27.3 C
Jakarta
Thursday, April 17, 2025

Alat Puruhito

USAI senam pagi saya buka HP. Upsโ€ฆ Sudah ada WA dari Prof Dr Puruhito: 06.44. Soal tulisan di Disway edisi kemarin.

Anda sudah tahu: beliau perintis bedah jantung di Surabaya. Pernah jadi rektor Universitas Airlangga. Keahliannya diperoleh dari Jerman.

Prof Dr Tahalele adalah muridnya. Puruhito yang minta Tahalele memperdalam ilmu bedah jantung di Jerman. Di Universitas yang sama. Dari guru besar yang sama.

Kini Prof Tahalele sudah pensiun. Sudah empat tahun. Sudah pindah ke universitas swasta. Tahalele jadi dekan fakultas kedokteran di Universitas Katolik Widya Mandala.

Berarti betapa seniornya Prof Puruhito. Di usia 79 tahun, beliau masih aktif. Mengajar. Menguji. Menulis. Badannya sehat. Tegap. Perutnya rata.

Sudah delapan buku Puruhito diterbitkan. Semua jadi pegangan di universitas. Misalnya buku Kolokium Bedah, Pengantar Bedah Vaskulus, Dasar-Dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasus-Kasus Bedah. Dan banyak lagi.

Saya pun minta izin: agar WA jam 06.44 itu bisa diterbitkan di Disway. Bukan saja penting, tulisan Prof Puruhito kali ini seperti bukan tulisan gaya lama beliau. Ini seperti Puruhito muda kembali. Sejak beliau sendiri menjalani operasi bedah jantung 8 tahun lalu, tampilan beliau seperti lebih muda. (Dahlan Iskan)

 

Inilah WA pukul 06.44 itu:

***

PEMBACA tulisan Anda dengan judul Rebutan Alat, saya jadi โ€maluโ€ (maaf pakai tanda petik). Malu sebagai dokter. Bahwa memang terjadi apa yang Anda sampaikan itu. Di rumah sakit, ya memang begitu adanya.

โ€Maluโ€ karena terjadi โ€aibโ€. Seharusnya tidak pantas ada  dokter seperti itu, mengingat โ€sumpah dokterโ€ yang pernah diucapkan waktu dilantik sebagai dokter. Hal itu seolah telah melanggar sumpah itu. Khususnya dalam konteks โ€kesejawatanโ€ (โ€Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai saudara kandungโ€). Juga pada pengabdian kepada pasien (โ€kepentingan pasien akan saya utamakanโ€).

Menjadi direktur RS (di Indonesia saja?) memang rupanya tidak โ€mudahโ€. Saya masih ingat kata dr Soeroso, mantan direktur RSUD dr Soetomo sebelum dr Djoni Wahyudi. dr Suroso  mengatakan, menjadi direktur RSUD ternyata lebih โ€rumitโ€ ketimbang menjadi bupati. Beliau memang mantan bupati (Madiun/ Nganjuk?)

Saya tidak pernah jadi direktur RS, tapi sebagai mantan rektor juga menemukan problem yang hampir sama antara rektor PTN (waktu itu belum PT BH) dengan rektor PTS.

Baca Juga :  Windy Evi

Untuk rumah sakit, sekarang makin โ€rumitโ€ dengan adanya โ€macam-macamโ€ RS: RS-Vertikal seperti di Kupang. Di Surabaya juga akan dibangun RS Vertikal. Ada lagi RSUD (milik Pemprov atau Pemkot/ Pemkab). RSUD dr Soetomo dan RS Haji Surabaya adalah โ€milikโ€ Pemprov Jatim. RS BDH dan RS Soewandi โ€milikโ€™ Pemkot Surabaya).

Ditambah lagi ada RS-Universitas (yang ada di hampir semua PTN di Indonesia (RS USU, RS UI, RS UGM, RS UA,  dan seterusnya) yang โ€milikโ€ Rektor (?) atau milik PT terkait? atau milik Kemendikbudristek? Walah, jadi rumit. Itu di bawah  Kemenkes atau Kemendikbudristek? (sebagai mantan rektor saya juga tidak bisa menjawab dengan tepat). Apalagi juga disebut โ€Rumah Sakit Pendidikanโ€ โ€“ Vertikal ? RS Daerah ? (mungkin perlu bantuan para โ€sahabat Diswayโ€ atau โ€perusuh Diswayโ€ untuk โ€membanding-banding kรฉโ€ RS-RS tersebut.)

Contohnya RSUD dr Soetomo. Sudah berpuluh tahun sebagai โ€RS Pendidikan di Unairโ€. Sekarang ada RSU Airlangga yang juga โ€RS Pendidikan Unairโ€. Kami di prodi pendidikan spesialis juga punya โ€RS Jejaringโ€. Yakni untuk membantu pendidikan spesialis (upaya โ€percepatan Pendidikan Spesialisโ€ โ€“ seperti Anda tulis beberapa waktu lalu). Ini wewenang Kemenkes kah atau Kemendikbudristek?

 

Rumit juga ya?

Nah, yang Anda tulis tentang โ€rebutan alatโ€ itu (termasuk yang membuat saya โ€maluโ€ tadi) memang โ€terjadiโ€ di beberapa sektor. Maaf, karena Anda juga menyebut SpBTKV yang ikut rebutan, tapi bukan dengan SpA tapi dengan Cath-Lab (di RSUD dr Soetomo sudah tidak lagi, tapi di RS lain juga di luar Surabaya masih ada). Malah pernah ada Permenkes yang menyebutkan tentang penggunaan alat radiologi dan  juga โ€kebijakan direkturโ€ setempat.

Yang pasti (seperti Anda tulis) tidak ada di RS Swasta. Tapi toh pernah terjadi โ€penguasaan alatโ€ oleh spesialis tertentu dengan memblokir hari-hari penggunaan alat tersebut. Dan direktur tidak mampu mengatasinya karena โ€kalah wibawaโ€ dengan spesialis tersebut.

Problem itu juga terkait dengan โ€azas monoloyalitasโ€ (satu dokter satu SIP atau satu tempat praktek). Yang pasti perubahan soal ini akan membuat banyak dokter (termasuk spesialis) akan protes. Sekarang SIP dibatasi hanya 3 tempat praktik/Rumah Sakit.

Pasti direktur RS akan โ€senangโ€ bila para dokter itu โ€loyalโ€ bekerja HANYA di RS nya saja. Dari pagi sampai sore/malam. Bahkan sekalian โ€praktikโ€ di RS nya itu juga. Itu memang ideal. Seperti di beberapa negara lain.

Baca Juga :  Menang Lotere

Di Singapore saya kenal beberapa spesialis khusus yang bekerja di lebih dari satu RS. Tapi di Jerman sejauh ini memang semua dokter โ€loyalโ€ hanya bekerja di satu rumah sakit, dari pagi sampai sore. Kebijakan โ€monoloyalitasโ€ ini memang ideal untuk keperluan pendidikan spesialis yang โ€hospital basedโ€ (lagi ribut juga masalah ini), karena โ€dokter-guru-pendidikโ€ bisa konsentrasi membimbing calon spesialis.

Cuma saat ini jumlah pendidik inilah yang masih terbatas,  hanya ada di kota besar. Sementara itu para โ€œdokter pendidikโ€ ini juga perlu โ€œtambahan penghasilanโ€ dengan punya SIP di RS lain. Jadi dilematis kalau harus โ€monoloyalโ€. Terjadinya โ€rebutan alatโ€ juga karena sebab-sebab tersebut.

Semua itu menjadikan โ€rumitโ€ nya menjadi direktur RS Pemerintah (Vertikal, Pemprov, Pemkot/PemKab) atau bahkan direktur RS Pendidikan (masih โ€RS Pemerintahโ€).

Entahlah bagaimana kelak kalau ada RS Swasta yang menjadi โ€RS Pendidikan Spesialisโ€ seperti wacana yang sudah mulai ada ke arah sana. Saya tahu ada RS Swasta yang punya CEO dan juga punya  direktur RS, tapi yang โ€kuasaโ€ adalah CEO nya. Maaf saya tidak punya gelar โ€œMARSโ€ mungkin kurang tepat menyebut hal ini.

Mungkin kelak juga harus ada gelar โ€œMAUโ€ (Management Administrasi Universitas โ€“ Sekolah Rektor) untuk mengelola RS Pendidikan sebagai โ€œmilikโ€ Rektor/PT.

Saya masih ingin komentar panjang, tapi rasanya hal ini sudah cukuplah sedikit memberi masukan untuk Anda, dari sudut pandang seorang pensiunan rektor, masih mendidik spesialis di RSUD (yang bukan Vertikal, dengan segala keterbatasan pengadaan alat-alat canggih.

Apalagi waktu saya masih muda dulu, sulit sekali  memperoleh alat-alat untuk melaksanakan bedah jantung.

Untung saya tidak pernah punya jabatan struktural pimpinan di RSUD dr Soetomo. Di hari tua ini saya tetap mendidik agar tidak lupa dan tidak โ€nganggurโ€.

Semoga Pak Dahlan yang saya kagumi, tetap sehat (saya salut betul karena saya tahu Anda punya โ€hatiโ€ khusus yang dirawat dengan obat-obat hebat dan kesehatan yang prima bisa selalu berkelana ke mana-mana tanpa lelah, menikmati kuliner dan durian Musangkingโ€ฆ).

Prof Dr dr Puruhito (*)

USAI senam pagi saya buka HP. Upsโ€ฆ Sudah ada WA dari Prof Dr Puruhito: 06.44. Soal tulisan di Disway edisi kemarin.

Anda sudah tahu: beliau perintis bedah jantung di Surabaya. Pernah jadi rektor Universitas Airlangga. Keahliannya diperoleh dari Jerman.

Prof Dr Tahalele adalah muridnya. Puruhito yang minta Tahalele memperdalam ilmu bedah jantung di Jerman. Di Universitas yang sama. Dari guru besar yang sama.

Kini Prof Tahalele sudah pensiun. Sudah empat tahun. Sudah pindah ke universitas swasta. Tahalele jadi dekan fakultas kedokteran di Universitas Katolik Widya Mandala.

Berarti betapa seniornya Prof Puruhito. Di usia 79 tahun, beliau masih aktif. Mengajar. Menguji. Menulis. Badannya sehat. Tegap. Perutnya rata.

Sudah delapan buku Puruhito diterbitkan. Semua jadi pegangan di universitas. Misalnya buku Kolokium Bedah, Pengantar Bedah Vaskulus, Dasar-Dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasus-Kasus Bedah. Dan banyak lagi.

Saya pun minta izin: agar WA jam 06.44 itu bisa diterbitkan di Disway. Bukan saja penting, tulisan Prof Puruhito kali ini seperti bukan tulisan gaya lama beliau. Ini seperti Puruhito muda kembali. Sejak beliau sendiri menjalani operasi bedah jantung 8 tahun lalu, tampilan beliau seperti lebih muda. (Dahlan Iskan)

 

Inilah WA pukul 06.44 itu:

***

PEMBACA tulisan Anda dengan judul Rebutan Alat, saya jadi โ€maluโ€ (maaf pakai tanda petik). Malu sebagai dokter. Bahwa memang terjadi apa yang Anda sampaikan itu. Di rumah sakit, ya memang begitu adanya.

โ€Maluโ€ karena terjadi โ€aibโ€. Seharusnya tidak pantas ada  dokter seperti itu, mengingat โ€sumpah dokterโ€ yang pernah diucapkan waktu dilantik sebagai dokter. Hal itu seolah telah melanggar sumpah itu. Khususnya dalam konteks โ€kesejawatanโ€ (โ€Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai saudara kandungโ€). Juga pada pengabdian kepada pasien (โ€kepentingan pasien akan saya utamakanโ€).

Menjadi direktur RS (di Indonesia saja?) memang rupanya tidak โ€mudahโ€. Saya masih ingat kata dr Soeroso, mantan direktur RSUD dr Soetomo sebelum dr Djoni Wahyudi. dr Suroso  mengatakan, menjadi direktur RSUD ternyata lebih โ€rumitโ€ ketimbang menjadi bupati. Beliau memang mantan bupati (Madiun/ Nganjuk?)

Saya tidak pernah jadi direktur RS, tapi sebagai mantan rektor juga menemukan problem yang hampir sama antara rektor PTN (waktu itu belum PT BH) dengan rektor PTS.

Baca Juga :  Windy Evi

Untuk rumah sakit, sekarang makin โ€rumitโ€ dengan adanya โ€macam-macamโ€ RS: RS-Vertikal seperti di Kupang. Di Surabaya juga akan dibangun RS Vertikal. Ada lagi RSUD (milik Pemprov atau Pemkot/ Pemkab). RSUD dr Soetomo dan RS Haji Surabaya adalah โ€milikโ€ Pemprov Jatim. RS BDH dan RS Soewandi โ€milikโ€™ Pemkot Surabaya).

Ditambah lagi ada RS-Universitas (yang ada di hampir semua PTN di Indonesia (RS USU, RS UI, RS UGM, RS UA,  dan seterusnya) yang โ€milikโ€ Rektor (?) atau milik PT terkait? atau milik Kemendikbudristek? Walah, jadi rumit. Itu di bawah  Kemenkes atau Kemendikbudristek? (sebagai mantan rektor saya juga tidak bisa menjawab dengan tepat). Apalagi juga disebut โ€Rumah Sakit Pendidikanโ€ โ€“ Vertikal ? RS Daerah ? (mungkin perlu bantuan para โ€sahabat Diswayโ€ atau โ€perusuh Diswayโ€ untuk โ€membanding-banding kรฉโ€ RS-RS tersebut.)

Contohnya RSUD dr Soetomo. Sudah berpuluh tahun sebagai โ€RS Pendidikan di Unairโ€. Sekarang ada RSU Airlangga yang juga โ€RS Pendidikan Unairโ€. Kami di prodi pendidikan spesialis juga punya โ€RS Jejaringโ€. Yakni untuk membantu pendidikan spesialis (upaya โ€percepatan Pendidikan Spesialisโ€ โ€“ seperti Anda tulis beberapa waktu lalu). Ini wewenang Kemenkes kah atau Kemendikbudristek?

 

Rumit juga ya?

Nah, yang Anda tulis tentang โ€rebutan alatโ€ itu (termasuk yang membuat saya โ€maluโ€ tadi) memang โ€terjadiโ€ di beberapa sektor. Maaf, karena Anda juga menyebut SpBTKV yang ikut rebutan, tapi bukan dengan SpA tapi dengan Cath-Lab (di RSUD dr Soetomo sudah tidak lagi, tapi di RS lain juga di luar Surabaya masih ada). Malah pernah ada Permenkes yang menyebutkan tentang penggunaan alat radiologi dan  juga โ€kebijakan direkturโ€ setempat.

Yang pasti (seperti Anda tulis) tidak ada di RS Swasta. Tapi toh pernah terjadi โ€penguasaan alatโ€ oleh spesialis tertentu dengan memblokir hari-hari penggunaan alat tersebut. Dan direktur tidak mampu mengatasinya karena โ€kalah wibawaโ€ dengan spesialis tersebut.

Problem itu juga terkait dengan โ€azas monoloyalitasโ€ (satu dokter satu SIP atau satu tempat praktek). Yang pasti perubahan soal ini akan membuat banyak dokter (termasuk spesialis) akan protes. Sekarang SIP dibatasi hanya 3 tempat praktik/Rumah Sakit.

Pasti direktur RS akan โ€senangโ€ bila para dokter itu โ€loyalโ€ bekerja HANYA di RS nya saja. Dari pagi sampai sore/malam. Bahkan sekalian โ€praktikโ€ di RS nya itu juga. Itu memang ideal. Seperti di beberapa negara lain.

Baca Juga :  Menang Lotere

Di Singapore saya kenal beberapa spesialis khusus yang bekerja di lebih dari satu RS. Tapi di Jerman sejauh ini memang semua dokter โ€loyalโ€ hanya bekerja di satu rumah sakit, dari pagi sampai sore. Kebijakan โ€monoloyalitasโ€ ini memang ideal untuk keperluan pendidikan spesialis yang โ€hospital basedโ€ (lagi ribut juga masalah ini), karena โ€dokter-guru-pendidikโ€ bisa konsentrasi membimbing calon spesialis.

Cuma saat ini jumlah pendidik inilah yang masih terbatas,  hanya ada di kota besar. Sementara itu para โ€œdokter pendidikโ€ ini juga perlu โ€œtambahan penghasilanโ€ dengan punya SIP di RS lain. Jadi dilematis kalau harus โ€monoloyalโ€. Terjadinya โ€rebutan alatโ€ juga karena sebab-sebab tersebut.

Semua itu menjadikan โ€rumitโ€ nya menjadi direktur RS Pemerintah (Vertikal, Pemprov, Pemkot/PemKab) atau bahkan direktur RS Pendidikan (masih โ€RS Pemerintahโ€).

Entahlah bagaimana kelak kalau ada RS Swasta yang menjadi โ€RS Pendidikan Spesialisโ€ seperti wacana yang sudah mulai ada ke arah sana. Saya tahu ada RS Swasta yang punya CEO dan juga punya  direktur RS, tapi yang โ€kuasaโ€ adalah CEO nya. Maaf saya tidak punya gelar โ€œMARSโ€ mungkin kurang tepat menyebut hal ini.

Mungkin kelak juga harus ada gelar โ€œMAUโ€ (Management Administrasi Universitas โ€“ Sekolah Rektor) untuk mengelola RS Pendidikan sebagai โ€œmilikโ€ Rektor/PT.

Saya masih ingin komentar panjang, tapi rasanya hal ini sudah cukuplah sedikit memberi masukan untuk Anda, dari sudut pandang seorang pensiunan rektor, masih mendidik spesialis di RSUD (yang bukan Vertikal, dengan segala keterbatasan pengadaan alat-alat canggih.

Apalagi waktu saya masih muda dulu, sulit sekali  memperoleh alat-alat untuk melaksanakan bedah jantung.

Untung saya tidak pernah punya jabatan struktural pimpinan di RSUD dr Soetomo. Di hari tua ini saya tetap mendidik agar tidak lupa dan tidak โ€nganggurโ€.

Semoga Pak Dahlan yang saya kagumi, tetap sehat (saya salut betul karena saya tahu Anda punya โ€hatiโ€ khusus yang dirawat dengan obat-obat hebat dan kesehatan yang prima bisa selalu berkelana ke mana-mana tanpa lelah, menikmati kuliner dan durian Musangkingโ€ฆ).

Prof Dr dr Puruhito (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru