Sepulang
ke Indonesia, Tarlen terus mencoba bereksperimen dan mengasah keterampilannya
itu. Hingga pada 2018, dia bertolak ke Kanada untuk kembali mendalami
penjilidan buku. “Di Amerika itu ilmu dasar. Nah, mastering-nya di Kanada,”
jelasnya.

Dari
awal dibentuk, Tobucil digunakan sebagai tempat untuk bisa merawat keberagaman.
Terbuka untuk siapa pun. Siapa saja yang punya niat menghargai toleransi bisa
berkegiatan di sana. “Seumpama ada klien yang ingin menggunakan tempat kami,
bicarakan aja materinya. Kira-kira cocok apa nggak,” katanya.

Ya,
meski terbuka untuk siapa saja, demi komitmen menjaga idealisme, Tarlen harus
selektif. Ada tiga hal yang dihindari dan tidak bisa dilakukan di tokonya.
Yakni, kegiatan multilevel marketing, politik praktis, dan kampanye keagamaan.

Andiani
Cincy, seorang warga Bandung, mengaku lebih mengenal Tobucil sebagai toko
pernak-pernik hobi kerajinan yang menyediakan bahan rajut. Saat
ditemui Jawa Pos pada suatu sore di awal April lalu itu, dia tampak
asyik mengamati bahan rajut.

Baca Juga :  Kreativitas Peserta Pawai di Sampit, Gunakan Busana Berbahan Koran Bek

Banyak
pilihan memang. Benang warnawarni, jarum, dan bahan rajut lainnya tersusun rapi
dalam beberapa rak yang disusun bertingkat di depan kasir. “Paling oke sih di
sini. Ada juga toko lain, tapi nggak bagus bahannya,” katanya.

Deretan
bukunya pun demikian. Sangat beragam. Di antaranya, sosial, politik, sastra,
dan budaya. Sebagian koleksinya sulit dicari, baik di toko buku fisik maupun
daring. Salah satu yang dibeli Jawa Pos adalah Memberi Suara pada
yang Bisu, buku karya Dede Oetomo terbitan 2001 yang tak gampang dicari saat
ini.

Kesetiaan
meniti jalan idealisme itu tentu mendatangkan berbagai konsekuensi. Tapi, toh
Tobucil tetap hidup sampai sekarang. Tetap didatangi mereka yang mencintai
buku, menggemari rajutan, atau menyukai diskusi yang menjunjung toleransi.

Barang
dagangan laku, baik yang datang langsung maupun melalui pesanan. Tobucil juga
tidak akan membuka cabang di Bandung atau kota mana pun di tanah air.

Dengan
penuh kesadaran, Tobucil & Klabs memilih untuk tetap kecil seperti ini.
Tarlen ingin mengirim pesan kepada semua orang bahwa selama konsisten dan
istiqamah menjalani kebaikan, walaupun kecil, tetap akan ada dampaknya.

Sebab,
bagi dia, kesuksesan sebuah usaha tidak selalu harus diukur dari besar
kecilnya. “Siapa yang mengharuskan (memakai ukuran kesuksesan besar kecil, Red)
itu? Tidak ada. Kecuali tuntutan orang lain,” katanya.

Sebab,
yang menjadi tujuannya adalah merawat ruang keberagaman itu. “Kami ingin
membuktikan bahwa kemandirian, sekecil apa pun itu, bisa dilakukan. Bisa
mempunyai dampak jika dilakukan terusmenerus,” katanya.

Dalam
You’ve Got Mail, The Shop Around the Corner memang akhirnya harus sampai ke
garis finis. Tapi, Tarlen yakin Tobucil akan terus hidup. Dia sudah
membuktikannya selama 18 tahun ini. Tanpa harus menawarkan diskon dan latte. (*/c10/ttg/ilh/JPC)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru