32.9 C
Jakarta
Sunday, October 6, 2024

Tika Bima

SEBENARNYA saya kasihan ke Tika. Dia wanita. Dia harus berkubang jalan mencari rumah Bima. Tapi apa boleh buat. Begitu tinggi penasaran pembaca: siapa Bima. Yang bikin TikTok soal jalan dajjal di Lampung itu.

Tapi Tika masih muda. Wartawan suka pada tantangan. Mestinya.

Saya ingat pernah berbuat lebih kejam dari itu: menugaskan wartawati menjelang tengah malam. Pukul 23.30 malam itu ada kecelakaan dramatis. Di luar kota. Hasil liputannyi sudah harus masuk ke redaksi dua jam kemudian.

Malam itu deadline dimundurkan ke pukul 00.30. Agar kecelakaan dramatis itu bisa terbit di koran keesokan harinya. Mesin cetak dihentikan untuk menunggu berita itu.

Tahun itu saya masih menjabat pemimpin redaksi yang ehm ditakuti.

Wartawati itu pun berangkat dengan sepeda motornya. Hasil liputan tengah malamnya istimewa. Dramatis. Eksklusif. Apalagi belum ada medsos dan internet.

Kali ini saya sudah lebih sabar. Mungkin karena sudah tua. Dan lagi Tika bukan anak buah saya. Dia anak buah dari anak buahnya anak buah saya.

“Tidak harus berangkat sekarang,” ujar saya pada Tika. Hari sudah sore. “Besok pagi nggak apa-apa,” kata saya lagi.

Saya pun bertanya pada Tika: “Anda punya anak berapa?”

“Saya masih bujang,” kata Tika.

Baca Juga :  Muara Yusuf

Lalu saya minta foto Tika. Oh iya  masih muda sekali. Tika baru lulus jurusan administrasi negara di STISIPOL Universitas Dharma Wacana Kota Metro, Lampung tahun 2018.

Seperti juga Bima, Tika berdarah Jawa. Sama-sama lahir di pedalaman Lampung. Orang tua Tika asal Yogyakarta. Kakek Bima asal Purworejo.

Ayah Tika pindah ke Lampung tahun 1964. Kakek Bima bertransmigrasi sebelum Anda lahir. Tika generasi kedua. Bima generasi ketiga.

Tika lahir dan tamat SD di desa Muji Rahayu, Lampung Tengah. Masuk SMP di Way Pangubuhan, kecamatan lain tapi justru lebih dekat dari rumah Tika. Lalu melanjutkan ke SMKN 2 di Terbanggi Besar, ibu kota  kecamatan sendiri.

Rupanya Tika berhasil mendapat nomor telepon ayah Bima. Maka sebelum berangkat, Tika menelepon ayah Bima. Lalu Tika menghubungi saya.

“Ayah Bima akan pergi. Mungkin saya tidak bisa bertemu. Apakah saya jadi harus ke sana?” tanya Tika.

Saya berpikir sebentar. Antara kasihan dan memberi tantangan.

“Berangkat saja,” kata saya.

“Wartawan jangan terpaku pada hanya satu sumber. Kalau pun tidak bisa bertemu beliau Anda bisa bertemu teman-teman Bima di desa itu. Atau bertemu keluarga Bima yang lain. Atau guru-gurunya,” kata saya.

Baca Juga :  Korban Bangunan

Mungkin Tika lagi mempertimbangkan apakah memadai berkubang-kubang tiga jam ke rumah Bima tanpa bertemu ayahnya. Tapi saya punya pengalaman panjang soal beginian. Kegigihan akan memberi hasil yang kadang di luar perkiraan.

Tidak ada tanda Tika mengeluh. Dia berangkat. Dia hanya bertanya apakah masih memadai ke desa yang begitu jauh.

“Setidaknya, di sepanjang perjalanan, Anda bisa menghitung ada berapa ratus kubangan menuju rumah Bima,” kata saya.

Maka pukul 09.10, Minggu pagi, Tika berangkat dari rumahnya. Dia naik sepeda motor milik sendiri. Bukan milik kantor. Tidak ada lagi media yang memberi kendaraan pada reporternya.

Jerih payah Tika membuahkan hasil.

Dia ternyata bisa bertemu keluarga Bima.

Lengkap.

Kakaknya, ibunya dan akhirnya ayahnya. Rupanya semua lubang di sepanjang jalan ikut mendoakan Tika.

Malam itu juga Tika sudah kirim tulisan. “Tulisan Anda bagus,” komentar yang saya kirim ke HP Tika.

“Sebenarnya saya wartawan TV. Tapi kadang membantu menulis di Radar Lampung Tengah. Kantornya jadi satu,” jawab Tika.

Hasil wawancara Tika itu sudah saya tulis di Disway kemarin. Hari ini saya menurunkan tulisan Tika, khusus mengenai lubang-lubang dajjal di sepanjang jalan itu. Saya juga menyertakan foto-foto yang dibuat Tika.(Dahlan Iskan)

SEBENARNYA saya kasihan ke Tika. Dia wanita. Dia harus berkubang jalan mencari rumah Bima. Tapi apa boleh buat. Begitu tinggi penasaran pembaca: siapa Bima. Yang bikin TikTok soal jalan dajjal di Lampung itu.

Tapi Tika masih muda. Wartawan suka pada tantangan. Mestinya.

Saya ingat pernah berbuat lebih kejam dari itu: menugaskan wartawati menjelang tengah malam. Pukul 23.30 malam itu ada kecelakaan dramatis. Di luar kota. Hasil liputannyi sudah harus masuk ke redaksi dua jam kemudian.

Malam itu deadline dimundurkan ke pukul 00.30. Agar kecelakaan dramatis itu bisa terbit di koran keesokan harinya. Mesin cetak dihentikan untuk menunggu berita itu.

Tahun itu saya masih menjabat pemimpin redaksi yang ehm ditakuti.

Wartawati itu pun berangkat dengan sepeda motornya. Hasil liputan tengah malamnya istimewa. Dramatis. Eksklusif. Apalagi belum ada medsos dan internet.

Kali ini saya sudah lebih sabar. Mungkin karena sudah tua. Dan lagi Tika bukan anak buah saya. Dia anak buah dari anak buahnya anak buah saya.

“Tidak harus berangkat sekarang,” ujar saya pada Tika. Hari sudah sore. “Besok pagi nggak apa-apa,” kata saya lagi.

Saya pun bertanya pada Tika: “Anda punya anak berapa?”

“Saya masih bujang,” kata Tika.

Baca Juga :  Muara Yusuf

Lalu saya minta foto Tika. Oh iya  masih muda sekali. Tika baru lulus jurusan administrasi negara di STISIPOL Universitas Dharma Wacana Kota Metro, Lampung tahun 2018.

Seperti juga Bima, Tika berdarah Jawa. Sama-sama lahir di pedalaman Lampung. Orang tua Tika asal Yogyakarta. Kakek Bima asal Purworejo.

Ayah Tika pindah ke Lampung tahun 1964. Kakek Bima bertransmigrasi sebelum Anda lahir. Tika generasi kedua. Bima generasi ketiga.

Tika lahir dan tamat SD di desa Muji Rahayu, Lampung Tengah. Masuk SMP di Way Pangubuhan, kecamatan lain tapi justru lebih dekat dari rumah Tika. Lalu melanjutkan ke SMKN 2 di Terbanggi Besar, ibu kota  kecamatan sendiri.

Rupanya Tika berhasil mendapat nomor telepon ayah Bima. Maka sebelum berangkat, Tika menelepon ayah Bima. Lalu Tika menghubungi saya.

“Ayah Bima akan pergi. Mungkin saya tidak bisa bertemu. Apakah saya jadi harus ke sana?” tanya Tika.

Saya berpikir sebentar. Antara kasihan dan memberi tantangan.

“Berangkat saja,” kata saya.

“Wartawan jangan terpaku pada hanya satu sumber. Kalau pun tidak bisa bertemu beliau Anda bisa bertemu teman-teman Bima di desa itu. Atau bertemu keluarga Bima yang lain. Atau guru-gurunya,” kata saya.

Baca Juga :  Korban Bangunan

Mungkin Tika lagi mempertimbangkan apakah memadai berkubang-kubang tiga jam ke rumah Bima tanpa bertemu ayahnya. Tapi saya punya pengalaman panjang soal beginian. Kegigihan akan memberi hasil yang kadang di luar perkiraan.

Tidak ada tanda Tika mengeluh. Dia berangkat. Dia hanya bertanya apakah masih memadai ke desa yang begitu jauh.

“Setidaknya, di sepanjang perjalanan, Anda bisa menghitung ada berapa ratus kubangan menuju rumah Bima,” kata saya.

Maka pukul 09.10, Minggu pagi, Tika berangkat dari rumahnya. Dia naik sepeda motor milik sendiri. Bukan milik kantor. Tidak ada lagi media yang memberi kendaraan pada reporternya.

Jerih payah Tika membuahkan hasil.

Dia ternyata bisa bertemu keluarga Bima.

Lengkap.

Kakaknya, ibunya dan akhirnya ayahnya. Rupanya semua lubang di sepanjang jalan ikut mendoakan Tika.

Malam itu juga Tika sudah kirim tulisan. “Tulisan Anda bagus,” komentar yang saya kirim ke HP Tika.

“Sebenarnya saya wartawan TV. Tapi kadang membantu menulis di Radar Lampung Tengah. Kantornya jadi satu,” jawab Tika.

Hasil wawancara Tika itu sudah saya tulis di Disway kemarin. Hari ini saya menurunkan tulisan Tika, khusus mengenai lubang-lubang dajjal di sepanjang jalan itu. Saya juga menyertakan foto-foto yang dibuat Tika.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru