SUDAH lebih dari dua tahun terakhir ketua senam saya seorang purnawirawan kolonel polisi: Pak Yudi. Sejak itu setiap ada hari besar, senamnya terasa beda.
Kemarin, misalnya. Senam dimulai dengan ”Siaaaap… Grak!” Dilanjutkan dengan mengheningkan cipta. Lengkap. Diiringi instrumentalia yang biasa digunakan di taman makam pahlawan itu.
Pakaian kami pun bebas: asal bernuansa pahlawan. Umumnya peserta memilih celana militer. Ada yang pakai peci veteran, lengkap dengan sabuk pistol –tanpa isinya.
Kemarin memang Hari Pahlawan. 10 November. Kita hormati pahlawan kita.
Ke depan kita kesulitan untuk mencari pahlawan. Zaman medsos telah memberikan gambaran berbeda: tidak ada orang yang sempurna. Orang yang semula kita pahlawankan tiba-tiba terlihat bopeng.
Bisa saja bopeng itu memang begitulah kenyataannya. Ada juga yang bopengnya buatan. Rupanya, banyak orang bopeng yang tidak rela kalau ada orang lain yang terlihat tidak bopeng. ”Celeng satu, celeng semua..!” Begitu bunyi syair lagu Celeng Dhegleng yang tiba-tiba ngetop belakangan ini. ”Leng ji, leng beh,” bunyi asli lagu itu: ”Celeng siji, celeng kabeh….”
Lagu Sri Krishna tersebut diluncurkan pertama Desember 2018. Jauh sebelum pandemi. Syairnya ditulis bersama dengan Romo Sindhunata. Inspirasinya datang dari lukisan Celeng karya pelukis Joko Pekik yang terkenal itu.
Sri Krishna seniman Yogyakarta. Pencipta lagu. Penyanyi. Ia seniman yang dilahirkan –pendidikannya sendiri ilmu hukum UGM, tapi tidak selesai.
Rambutnya panjang, tampilannya urakan. Ia sering kumpul dengan seniman Yogyakarta lainnya. Termasuk Butet Kartaredjasa dan almarhum Djaduk.
Baru di Celeng Dhegleng itulah lagunya ngetop. Tak lain gara-gara kontroversi banteng-celeng. Seorang politikus PDI Perjuangan pusat menilai: yang mendukung Ganjar Pranowo itu bukan banteng, melainkan celeng. Tidak persis begitu, tapi kurang lebih mirip itu.
Mirip ejeken Bonek yang kemudian justru menjadi nama kebesaran, pun julukan celeng.
”Kalau pendukung Ganjar disebut celeng, kami semua adalah celeng.” Kurang lebih begitu kata mereka.
Kok kebetulan sudah ada lagu Celeng Dhegleng itu. Maka, jadilah lagu tersebut lagu kebesaran mereka. Yang lain pun ikut mengaksesnya.
Sebenarnya Sri Krishna bermaksud menjadikan lagunya itu sebagai kritik sosial. Lagu ciptaan Krishna yang lain pun bertema sosial. Termasuk yang judulnya Asu. Ia sama sekali tidak untuk dikaitkan dengan banteng.
Pun saya. Melihatnya dari sisi lain.
”Leng ji, leng beh” adalah fenomena zaman medsos ini. Mungkin memang banyak celeng di negeri ini. Dan celeng itu berbiak demikian cepatnya –seperti melebihi virus. Dan yang tidak mau ketularan dicelengkan sekalian.
Saya pernah ingin jadi pahlawan kecil-kecilan. Saya mau ditugasi memperbaiki grup perusahaan milik pemda yang lagi rusak. Tanpa dibayar. Tanpa dapat fasilitas. Bahkan, keluar uang sendiri.
Suatu saat saya bertanya kepada seorang aktivis. Ia juga seniman. Suka demo. Hidupnya selalu tirakat. Sering ke rumah saya.
Saya mendiskusikan soal korupsi dengan aktivis itu. Yang ia lihat mewabah begitu luasnya. Sampai-sampai masyarakat menilai, katanya, semua orang itu korupsi.
”Berarti, orang seperti saya juga dianggap korupsi?” tanya saya.
”Kalau kita bertanya kepada masyarakat apakah Dahlan Iskan itu korupsi, jawabnya ya korupsi lah,” kata seniman tersebut. ”Hanya mungkin masyarakat menilai korupsinya Dahlan Iskan itu tidak nemen-nemen,” tambahnya.
Saya agak lemes mendengarkan penilaian seperti itu. Tapi, itulah persepsi yang hidup di masyarakat. Tidak ada orang bersih. Leng ji, leng beh.
Semua orang korupsi. Yang tidak ketangkap penegak hukum itu karena tidak ketahuan saja. Atau kebetulan administrasi korupsinya baik.
Bahkan, yang belum korupsi pun akan dinilai karena belum punya kesempatan. Hanya karena belum punya jabatan. Belum diuji pula dengan posisi yang bergelimang uang.
Pokoknya semua orang harus celeng. Kalau tidak pun akan dicelengkan.
Untung kita sempat punya pahlawan. Mereka lahir sebelum ada medsos. Sebagian besar pahlawan kita pun bisa tampil sempurna. Bukan pahlawan yang bopeng-bopeng.
Apakah itu berarti hilangnya dorongan untuk menjadi pahlawan di masa depan?
Untuk apa berusaha menjadi menjangan kalau teriakan yang ia/dia dengar selalu menyebut dirinya/nyi celeng?
Kita memang akan terus memperingati Hari Pahlawan. Sambil masa bodoh atas hilangnya motivasi untuk menjadi pahlawan.
Lihatlah lirik lagu Celeng ini:
Zaman sekarang zaman yang aneh
muncul tokoh pun yang aneh-aneh
omongannya remeh temeh
memfitnah sana memfitnah sini
ujaran benci setiap hari
membuat resah seluruh negeri
Banyak pejabat main korupsi
politisinya seenak sendiri
yang penting ambisi pribadi
yang penting nafsunya terpenuhi
mereka melawan hukum dengan tertawa
mereka mainkan hukum dengan gembira
merasa paling suci dan yang lain pendosa
embuskan angin surga dan retorika
Asu-asuan
Sengkuni bertopeng ganda
asu-asuan
Sengkuni tebar pesona
asu-asuan
Sengkuni marasa seperti dewa
suu suu asu asu asu suan
Sengkuni sukanya mengadu domba. (Dahlan Iskan)