USAI senam pagi saya buka HP. Upsโฆ Sudah ada WA dari Prof Dr Puruhito: 06.44. Soal tulisan di Disway edisi kemarin.
Anda sudah tahu: beliau perintis bedah jantung di Surabaya. Pernah jadi rektor Universitas Airlangga. Keahliannya diperoleh dari Jerman.
Prof Dr Tahalele adalah muridnya. Puruhito yang minta Tahalele memperdalam ilmu bedah jantung di Jerman. Di Universitas yang sama. Dari guru besar yang sama.
Kini Prof Tahalele sudah pensiun. Sudah empat tahun. Sudah pindah ke universitas swasta. Tahalele jadi dekan fakultas kedokteran di Universitas Katolik Widya Mandala.
Berarti betapa seniornya Prof Puruhito. Di usia 79 tahun, beliau masih aktif. Mengajar. Menguji. Menulis. Badannya sehat. Tegap. Perutnya rata.
Sudah delapan buku Puruhito diterbitkan. Semua jadi pegangan di universitas. Misalnya buku Kolokium Bedah, Pengantar Bedah Vaskulus, Dasar-Dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasus-Kasus Bedah. Dan banyak lagi.
Saya pun minta izin: agar WA jam 06.44 itu bisa diterbitkan di Disway. Bukan saja penting, tulisan Prof Puruhito kali ini seperti bukan tulisan gaya lama beliau. Ini seperti Puruhito muda kembali. Sejak beliau sendiri menjalani operasi bedah jantung 8 tahun lalu, tampilan beliau seperti lebih muda. (Dahlan Iskan)
Inilah WA pukul 06.44 itu:
***
PEMBACA tulisan Anda dengan judul Rebutan Alat, saya jadi โmaluโ (maaf pakai tanda petik). Malu sebagai dokter. Bahwa memang terjadi apa yang Anda sampaikan itu. Di rumah sakit, ya memang begitu adanya.
โMaluโ karena terjadi โaibโ. Seharusnya tidak pantas ada dokter seperti itu, mengingat โsumpah dokterโ yang pernah diucapkan waktu dilantik sebagai dokter. Hal itu seolah telah melanggar sumpah itu. Khususnya dalam konteks โkesejawatanโ (โSaya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai saudara kandungโ). Juga pada pengabdian kepada pasien (โkepentingan pasien akan saya utamakanโ).
Menjadi direktur RS (di Indonesia saja?) memang rupanya tidak โmudahโ. Saya masih ingat kata dr Soeroso, mantan direktur RSUD dr Soetomo sebelum dr Djoni Wahyudi. dr Suroso mengatakan, menjadi direktur RSUD ternyata lebih โrumitโ ketimbang menjadi bupati. Beliau memang mantan bupati (Madiun/ Nganjuk?)
Saya tidak pernah jadi direktur RS, tapi sebagai mantan rektor juga menemukan problem yang hampir sama antara rektor PTN (waktu itu belum PT BH) dengan rektor PTS.
Untuk rumah sakit, sekarang makin โrumitโ dengan adanya โmacam-macamโ RS: RS-Vertikal seperti di Kupang. Di Surabaya juga akan dibangun RS Vertikal. Ada lagi RSUD (milik Pemprov atau Pemkot/ Pemkab). RSUD dr Soetomo dan RS Haji Surabaya adalah โmilikโ Pemprov Jatim. RS BDH dan RS Soewandi โmilikโ Pemkot Surabaya).
Ditambah lagi ada RS-Universitas (yang ada di hampir semua PTN di Indonesia (RS USU, RS UI, RS UGM, RS UA, dan seterusnya) yang โmilikโ Rektor (?) atau milik PT terkait? atau milik Kemendikbudristek? Walah, jadi rumit. Itu di bawah Kemenkes atau Kemendikbudristek? (sebagai mantan rektor saya juga tidak bisa menjawab dengan tepat). Apalagi juga disebut โRumah Sakit Pendidikanโ โ Vertikal ? RS Daerah ? (mungkin perlu bantuan para โsahabat Diswayโ atau โperusuh Diswayโ untuk โmembanding-banding kรฉโ RS-RS tersebut.)
Contohnya RSUD dr Soetomo. Sudah berpuluh tahun sebagai โRS Pendidikan di Unairโ. Sekarang ada RSU Airlangga yang juga โRS Pendidikan Unairโ. Kami di prodi pendidikan spesialis juga punya โRS Jejaringโ. Yakni untuk membantu pendidikan spesialis (upaya โpercepatan Pendidikan Spesialisโ โ seperti Anda tulis beberapa waktu lalu). Ini wewenang Kemenkes kah atau Kemendikbudristek?
Rumit juga ya?
Nah, yang Anda tulis tentang โrebutan alatโ itu (termasuk yang membuat saya โmaluโ tadi) memang โterjadiโ di beberapa sektor. Maaf, karena Anda juga menyebut SpBTKV yang ikut rebutan, tapi bukan dengan SpA tapi dengan Cath-Lab (di RSUD dr Soetomo sudah tidak lagi, tapi di RS lain juga di luar Surabaya masih ada). Malah pernah ada Permenkes yang menyebutkan tentang penggunaan alat radiologi dan juga โkebijakan direkturโ setempat.
Yang pasti (seperti Anda tulis) tidak ada di RS Swasta. Tapi toh pernah terjadi โpenguasaan alatโ oleh spesialis tertentu dengan memblokir hari-hari penggunaan alat tersebut. Dan direktur tidak mampu mengatasinya karena โkalah wibawaโ dengan spesialis tersebut.
Problem itu juga terkait dengan โazas monoloyalitasโ (satu dokter satu SIP atau satu tempat praktek). Yang pasti perubahan soal ini akan membuat banyak dokter (termasuk spesialis) akan protes. Sekarang SIP dibatasi hanya 3 tempat praktik/Rumah Sakit.
Pasti direktur RS akan โsenangโ bila para dokter itu โloyalโ bekerja HANYA di RS nya saja. Dari pagi sampai sore/malam. Bahkan sekalian โpraktikโ di RS nya itu juga. Itu memang ideal. Seperti di beberapa negara lain.
Di Singapore saya kenal beberapa spesialis khusus yang bekerja di lebih dari satu RS. Tapi di Jerman sejauh ini memang semua dokter โloyalโ hanya bekerja di satu rumah sakit, dari pagi sampai sore. Kebijakan โmonoloyalitasโ ini memang ideal untuk keperluan pendidikan spesialis yang โhospital basedโ (lagi ribut juga masalah ini), karena โdokter-guru-pendidikโ bisa konsentrasi membimbing calon spesialis.
Cuma saat ini jumlah pendidik inilah yang masih terbatas, hanya ada di kota besar. Sementara itu para โdokter pendidikโ ini juga perlu โtambahan penghasilanโ dengan punya SIP di RS lain. Jadi dilematis kalau harus โmonoloyalโ. Terjadinya โrebutan alatโ juga karena sebab-sebab tersebut.
Semua itu menjadikan โrumitโ nya menjadi direktur RS Pemerintah (Vertikal, Pemprov, Pemkot/PemKab) atau bahkan direktur RS Pendidikan (masih โRS Pemerintahโ).
Entahlah bagaimana kelak kalau ada RS Swasta yang menjadi โRS Pendidikan Spesialisโ seperti wacana yang sudah mulai ada ke arah sana. Saya tahu ada RS Swasta yang punya CEO dan juga punya direktur RS, tapi yang โkuasaโ adalah CEO nya. Maaf saya tidak punya gelar โMARSโ mungkin kurang tepat menyebut hal ini.
Mungkin kelak juga harus ada gelar โMAUโ (Management Administrasi Universitas โ Sekolah Rektor) untuk mengelola RS Pendidikan sebagai โmilikโ Rektor/PT.
Saya masih ingin komentar panjang, tapi rasanya hal ini sudah cukuplah sedikit memberi masukan untuk Anda, dari sudut pandang seorang pensiunan rektor, masih mendidik spesialis di RSUD (yang bukan Vertikal, dengan segala keterbatasan pengadaan alat-alat canggih.
Apalagi waktu saya masih muda dulu, sulit sekali memperoleh alat-alat untuk melaksanakan bedah jantung.
Untung saya tidak pernah punya jabatan struktural pimpinan di RSUD dr Soetomo. Di hari tua ini saya tetap mendidik agar tidak lupa dan tidak โnganggurโ.
Semoga Pak Dahlan yang saya kagumi, tetap sehat (saya salut betul karena saya tahu Anda punya โhatiโ khusus yang dirawat dengan obat-obat hebat dan kesehatan yang prima bisa selalu berkelana ke mana-mana tanpa lelah, menikmati kuliner dan durian Musangkingโฆ).
Prof Dr dr Puruhito (*)