25.3 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Kami Tidak Punya Alat Sadap, Hanya Handphone

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menerima informasi
dari pesan pendek, telepon, atau ketemu langsung. Prinsip kerja mereka: semua
informasi dugaan perbuatan menyimpang diteruskan ke penegak hukum. Jika
aparatnya mbalela, ya digugat ke pengadilan.

 

AGUS
DWI P-SAHRUL Y, Jakarta-Solo

 

SEANDAINYA
Eugene-Francois Vidocq tidak mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum di
Prancis pada 1800-an silam, barangkali geng-geng perampok di sana aman-aman
saja. Jika tim satuan tugas (satgas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
dipimpin Novel Baswedan tak menjejaki informasi soal “selingkuhan” Tin Zuraida,
mungkin Nurhadi belum ketemu sampai sekarang.

Di kasus Djoko Soegiarto Tjandra, seandainya
permohonan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan
pada Juni lalu tak terdeteksi, buron yang akrab disapa Joker itu mungkin tetap
santai. Tanpa capek-capek berurusan dengan tiga lembaga penegak hukum
sekaligus: Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan KPK.

Kerja aparat penegak hukum (APH) memang kerap
berawal dari laporan masyarakat. Sesuai dengan ketentuan, setiap orang memang
berhak mengadu dan melapor ke penyelidik atau penyidik. Asal orang itu
mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa tindak pidana.
Aturan itu ada di pasal 108 ayat (1) KUHAP (kitab acara pidana).

Di dunia kriminologi, ada beberapa istilah bagi
mereka yang memberikan informasi perbuatan dugaan tindak pidana. Misalnya,
cepu, SP (spion polisi), informan, agen, dan saksi yang bekerja sama
(whistleblower). Mereka umumnya memberikan informasi tentang peristiwa pidana
atau keterlibatan pihak yang diduga melakukan tindak pidana.

Nah, dalam beberapa kasus, kelompok Masyarakat
Antikorupsi Indonesia (MAKI) memainkan peran sebagai pemberi informasi
tersebut. Meski tidak menjalankan sistem kerja terstruktur, informasi dari MAKI
cukup membuat orang awam ’’geleng-geleng’’. Dari mana dan bagaimana mereka
mendapatkan informasi dan data yang akurat?

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menuturkan, informasi
yang diteruskan ke aparat berwajib berasal dari banyak sumber. Di kasus dugaan
pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri, misalnya, data yang dilaporkan ke
Dewan Pengawas (Dewas) KPK berawal dari sumber yang berjenjang. ’’Apalagi itu
acara (Firli di Baturaja, Red) di tempat umum,’’ ujarnya saat ditemui di Solo,
Sabtu (5/9).

Sehari setelah menerima foto Firli menaiki
helikopter mewah, MAKI langsung menyiapkan pelaporan tentang dugaan pelanggaran
etik bergaya hidup mewah atau hedonis. Pimpinan dan pegawai KPK sesuai dengan
aturan dilarang menunjukkan gaya hidup hedonis.

Baca Juga :  Semangat Sembuh karena Ingat Masa Depan Anak

’’Naik helikopter biasa saja sudah mewah bagi
saya, apalagi naik helikopter president class,’’ ungkapnya.

Untuk kasus Djoko Tjandra, MAKI bukan pihak
pelapor. Namun, MAKI ikut berkontribusi memberikan informasi tentang
kejanggalan status kependudukan Joker. Lewat akses sistem kependudukan dan
pencatatan sipil, MAKI mendapati ada yang aneh dalam pembuatan kartu tanda
penduduk elektronik (e-KTP) Djoko Tjandra di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta.

Sepengetahuan MAKI, Djoko Tjandra adalah buron
yang tercatat memiliki paspor Papua Nugini. Artinya, Joker bukan lagi warga
negara Indonesia (WNI). Sebab, bila merujuk penjelasan umum UU Kewarganegaraan,
Indonesia tidak mengenal dwi kewarganegaraan (bipatride) atau tanpa
kewarganegaraan (apatride).

’’Djoko Tjandra kan hidup di luar negeri, masak
bisa bikin e-KTP?’’ ujar Boyamin.

Dari situ dugaan penyimpangan atas pengurusan
e-KTP Joker menyita perhatian banyak pihak. Pemprov DKI Jakarta pun melakukan
penyelidikan terhadap pihak-pihak terkait. Khususnya lurah Grogol Selatan yang
diduga membantu Joker membuat e-KTP lewat jalur ’’khusus’’.

Boyamin menyebut sejatinya MAKI adalah
perkumpulan lawyer yang mengawal kasus-kasus korupsi dan dugaan penyimpangan.
Seiring berjalannya waktu, makin banyak sumber informasi yang masuk ke MAKI.
Baik melalui pesan singkat, sambungan telepon, maupun secara lisan dan tatap
muka. ’’Kami tidak punya alat sadap, hanya punya handphone,’’ terangnya.

MAKI tercatat pernah bersinggungan dengan
kasus-kasus yang menyita perhatian masyarakat. Selain menjadi pelapor, MAKI
mengawal kasus tersebut agar terus berjalan. Misalnya, penanganan kasus korupsi
Bank Century yang dipraperadilankan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Putusan hakim memerintah KPK untuk menetapkan beberapa tersangka.

Khusus untuk kasus-kasus yang melibatkan
orang-orang ’’besar’’, MAKI mengaku mengumpulkan informasi lewat jejaring
pertemanan dan relasi yang sudah lama terbangun di lingkungan institusi penegak
hukum. Membangun jaringan ’’cepu’’ itu dimulai sejak 2003 atau awal-awal
dirinya hijrah ke Jakarta. ’’Informanku bukan dari BIN (Badan Intelijen Negara)
atau orang-orang Pejaten (sebutan markas BIN),’’ ungkap pria kelahiran
Ponorogo, Jawa Timur, tersebut.

Boyamin mengaku tidak akan membuka nama
orang-orang yang telah memberinya informasi dan data terkait dengan korupsi
maupun penyimpangan. ’’Pelapor itu yakin ke saya, karena saya tidak mencari
duit dari data itu,’’ ujarnya.

Baca Juga :  Konsistensi Merawat Literasi dan Keberagaman

Boyamin berkomitmen membayar informasi dan
kepercayaan para pelapor itu dengan mengawal kasus sampai tuntas. Lewat MAKI,
Boyamin beberapa kali menggugat institusi penegak hukum melalui praperadilan karena
kasus yang dilaporkannya mangkrak alias tidak ditindaklanjuti. ’’Saya menjamin
sumber informasi saya itu aman,’’ papar mantan anggota DPRD Solo tersebut.

Makin lama, semakin banyak orang yang
melaporkan dugaan kasus korupsi dan penyimpangan ke nomor ’’call centre’’ MAKI.
Bahkan, sehari bisa 10 nomor baru yang menghubungi. Namun, tidak semua laporan
dan informasi itu ’’dikawal’’ ke penegak hukum. ’’Paling banyak (yang
dilaporkan) itu investasi bodong,’’ ungkapnya.

Boyamin menambahkan, selama dua bulan terakhir,
dirinya tidak bisa melakukan pekerjaan utama sebagai advokat/pengacara. Sebab,
dia harus mengawal urusan terkait dengan Djoko Tjandra dan Ketua KPK Firli yang
sampai sekarang belum tuntas. ’’Pekerjaan utama saya jadi terbengkalai,’’ tutur
jebolan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tersebut.

Kiprah Boyamin Saiman bersama MAKI dalam upaya
pemberantasan korupsi juga dibutuhkan penegak hukum dan lembaga pengawas
penegak hukum. Komisi Kejaksaan (Komjak), misalnya. Mereka menilai keberadaan
MAKI dibutuhkan sebagai kontrol sosial penegak hukum. ’’Memperkuat penegak
hukum yang orientasinya kepada keadilan masyarakat,’’ terang Ketua Komjak
Barita Simanjuntak kepada Jawa Pos kemarin.

Barita mengakui, Boyamin yang kerap lantang
menyuarakan praktik-praktik korupsi di banyak lembaga menunjukkan adanya
partisipasi dari publik. ’’Sangat dibutuhkan ada peran-peran yang dijalankan
MAKI,’’ imbuhnya.

Dalam beberapa kesempatan, Boyamin tidak hanya
melaporkan kasus dugaan korupsi ke penegak hukum. Mereka juga turut mengawal
proses hukum atas laporan-laporan tersebut. Bila mencium aroma kejanggalan,
Boyamin langsung datang ke lembaga pengawas penegak hukum.

 

Komjak salah satunya. Dalam penanganan kasus
yang menyeret nama jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra, Boyamin
juga mengadu kepada Komjak. Tujuannya tidak lain agar Komjak turut menjalankan
fungsi yang melekat pada mereka.

’’Itu adalah upaya kita membangun sistem
penegak hukum yang akuntabel, transparan, dan dapat dipercaya masyarakat,’’
ujar Barita.

Menurut dia, bila
masyarakat sudah kehilangan kontrol atas kerja-kerja penegak hukum, potensi
abuse of power semakin besar. Maka dari itu, orang-orang seperti Boyamin dan
organisasi seperti MAKI dibutuhkan

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menerima informasi
dari pesan pendek, telepon, atau ketemu langsung. Prinsip kerja mereka: semua
informasi dugaan perbuatan menyimpang diteruskan ke penegak hukum. Jika
aparatnya mbalela, ya digugat ke pengadilan.

 

AGUS
DWI P-SAHRUL Y, Jakarta-Solo

 

SEANDAINYA
Eugene-Francois Vidocq tidak mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum di
Prancis pada 1800-an silam, barangkali geng-geng perampok di sana aman-aman
saja. Jika tim satuan tugas (satgas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
dipimpin Novel Baswedan tak menjejaki informasi soal “selingkuhan” Tin Zuraida,
mungkin Nurhadi belum ketemu sampai sekarang.

Di kasus Djoko Soegiarto Tjandra, seandainya
permohonan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan
pada Juni lalu tak terdeteksi, buron yang akrab disapa Joker itu mungkin tetap
santai. Tanpa capek-capek berurusan dengan tiga lembaga penegak hukum
sekaligus: Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan KPK.

Kerja aparat penegak hukum (APH) memang kerap
berawal dari laporan masyarakat. Sesuai dengan ketentuan, setiap orang memang
berhak mengadu dan melapor ke penyelidik atau penyidik. Asal orang itu
mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa tindak pidana.
Aturan itu ada di pasal 108 ayat (1) KUHAP (kitab acara pidana).

Di dunia kriminologi, ada beberapa istilah bagi
mereka yang memberikan informasi perbuatan dugaan tindak pidana. Misalnya,
cepu, SP (spion polisi), informan, agen, dan saksi yang bekerja sama
(whistleblower). Mereka umumnya memberikan informasi tentang peristiwa pidana
atau keterlibatan pihak yang diduga melakukan tindak pidana.

Nah, dalam beberapa kasus, kelompok Masyarakat
Antikorupsi Indonesia (MAKI) memainkan peran sebagai pemberi informasi
tersebut. Meski tidak menjalankan sistem kerja terstruktur, informasi dari MAKI
cukup membuat orang awam ’’geleng-geleng’’. Dari mana dan bagaimana mereka
mendapatkan informasi dan data yang akurat?

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menuturkan, informasi
yang diteruskan ke aparat berwajib berasal dari banyak sumber. Di kasus dugaan
pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri, misalnya, data yang dilaporkan ke
Dewan Pengawas (Dewas) KPK berawal dari sumber yang berjenjang. ’’Apalagi itu
acara (Firli di Baturaja, Red) di tempat umum,’’ ujarnya saat ditemui di Solo,
Sabtu (5/9).

Sehari setelah menerima foto Firli menaiki
helikopter mewah, MAKI langsung menyiapkan pelaporan tentang dugaan pelanggaran
etik bergaya hidup mewah atau hedonis. Pimpinan dan pegawai KPK sesuai dengan
aturan dilarang menunjukkan gaya hidup hedonis.

Baca Juga :  Semangat Sembuh karena Ingat Masa Depan Anak

’’Naik helikopter biasa saja sudah mewah bagi
saya, apalagi naik helikopter president class,’’ ungkapnya.

Untuk kasus Djoko Tjandra, MAKI bukan pihak
pelapor. Namun, MAKI ikut berkontribusi memberikan informasi tentang
kejanggalan status kependudukan Joker. Lewat akses sistem kependudukan dan
pencatatan sipil, MAKI mendapati ada yang aneh dalam pembuatan kartu tanda
penduduk elektronik (e-KTP) Djoko Tjandra di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta.

Sepengetahuan MAKI, Djoko Tjandra adalah buron
yang tercatat memiliki paspor Papua Nugini. Artinya, Joker bukan lagi warga
negara Indonesia (WNI). Sebab, bila merujuk penjelasan umum UU Kewarganegaraan,
Indonesia tidak mengenal dwi kewarganegaraan (bipatride) atau tanpa
kewarganegaraan (apatride).

’’Djoko Tjandra kan hidup di luar negeri, masak
bisa bikin e-KTP?’’ ujar Boyamin.

Dari situ dugaan penyimpangan atas pengurusan
e-KTP Joker menyita perhatian banyak pihak. Pemprov DKI Jakarta pun melakukan
penyelidikan terhadap pihak-pihak terkait. Khususnya lurah Grogol Selatan yang
diduga membantu Joker membuat e-KTP lewat jalur ’’khusus’’.

Boyamin menyebut sejatinya MAKI adalah
perkumpulan lawyer yang mengawal kasus-kasus korupsi dan dugaan penyimpangan.
Seiring berjalannya waktu, makin banyak sumber informasi yang masuk ke MAKI.
Baik melalui pesan singkat, sambungan telepon, maupun secara lisan dan tatap
muka. ’’Kami tidak punya alat sadap, hanya punya handphone,’’ terangnya.

MAKI tercatat pernah bersinggungan dengan
kasus-kasus yang menyita perhatian masyarakat. Selain menjadi pelapor, MAKI
mengawal kasus tersebut agar terus berjalan. Misalnya, penanganan kasus korupsi
Bank Century yang dipraperadilankan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Putusan hakim memerintah KPK untuk menetapkan beberapa tersangka.

Khusus untuk kasus-kasus yang melibatkan
orang-orang ’’besar’’, MAKI mengaku mengumpulkan informasi lewat jejaring
pertemanan dan relasi yang sudah lama terbangun di lingkungan institusi penegak
hukum. Membangun jaringan ’’cepu’’ itu dimulai sejak 2003 atau awal-awal
dirinya hijrah ke Jakarta. ’’Informanku bukan dari BIN (Badan Intelijen Negara)
atau orang-orang Pejaten (sebutan markas BIN),’’ ungkap pria kelahiran
Ponorogo, Jawa Timur, tersebut.

Boyamin mengaku tidak akan membuka nama
orang-orang yang telah memberinya informasi dan data terkait dengan korupsi
maupun penyimpangan. ’’Pelapor itu yakin ke saya, karena saya tidak mencari
duit dari data itu,’’ ujarnya.

Baca Juga :  Konsistensi Merawat Literasi dan Keberagaman

Boyamin berkomitmen membayar informasi dan
kepercayaan para pelapor itu dengan mengawal kasus sampai tuntas. Lewat MAKI,
Boyamin beberapa kali menggugat institusi penegak hukum melalui praperadilan karena
kasus yang dilaporkannya mangkrak alias tidak ditindaklanjuti. ’’Saya menjamin
sumber informasi saya itu aman,’’ papar mantan anggota DPRD Solo tersebut.

Makin lama, semakin banyak orang yang
melaporkan dugaan kasus korupsi dan penyimpangan ke nomor ’’call centre’’ MAKI.
Bahkan, sehari bisa 10 nomor baru yang menghubungi. Namun, tidak semua laporan
dan informasi itu ’’dikawal’’ ke penegak hukum. ’’Paling banyak (yang
dilaporkan) itu investasi bodong,’’ ungkapnya.

Boyamin menambahkan, selama dua bulan terakhir,
dirinya tidak bisa melakukan pekerjaan utama sebagai advokat/pengacara. Sebab,
dia harus mengawal urusan terkait dengan Djoko Tjandra dan Ketua KPK Firli yang
sampai sekarang belum tuntas. ’’Pekerjaan utama saya jadi terbengkalai,’’ tutur
jebolan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tersebut.

Kiprah Boyamin Saiman bersama MAKI dalam upaya
pemberantasan korupsi juga dibutuhkan penegak hukum dan lembaga pengawas
penegak hukum. Komisi Kejaksaan (Komjak), misalnya. Mereka menilai keberadaan
MAKI dibutuhkan sebagai kontrol sosial penegak hukum. ’’Memperkuat penegak
hukum yang orientasinya kepada keadilan masyarakat,’’ terang Ketua Komjak
Barita Simanjuntak kepada Jawa Pos kemarin.

Barita mengakui, Boyamin yang kerap lantang
menyuarakan praktik-praktik korupsi di banyak lembaga menunjukkan adanya
partisipasi dari publik. ’’Sangat dibutuhkan ada peran-peran yang dijalankan
MAKI,’’ imbuhnya.

Dalam beberapa kesempatan, Boyamin tidak hanya
melaporkan kasus dugaan korupsi ke penegak hukum. Mereka juga turut mengawal
proses hukum atas laporan-laporan tersebut. Bila mencium aroma kejanggalan,
Boyamin langsung datang ke lembaga pengawas penegak hukum.

 

Komjak salah satunya. Dalam penanganan kasus
yang menyeret nama jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra, Boyamin
juga mengadu kepada Komjak. Tujuannya tidak lain agar Komjak turut menjalankan
fungsi yang melekat pada mereka.

’’Itu adalah upaya kita membangun sistem
penegak hukum yang akuntabel, transparan, dan dapat dipercaya masyarakat,’’
ujar Barita.

Menurut dia, bila
masyarakat sudah kehilangan kontrol atas kerja-kerja penegak hukum, potensi
abuse of power semakin besar. Maka dari itu, orang-orang seperti Boyamin dan
organisasi seperti MAKI dibutuhkan

Terpopuler

Artikel Terbaru